BPJS Kesehatan Harus di Audit
https://kabar22.blogspot.com/2017/09/bpjs-kesehatan-harus-diaudit.html
BLOKBERITA -- BPJS
Kesehatan terus mengalami defisit. Alih-alih surplus, sejak berdiri,
keuangan BPJS Kesehatan tidak pernah sehat. Bahkan, terus menyusu dan
menyedot keuangan negara melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN).
Untuk itu, sebaiknya BPJS Kesehatan harus diaudit.
” Harus diaudit, mengapa BPJS Kesehatan
merugi? Sejak berdiri tidak pernah ada berita positif tentang sepak
terjang BPJS,” kata Director Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky
Khadafi, kepada indopos, kemarin.
Uchok menyebutkan, manajemen BPJS
Kesehatan tidak sekadar harus diaudit, tetapi direksi sebagai pengendali
harus bertanggungjawab. Bentuknya, direksi BPJS Kesehatan harus dipaksa
mengundurkan diri. ” Ini pasti ada kesalahan dalam manajemen BPJS
Kesehatan. Masak rugi melulu sejak berdiri,” imbuh Uchok.
Di sampng itu, BPJS Kesehatan menurut
Uchok, mengisap uang negara. Padahal, keuangan negara tengah dalam
tekanan akibat defisit anggaran yang tidak tertahankan. ”BPJS Kesehatan
ibarat kuburan. Sebarapa pun duit yang disediakan negara bakal habis
kalau tidak disertai pengelolaan yang profesional,” tukasnya.
Berdasar data, BPJS Kesehatan mengalami
kerugian edisi 2014 sejumlah Rp 3,3 triliun. Selanjutnya pada periode
2015 melangit menjadi minus Rp Rp 5,7 triliun. Tidak berhenti di situ,
defisit keuangan BPJS Kesehatan tahun lalu makin menjadi-jadi dengan
tabulasi senilai Rp 9,7 triliun.
Terakhir, tahun ini meski defisit
diperkirakan menyusut, disebut-sebut angka defisit itu masih sangat
signifikan yaitu sejumlah Rp 3,4 triliun. Tetap saja, kalkulasi kerugian
tersebut masih tergolong besar. Apalagi, dana tersebut juga masih
bersumber dari pemerintah yang tengah dilanda defisit keuangan cukup
parah.
Karenanya, pemerintah tidak melanjutkan
suntikan modal melalui skenario PMN. Tetapi, pola suntikan modal diubah
dalam bentuk alokasi penambahan anggaran subsidi kesehatan masyarakat.
Selanjutnya, manajemen BPJS Kesehatan didorong untuk profesional
mengelola keuangan. Caranya, BPJS Kesehatan diarahkan untuk menaikkan
pungutan dari peserta mandiri. Kalau opsi menaikkan iuran peserta
mandiri tersebut diambil, beban itu tetap memberatkan pundak masyarakat.
Sementara untuk tahun depan, pemerintah
mengalokasikan Rp 25,5 triliun untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dengan anggaran itu, sebanyak 92,4 juta jiwa ditarget bisa menerima
bantuan iuran untuk BPJS Kesehatan.
Terpisah, Direktur Penyusunan APBN
Ditjen Anggaran, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kunta W.D Nugraha
menyebutkan, anggaran tahun depan sejumlah Rp 25,5 triliun untuk
membantu kesehatan orang miskin. Angka itu didapat dari 94 juta jiwa
dikali Rp 25 ribu kali 12 bulan (1 tahun).
”Ini program pemerintah dalam membantu kesehatan orang miskin,” beber Kunta.
Kunta menyebutkan, soal defisit yang
dialami BPJS Kesehatan untuk tahun ini lebih baik dari edisi sebelumnya.
Defisit terjadi karena memang antara penerimaan dan klaim kesehatan
masyarakat, tidak sebanding. Bahkan, tingkat gangguan kesehatan
masyarakat bermacam-macam dan itu seluruhnya di tanggung sepenuhnya oleh
pemerintah.
