Koalisi Belum Pasti, SBY Masih Ragu kah?
https://kabar22.blogspot.com/2018/08/koalisi-belum-pasti-sby-masih-ragu-kah.html
BLOKBERITA, JAKARTA -- Meski telah
menggelar pertemuan intens dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto
dan ketua-ketua umum partai bakal koalisi partai tersebut, Ketua partai
Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum memantapkan kesepakatan
berkoalisi.
Hal itulah yang tertangkap dari pernyataan SBY usai bertandang ke rumah Prabowo di kawasan Kertanegara, Jakarta Selatan kemarin.
"Ini pertemuan kedua, dulu pertemuan pertama untuk kemungkinan Gerindra dan Demokrat koalisi. Hari ini saya mengatakan pintu itu semakin lebar," kata SBY, Senin (30/7).
Berbeda dengan SBY, Prabowo justru mengatakan bahwa Gerindra dan Demokrat telah sepakat untuk berkoalisi dalam menghadapi Pilpres 2019.
"Kami bahas secara rinci soal sinergi ke depan, dan sepakat untuk melaksanakan kerja sama politik yang tentunya terwujud dalam koalisi," ujar Prabowo yang berdiri bersebelahan dengan SBY.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito tak heran dengan gaya SBY tersebut. Menurutnya SBY memang dikenal sebagai sosok politikus yang memiliki gaya penuh keragu-raguan dalam menentukan keputusan.
Hal itu bisa dilihat dari gaya berkomunikasi politik yang tak tegas menuju inti permasalahan, dan hanya berputar-putar di wilayah luarnya. Keputusannya yang masih mengambang soal koalisi dengan Gerindra untuk Pilpres menjadi salah satu contohnya.
"Ini menunjukan bahwa SBY peragu. Corak politiknya dan komunikasinya SBY itu peragu sejak dulu, enggak to the point," ujar Arie saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (30/7).
Di satu sisi, Arie menilai SBY ingin memberikan pesan bahwa partainya masih memiliki posisi politik kuat untuk diperhitungkan diterima di poros presiden petahana Joko Widodo (Jokowi) atau poros Prabowo.
"Karena bayang-bayangnya dia soal reputasinya sebagai mantan presiden. Dia ingin memberi kesan bahwa dia bisa diterima di mana-mana tapi dia sekaligus dia tak bisa jadi faktor penentu di mana-mana juga," ujarnya.
Dihubungi terpisah, pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun menilai gaya komunikasi politik SBY yang masih mengambang sebagai strategi untuk meningkatkan daya tawar politik. Ia menilai bahwa pernyataan itu justru sengaja didesain untuk merespon belum adanya 'deal-deal' politik tertentu antara Demokrat dan Gerindra.
"Nah karena mungkin itu belum clear. Saya kira bahasa SBY yang mengambang itu digunakan sebagai strategi menanggapi ini ya, karena SBY menggunakan bahasa yang cair," ujarnya.
Ubedillah menilai SBY terkenal dengan sosok politisi yang memiliki banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, Ubed menilai komunikasi SBY yang mengambang itu digunakan untuk memastikan terlebih dulu apakah kepentingan politiknya dapat diakomodasi koalisi nantinya.
"Bisa jadi SBY ingin kepastian apakah berkoalisi itu akan power sharing apa saja, apakah ada potensi sebagai cawapres bagi AHY atau apa lagi keuntungannya," pungkasnya.
Minim Kekuatan
Arie menilai posisi SBY maupun Demokrat saat ini tak memiliki kekuatan sebagai partai penentu karena suara di akar rumput (grassroot) maupun kekuatan di Parlemen tak signifikan.
"Realitas politiknya enggak kayak gitu, ekspektasi sama relitasnya beda. Suara dia kecil di parlemen," kata Arie soal nilai tawar politik SBY dan Partai Demokrat untuk menjalin koalisi.
Pada Pemilu 2014 silam, suara Demokrat tergelincir jauh dibandingkan pemilu 2009. Pada pemilu 2009, Demokrat meraih 20,85 persen suara nasional, sementara pada pemilu terakhir partai itu hanya meraih 10,19 persen suara nasional.
Selain itu, Arie menilai bahwa gaya politik SBY yang penuh keraguan itu dapat menjadi bumerang dan merugikan posisi tawar Demokrat sendiri dalam Pilpres 2019 mendatang. Arie tak menutup kemungkinan akhirnya SBY membawa Partai Demokrat mengulang apa yang telah dilakukan pada Pilpres 2014.
Kala itu, Partai Demokrat memilih tak bergabung dalam koalisi yang bertarung antara pendukung Joko Widodo (Koalisi Indonesia Hebat) dan pendukung Prabowo (Koalisi Merah Putih).
"Kejadian ini bisa mengulang saat di 2014 dulu, oposisi nggak, gabung juga nggak. Begitu, enggak jelas jadinya," ujar Arie.
Arie mengimbau seharusnya SBY dapat mengambil pembelajaran dari Pilpres 2014 bahwa keputusan yang ragu-ragu justru membuat arah partainya semakin tak jelas.
