Mengapa Banyak Pria Memilih Njomblo ? Inilah Alasannya !
https://kabar22.blogspot.com/2018/08/mengapa-banyak-pria-memilih-njomblo.html
BLOKBERITA -- Saat para pria ditanya mengapa jomblo, mereka menjawab dengan berbagai alasan. Ada yang mengaku kurang pandai membuka obrolan, tidak percaya diri, penampilan yang buruk, malu, hingga pengalaman buruk dalam menjalin suatu hubungan. Meski ada banyak faktor, sebuah studi mengungkap bahwa pria jomblo sebenarnya mengalami kurangnya evolusi keterampilan sosial. Dalam temuan yang terbit di Evolutionary Psychological Science, Rabu (8/8/2018), para ahli melihat tanggapan dalam postingan anonim di Reddit yang melontarkan pertanyaan, "Guys, mengapa kamu jomblo?". Salah satu penulis studi Menelaos Apostolou, melihat ada 13.429 tanggapan terkait pertanyaan itu. Kemudian Apostolou mengkategorikan ribuan tanggapan tersebut menjadi 43 alasan utama, termasuk kecemasan, kurangnya waktu, menikmati masa lajang, takut akan hubungan, dan mudah menyerah. Setelah melihat kategori tersebut, Apostolou menyimpulkan bahwa semua alasan itu disebabkan oleh kemampuan sosial pria yang tidak bisa mengikuti perubahan di masyarakat.
" Pria lajang modern sering kurang mampu untuk mendekati perempuan, karena dalam konteks pra-industri leluhur, mekanismenya perkawinan itu diatur dan mereka tidak bisa memilih pasangan sendiri," kata Apostolou dilansir IFL Science, Kamis (9/8/2018). "Hal seperti itu tidak dibutuhkan saat ini. Sebab, masyarakat pascaindustri bisa memilih pasangan secara bebas dan tidak dipaksakan, masing-masing orang harus mencari pasangan sendiri," ujarnya. Seiring berkembangnya zaman, Apostolou mengklaim bahwa pria tidak lagi harus melakukan perjodohan atau memaksakan hubungan, sehingga pria berjuang untuk mencari pasangan sendiri. Menurutnya, ini merupakan aturan dalam mencari pasangan yang relatif baru dalam sejarah spesies kita. Namun nyatanya, hal tersebut tidak terjadi semua masyarakat dan tidak menyebar secara luas. "Ini menunjukkan, pria yang lama melajang punya sikap warisan dari nenek moyang untuk tidak cakap dalam mencari pasangan," kata Apostolou. Teori ini tentu saja dipertanyakan dan dianggap kontra-produktif untuk para pria lajang. Sebab, argumen soal evolusioner ini seolah dapat meringankan beban pria atas status lajang mereka. Oleh karenanya, Apostolou berharap di masa depan nanti para ahli dapat mengalokasikan lebih banyak upaya dalam mempelajari status jomblo dan bagaimana orang dapat mencari pasangan dan memiliki hubungan yang langgeng.
Analisis ini bukan satu-satunya alasan, sebab Apostolou hanya menggunakan informasi demografis dan tidak mengetahui usia responden, asal, latar belakang budaya, dll. Pesan yang dapat disampaikan Apostolou lewat studinya adalah banyak pria jomblo yang masih berjuang dengan ketidakpastian dalam mendapatkan pasangan. Untuk mengatasinya, kita perlu membangun masyarakat di mana para pria dapat mengungkapkan perasaan mereka secara terbuka. (bazz/kmps)
" Pria lajang modern sering kurang mampu untuk mendekati perempuan, karena dalam konteks pra-industri leluhur, mekanismenya perkawinan itu diatur dan mereka tidak bisa memilih pasangan sendiri," kata Apostolou dilansir IFL Science, Kamis (9/8/2018). "Hal seperti itu tidak dibutuhkan saat ini. Sebab, masyarakat pascaindustri bisa memilih pasangan secara bebas dan tidak dipaksakan, masing-masing orang harus mencari pasangan sendiri," ujarnya. Seiring berkembangnya zaman, Apostolou mengklaim bahwa pria tidak lagi harus melakukan perjodohan atau memaksakan hubungan, sehingga pria berjuang untuk mencari pasangan sendiri. Menurutnya, ini merupakan aturan dalam mencari pasangan yang relatif baru dalam sejarah spesies kita. Namun nyatanya, hal tersebut tidak terjadi semua masyarakat dan tidak menyebar secara luas. "Ini menunjukkan, pria yang lama melajang punya sikap warisan dari nenek moyang untuk tidak cakap dalam mencari pasangan," kata Apostolou. Teori ini tentu saja dipertanyakan dan dianggap kontra-produktif untuk para pria lajang. Sebab, argumen soal evolusioner ini seolah dapat meringankan beban pria atas status lajang mereka. Oleh karenanya, Apostolou berharap di masa depan nanti para ahli dapat mengalokasikan lebih banyak upaya dalam mempelajari status jomblo dan bagaimana orang dapat mencari pasangan dan memiliki hubungan yang langgeng.
Analisis ini bukan satu-satunya alasan, sebab Apostolou hanya menggunakan informasi demografis dan tidak mengetahui usia responden, asal, latar belakang budaya, dll. Pesan yang dapat disampaikan Apostolou lewat studinya adalah banyak pria jomblo yang masih berjuang dengan ketidakpastian dalam mendapatkan pasangan. Untuk mengatasinya, kita perlu membangun masyarakat di mana para pria dapat mengungkapkan perasaan mereka secara terbuka. (bazz/kmps)