”Kalau defisit itu tidak ditanggung
pemerintah, lantassiapa lagi? Kan pemerintah dari awal berkeinginan
masyarakat mendapat pelayanan kesehatan secara merata dan tidak
memberatkan,” tuturnya.
Pemerintah menurut Kunta, tidak
serampangan dalam mengguyur anggaran untuk BPJS Kesehatan. Anggaran itu
tidak dilepas begitu saja. Pengawasan dan monitoring terhadap BPJS
Kesehatan dilakukan secara berkala. Pengawasan itu tidak hanya dilakan
Kemenkeu, tetapi juga Badan Pengawas Keuangan (BPK), Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan tentu masyarakat
luas. ”Ya, pemerintah tidak serampngan. Ketat dalam memonitor anggaran.
Itu penting agar benar-benar menyasar kaum miskin,” tukas pria asal
Solo, Jawa Tengah (Jateng) itu.
Lantas bagaimana dengan BPJS Kesehatan?
Kunto mengakui mulai tahun depan BPJS Kesehatan tidak mendapat
penyertaan modal negara (PMN). BPJS Kesehatan diarahkan untuk mandiri
dan profesional dalam mengelola keuangan. Caranya, BPJS Kesehatan harus
melakukan jemput bola, door to door supaya seluruh orang mengikuti
program BPJS Kesehatan.
”Biar ada semacam subsidi silang. Yang
mampu secara ekonomi membantu yang lemah. Seandainya 250 juta jiwa sadar
dan ikut BPJS Kesehatan, kondisi tersebut aman,” jelasnya.
Banyak Orang Gila
Senada dengan CBA, Rieke Diah Pitaloka di DPR RI, 6 bulan lalu juga mengatakan bahwa BPJS Kesehatan perlu dikaji kembali. Menurutnya jumlah warga masyarakat yang menderita
ganggua jiwa atau yang lazim disebut orang gila terus meningkat. Kondisi
itu tentu harus mendapat perhatian serius dari pemerintah, sekalipun
yang bersangkutan adalah warga masyarakat miskin. “Jumlah penderita
ganggua jiwa ini memang terus meningkat,” kata Anggota Komisi IX DPR RI,
Rieke Diah Pitaloka di DPR RI, Rabu, (11/3).
Bahkan, dengan tidak malu-malu Rieke
mengakui peningkatan orang gila pada daerah pemilihannya, Provinsi Jawa
Barat meningkat dalam jumlah yang signifikan. “Ternyata di daerah yang
menjadi Dapil saya sendiri naiknya mencapai 63 persen. Naik signifikan
dibanding tahun 2012,” lanjut Rieke.
Rieke mengakui, peningkatan harga
kebutuhan pokok untuk hidup belakangan ini tidak bisa dilepaskan begitu
saja sebagai penyebabnya. Sebab, untuk kalangan masyarakat miskin,
peningkatan harga kebutuhan pokok akan sangat mempengaruhi tingkat
kejiwaan mereka. “Saya kira kenaikan harga kebutuhan pokok bisa juga
memicu depresi pada masyarakat,” tegas Rieke.
Menurut Rieke pemerintah tidak bisa
lepas tangan begitu saja untuk mengurus warganya yang mengalami gangguan
jiwa, meski dengan alasan anggaran terbatas. Sebab, menurut Rieke, saat
sidang APBNP 2015 pihak terkait tidak mampu menyajikan data yang valid
terhadap jumlah peserta jaminan kesehatan untuk masyarakat. “Tambahan
anggaran pada APBNP 2015 tidak bisa diberikan hanya berdasarkan
asumsi-asumsi data saja. Harus ada angka dan data yang bisa
dipertanggungjawabkan dan itu harus dipublikasi,” ujar Rieke.
Untuk itu Rieke meminta adanya langkah
tegas terhadap penyelenggaraan BPJS Kesehatan dari pemerintah. Sebab,
jika dibiarkan berlanjut tanpa ada kepastian tentu akan sangat merugikan
masyarakat. “Audit dulu BPJS Kesehatan ini,” tegas Rieke lagi. (bin/indopos/reppub)