Mengkaji Administrasi Publik Baru Indonesia
https://kabar22.blogspot.com/2017/11/mengkaji-administrasi-publik-baru.html
BLOKBERITA -- Buku hasil karya tulis Dosen senior Fisipol UGM, Prof. Dr. Warsito Utomo, yang berjudul: Administrasi Publik Baru Indonesia, setebal 282 halaman ini mencoba menampilkan suatu bentuk tatanan baru tentang disiplin ilmu Administrasi Negara dalam melaksanakan fungsinya sebagai pengelola kebijakan dan pemerintahan dalam suatu negara, yakni tentang perubahan paradigma dari administrasi negara menjadi administrasi publik. Telah menarik minat Khusnul Arifin, S.Mn, seorang mahasiswa Universitas Jember untuk menelaah dan meresensi buku tersebut lebih mendalam. Berikut ulasannya:
Demikian
garis besar buku ini, yang berusaha menjelaskan secara lengkap tentang
Administrasi Baru di Indonesia, Perubahan Paradigma dari Administrasi
Negara ke Administrasi Publik. Kelebihan buku ini adalah selain membahas
perubahan Administrasi Negara ke Administrasi Publik, juga dibahas
mengenai Politik, Kepemimpinan serta Permasalahan Organisasi dan Kondisi
Sosial. Namun yang menyangkut perubahan Administrasi Negara ke
Administrasi Publik pembahasannya kurang mendalam, dan yang banyak
dibahas adalah tentang Implementasi Otonomi Daerah beserta segala
permasalahannya. (bmw/bbcom).
Oleh : Khusnul Arifin / Mahasiswa PPS Ilmu Administrasi Universitas Jember
Bagian 1: Administrasi Publik Baru Indonesia
Administrasi Publik Abad 21 menuntut perubahan dari “Traditional Public Administration” yang terfokus pada COP (Control, Order and Prediction), Rigidity, terikat oleh political authority, tightening control, to be given and following the instruction ke dalam bentuk “New Public Management” (NPM) yang berindisikan ACE (Alignment, Creativity, and Empowering), flexible, terikat oleh political commitment, memiliki strategi, berorentasi pada output/results, bernuansa privatization atau contracting out. Perubahan tersebut terutama kepada citizen as a customer.
Administrasi Publik Baru Indonesia
bukanlah suatu utopia atau symbol saja, tetapi merupakan suatu tuntutan
akan perubahan dalam keterlibatan dan kemandirian, dan ini berarti
membicarakan permasalahan demokratisasi dan desentralisasi. Otonomi atau
desentralisasi harus dipandang dari berbagai sudut yaitu sudut
administrasi, sudut politik, sudut cultural dan sudut pembangunan.
Permasalahan yang pokok dalam implementasi otonomi daerah adalah
perbedaan dalam kesamaan pandang, persepsi, pengertian mengenai konsep
makna otonomi dan juga kesiapan serta kemauan dalam penerapan atau
pelaksanaannya diakibatkan oleh telah lamanya kewenangan kekuasaan
selama ini terpusat.
Administrasi
Publik (Negara) bukan berarti terlepas sama sekali dari kehidupan atau
permasalahan Negara, akan tetapi Negara, Politik, Pemerintah,
Pemerintahan, Hukum, Kebijakan, Sosiologi masih tetap merupakan unsure
yang penting sebagai pokok dasar untuk mendalami kekhususan Administrasi
Publik. Baru kemudian pendalaman unsur-unsur Organisasi dan Manajemen
yang kemudian dikaitkan dengan tuntutan, tantangan baik internal maupun
eksternal dalam kerangka membangun, membentuk kompetensi system
Administrasi Publik dan Figur Administrator.
Bagian 2 : Otonomi Daerah Menuju Demokratisasi dan Good Governance
Dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 mengenai Pemerintah Daerah dan
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dengan Daerah masih banyak
menimbulkan pertanyaan/misinterpretasi dalam peraturan pelaksanaannya,
sehingga timbul kecurigaan bahwa sesungguhnya Pemerintah Pusat belum
siap sungguh untuk memberikan sharing of power, distribution of income dan membuat empowering of regional administration.Dari formulasi bentuk dan susunan pemerintahan daerah juga nampak adanya euphoria
kekuasaan yang berlebihan dari Badan Legislatif (DPRD) dan juga
kegamangan dari Kepala Daerah yang harus berubah menjadi tunduk dan
bertanggung jawab kepada DPRD serta bagi perangkat birokrasi untuk
menjaga kenetralannya dalam menjalankan kebijakan pemerintah daerah.