"Semakin enggak tegas, semakin enggak diperhitungkan. Kegalauan itu tak menguntungkan. Politik itu ada pilihan dan ada risiko. Nah, gimana caranya mereka mengkalkulasi risiko itu saja," pungkasnya. (bazz/cnni)
Hal itulah yang tertangkap dari pernyataan SBY usai bertandang ke rumah Prabowo di kawasan Kertanegara, Jakarta Selatan kemarin.
"Ini pertemuan kedua, dulu pertemuan pertama untuk kemungkinan Gerindra dan Demokrat koalisi. Hari ini saya mengatakan pintu itu semakin lebar," kata SBY, Senin (30/7).
Berbeda dengan SBY, Prabowo justru mengatakan bahwa Gerindra dan Demokrat telah sepakat untuk berkoalisi dalam menghadapi Pilpres 2019.
"Kami bahas secara rinci soal sinergi ke depan, dan sepakat untuk melaksanakan kerja sama politik yang tentunya terwujud dalam koalisi," ujar Prabowo yang berdiri bersebelahan dengan SBY.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito tak heran dengan gaya SBY tersebut. Menurutnya SBY memang dikenal sebagai sosok politikus yang memiliki gaya penuh keragu-raguan dalam menentukan keputusan.
Hal itu bisa dilihat dari gaya berkomunikasi politik yang tak tegas menuju inti permasalahan, dan hanya berputar-putar di wilayah luarnya. Keputusannya yang masih mengambang soal koalisi dengan Gerindra untuk Pilpres menjadi salah satu contohnya.
"Ini menunjukan bahwa SBY peragu. Corak politiknya dan komunikasinya SBY itu peragu sejak dulu, enggak to the point," ujar Arie saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (30/7).
Di satu sisi, Arie menilai SBY ingin memberikan pesan bahwa partainya masih memiliki posisi politik kuat untuk diperhitungkan diterima di poros presiden petahana Joko Widodo (Jokowi) atau poros Prabowo.
"Karena bayang-bayangnya dia soal reputasinya sebagai mantan presiden. Dia ingin memberi kesan bahwa dia bisa diterima di mana-mana tapi dia sekaligus dia tak bisa jadi faktor penentu di mana-mana juga," ujarnya.
Dihubungi terpisah, pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun menilai gaya komunikasi politik SBY yang masih mengambang sebagai strategi untuk meningkatkan daya tawar politik. Ia menilai bahwa pernyataan itu justru sengaja didesain untuk merespon belum adanya 'deal-deal' politik tertentu antara Demokrat dan Gerindra.
"Nah karena mungkin itu belum clear. Saya kira bahasa SBY yang mengambang itu digunakan sebagai strategi menanggapi ini ya, karena SBY menggunakan bahasa yang cair," ujarnya.
Ubedillah menilai SBY terkenal dengan sosok politisi yang memiliki banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, Ubed menilai komunikasi SBY yang mengambang itu digunakan untuk memastikan terlebih dulu apakah kepentingan politiknya dapat diakomodasi koalisi nantinya.
"Bisa jadi SBY ingin kepastian apakah berkoalisi itu akan power sharing apa saja, apakah ada potensi sebagai cawapres bagi AHY atau apa lagi keuntungannya," pungkasnya.
Minim Kekuatan
Arie menilai posisi SBY maupun Demokrat saat ini tak memiliki kekuatan sebagai partai penentu karena suara di akar rumput (grassroot) maupun kekuatan di Parlemen tak signifikan.
"Realitas politiknya enggak kayak gitu, ekspektasi sama relitasnya beda. Suara dia kecil di parlemen," kata Arie soal nilai tawar politik SBY dan Partai Demokrat untuk menjalin koalisi.
Pada Pemilu 2014 silam, suara Demokrat tergelincir jauh dibandingkan pemilu 2009. Pada pemilu 2009, Demokrat meraih 20,85 persen suara nasional, sementara pada pemilu terakhir partai itu hanya meraih 10,19 persen suara nasional.
Selain itu, Arie menilai bahwa gaya politik SBY yang penuh keraguan itu dapat menjadi bumerang dan merugikan posisi tawar Demokrat sendiri dalam Pilpres 2019 mendatang. Arie tak menutup kemungkinan akhirnya SBY membawa Partai Demokrat mengulang apa yang telah dilakukan pada Pilpres 2014.
Kala itu, Partai Demokrat memilih tak bergabung dalam koalisi yang bertarung antara pendukung Joko Widodo (Koalisi Indonesia Hebat) dan pendukung Prabowo (Koalisi Merah Putih).
"Kejadian ini bisa mengulang saat di 2014 dulu, oposisi nggak, gabung juga nggak. Begitu, enggak jelas jadinya," ujar Arie.
Arie mengimbau seharusnya SBY dapat mengambil pembelajaran dari Pilpres 2014 bahwa keputusan yang ragu-ragu justru membuat arah partainya semakin tak jelas.
"Semakin enggak tegas, semakin enggak diperhitungkan. Kegalauan itu tak menguntungkan. Politik itu ada pilihan dan ada risiko. Nah, gimana caranya mereka mengkalkulasi risiko itu saja," pungkasnya. (bazz/cnni)