Untuk
merevisi Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 dikeluarkanlah
Undang-Undang Nomor 32 dan 34 Tahun 2004. Dikarenakan sosialisasi yang
terlalu cepat dan singkat, serta belum siapnya perubahan kerangka
berpikir menuju tatanan pemerintahan yang disepakati, maka perubahan
Undang-undang tersebut menimbulkan paling tidak 7 (tujuh) pokok
permasalahan yang harus dipertimbangkan sebagai isu strategic yaitu (1)
perubahan kedudukan Kabupaten dan Kota, yang dahulu ditentukan berdiri
sendiri dan tidak dalam hirarki, menjadi ditentukan sebagai bagian dari
Propinsi. (2) Perubahan kedudukan DPRD yang dahulu sebagai badan
legislative, saat ini didudukkan sebagai unsure pemerintah daerha. (3)
Pemilihan kepala daerah secara langsung akan menjadikan DPRD sebagai
penonton bukan lagi penentu. (4) RAPBD kabupaten dan kota dapat dianulir
oleh tingkat propinsi. (5) Badan Perwakilan Desa (BPD) yang dulu
dianggap “DPRD Desa” ditentukan sebagai Badan
Permusyawaratan Desa. (6) Dahulu ditentukan 11 (sebelas) urusan yang
diserhkan kepada kabupaten dan kota, saat ini hanya ditentukan adanya
urusan wajib dan urusan p[ilihan, dan penyerahannya harus memenuhi
persyartan tertentu. (7) jabatan Sekretaris Desa adalah merupakan
jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dalam
rangka lebih menciptakan komitmen daripada otoritas dalam implementasi
otonomi, maka strategi yang dilakukan adalah mengadakan pertemuan,
rapat, diskusi yang berulang-ulang antar keseluruhan untuk akhirnya
dicapai kesepakatan bersama. Strategi selanjutnya adalah penekanan
kesepahaman mengenai peran, fungsi masing-masing komponen, agar tidak
terjadi saling intervensi dan ada kejelasan mengenai permasalahn lingkup
kewenangan, keuangan, penyelengaraan dan tanggung jawab. Strategi yang
lain adalah melengkapi infrastruktur yang berupa peraturan-peraturan
ataupun ketentuan-ketentuan yang lebih teknis dan operasional untuk
kelancaran jalannya penyelenggaraan otonomi sehingga memberikan warna
good governance bagi pemerintahan di daerah. Penguatan kelembagaan
pemerintah lokal khususnya Kepala Daerah dan DPRD sangatlah strategis
dan kritis, karena banyak yang kurang berpengalaman dalam bidang
pemerintahan.
Bagian 3: Kepala Daerah Harapan Masyarakat
Untuk
memantapkan demokrasi di tingkat lokal, dibutuhkan pimpinan daerah yang
didukung oleh masyarakat yang memiliki karakteristik transformatif dan
kemitraan, memusatkan pada visi dan misi, mengenali SWOT, pemimpi, Pro-Empowerment,
berjiwa demokratis, dan adil. Dengan dilakukannya pemilihan langsung,
maka sisi positif yang utama adalah merupakan implementasi dari filosofi
demokrasi dimana rakyat secara langsung tanpa perwakilan memilih,
menentukan dan menetapkan pilihannya sesuai yang diharapkan. Dari aspek
politik, kepala daerah nantinya akan diuji kemampuannya baik oleh
konstituennya (masyarakat pemilih) maupun dari partai politiknya maupun
lawan politiknya.
Di
dalam lingkup administrasi publik maka kasus Temanggung harus dilihat
dan dianalisa dari sudut permasalahan “Organisasi” baik order in structure maupun order in function,
baik yang statis maupun yang berkaitan dengan perilaku, serta dari
sudut permasalahan “Manajemen atau Manajerial” yang menyangkut
permasalahan Leadership atau kepemimpinan.
Bagian 4: Peta Politik Indonesia
Negara Indonesia dengan Pemerintahan Indonesia
yang ingin kita wujudkan adalah Negara dan pemerintahan yang
nasionalis-agamis, tetapi juga agamis-nasionalis dan memiliki
kepribadian dan kemandirian Indonesianis. Mengamati hasil PEMILU dan
penentuan Capres dan Cawapres tahun 2004 memperlihatkan berbagai
fenomena dalam perpolitikan di Indonesia, (1)Elit politik, elit
kekuasaan maupun masyarakat sendiri sering tidak konsisten menghadapi
berbagai macam perubahan dan tekanan.(2) Kecenderungan politik aliran
sangat kental.(3) Koalisi di Indonesia diwarnai oleh kepentingan
kelompok, golongan yang mengabaikan koalisi rasional dan
professional.(4) Perpolitikan di Indonesia hanya sekedar memikirkan
penjatahan politik dan kekuasaan dengan mengabaikan tercapainya
kesejahteraan rakyat.(5) Kemenangan Parpol dan Capres/Cawapres
ditentukan oleh figure jasmaniah dan nama besar daripada program dan
kepemimpinan transformatif.
Untuk dapat memecahkan krisis multi komplek di Indonesia
saat ini diperlukan pimpinan Negara yang memiliki kadar “Strong Leader”
yang harus dimaknai sebagai cerminan seseorang yang memiliki kebijakan
(wise). Dengan pemilu secara langsung, rakyat tidak lagi bertumpu kepada
partai politik tapi mereka mulai memiliki kebebasan untuk memilih,
sehingga mengubah peran atau pengaruh partai politik.
Bagian 5: Peran dan Fungsi DPRD
Anggota
DPRD baik sebagai pejabat politis maupun representasi wakil rakyat
harus memiliki kemampuan sesuai fungsi dan perannya. Sebagai anggota
DPRD harus memahami fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan tidak
hanya sebagai pengetahuan saja, tetapi lebih-lebih kapasitas dalam
keterampilan. Baik DPRD, Kepala Eksekutif dan Perangkat daerah harus
bisa mengembalikan dan mengarahkan kembali kedudukan, peran, tujuan dan
fungsinya masing-masing.
Bagian 6: Birokrasi Di Indonesia
Birokrasi dan birokrat Indonesia
haruslah mewujudkan dirinya sebagai institusi yang memiliki kemandirian
dan kepemimpinan transformative yang mungkin terjadi apabila
pemerintahan SBY memberikan kedewasaan kepada birokrasi dan birokrat
kita, dan bukannya meletakkan birokrasi dan birokrat sebagai alat
semata. Pengaturan organisasi yang hanya berdasarkan pada formasi dan bezetting serta penampungan banyak orang yang ingin jadi PNS di Indonesia mengakibatkan work load tidak sebanding dengan work force.
Dengan kebijaksanaan yang bermasalah tersebut maka perubahan,
penyempurnaan maupun pengembangan birokrat dan birokrasi haruslah
merupakan suatu proses, tidak dilakukan secara gegabah dan hendaknya
dilakukan tidak saja secara bertahap tetapi juga simultan berkaitan.
Downsizing dan rightsizing
merupakan harapan para analis organisasi dan birokrasipemerintah demi
tercapainya efisiensi dan efektifitas fungsi pemerintahan. Tetapi di
pihak lain terutama para birokrat pemerintahan, Downsizing dan rightsizing yang menunjukkan perlunya ketepatan ukuran baik secara kuantitatif maupun kualitatif merupakan momok pemecatan bagi mereka.
Dalam rangka mewujudkan Good Governance yang didambakan rakyat, ada 5 (lima)
unsure utama yang harus dipenuhi yaitu (1) Adanya jaminan kepastian
hukum (2) Akuntabilitas (3) Transparansi (4) Profesionalisme
(5)Partisipasi. KORPRI
sebagai organisasi para PNS mereformasi diri dalam Musyawarah Nasional
di bulan Pebruari 1999 dengan melahirkan “Empat Paradigma Baru” yaitu
Demokratis, Netral, Profesional dan Sejahtera. Dengan paradigma baru
tersebut KORPRI tidak harus lagi menjadi salah satu mesin peraih suara
bagi kekuatan-kekuatan politik tertentu.
Diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menimbulkan berbagai tantangan bagi birokrasi. Akibat lain dari
pelaksanaan desentralisasi atau otonomi tersebut adalah dibentuknya
Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang secara khusus menangani SDM Aparatur
dengan diberikan keluasan dan keleluasaan yang lebih dari sebelumnya
yang hanyalah sekadar pencatat atau berfungsi administrative belaka.
Dari
hasil penelitian bersama oleh JICA (Jepang) dan BAPPENAS (Indonesia)
disimpulkan bahwa untuk Indonesia sudah cukup fasilitas atau komponen
yang berupa infrastruktur, yang paling penting adalah peningkatan
kapasitas SDMnya atau birokrat atau administratornya lebih kepada skill,
keterampilan dan kemampuan. Komitmen Reformasi Birokrasi di Indonesia
harus dimaknai bahwa reformasi adalah dimulai dari pimpinan. Kesadaran,
obsesi, komitmenperlunya reformasi sangat diharapkan datang dari
atasan/pimpinan sebelum mereka didesak, didorong atau bahkan ditekan
dari bawah. Birokrasi harus merupakan Governance birokrasi yang bermakna
birokrasi yang tidak hanya membawa aspirasi diri sendiri (pemerintah
saja) tetapi merupakan birokrasi yang membawa kebijaksanaan, keputusan,
peraturan yang dihasilkan oleh kesepakatan bersama stakeholdere dalam
pemerintahan dan yang diutamakan kepentingan masyarakat lebih banyak
ditonjolkan.
Bagian 7: KORUPSI
Perlunya
melibatkan dan memanfaatkan hasil pemeriksaan dari Badan Pengawas
Daerah (BPD) sebagai pengawas internal oleh pengawas eksternal (misal :
BPK,BPKP, dll) agar pengawasan keuangan dapat lebih maksimal sehingga
dapat mengurangi korupsi. Hasil penelitian Political and Economics Resultanty Consultant
(PERC) menyatakan Indonesia sebagai Negara yang sangat tiinggi tingkat
korupsinya tetapi juga pada tingkat birokratism-nya Ini berarti
bagaimana parahnya korupsi sudah sampai pada setiap komponen birokrasi
dan tingkat pengambil kebijaksanaan atau keputusan bahkan tingkat yang
paling tinggi bagi masyarakat untuk memohon keadilan. Benteng terakhir
tingkat pengadilan yang paling tinggi pun Mahkamah Agung sudah terjamah
oleh tindak korupsi.
Bagian 8: Permasalahan Organisasi dan Kondisi Sosial
Terdapat
berbagai permasalahan organisasi dan kondisi sosial diantaranya adalah
(1) Adanya Permasalahan ketidakmerataan penduduk, mismatch tenaga kerja,
lemahnya nation building, dan disertai kuatnya political will
pemerintah dapat memanfaatkan program transmigrasi. Untuk menunjang
program tersebut pengorganisasian ketransmigrasian yang saat ini
dimasukkan ke dalam Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan secara
khusu ada pada dua Direktorat Jenderal yaitu Mobilitas Penduduk dan
Pemberdayaan Sumber Daya Kawasan Transmigrasi perlu dilakukan penataan
ulang. (2) Polemik mengenai perlu dan tidaknya Ujian Akhir Nasional
(UAN) sudah memasuki tahap emosional ekslusivitas daripada rasional
inklusivitas. Yang paling penting adalah tujuannya untuk keseragaman,
uniformitas kualitas untuk kepentingan dan kebutuhan nasional tanpa
mengabaikan perbedaan yang dimiliki daerah. (3) Setelah UGM menjadi BHMN
haruslah mengubah cara pandang kita untuk melihat perguruan tinggi
dalam kaitannya tidak saja dengan pengaruh globalisasi tetapi juga
kemandirian sebagai suatu institusi. (4) Pentingnya arsip Statis maupun
dinamis baik otentik maupun tidak otentik sangat diperlukan, sehingga
diharapkan UGM dapat memberdayakan lembaga kearsipannya mengambil peran
aktif dalam menghasilkan penelitian-penelitian yang bermutu dan
berwibawa. (5) Sektor pertambangan adalah sector yang vital sehingga
pemerintah pusat harus mengendalikan kebijaksanaan sector ini dengan
lebih bijaksana.(6) Kepanikan masyarakat akan kenaikan harga barang
dapat dimengerti, kenaikan harga barang dikarenakanperencanaan
pembangunan kita lebih terfokus pada keuntungan dagang yang lebih cepat
menghasilkan daripada keberlangsungan proses pembuatan produksi atau
hasil. Dan bila kepanikan tersebut tidak ditangani hati-hati maka yang
terjadi adalah konflik dan kerusuhan.
Oleh : Khusnul Arifin / Mahasiswa PPS Ilmu Administrasi Universitas Jember