Siapakah Orang Kafir Itu? Telaah Kronologi dan Semantik Al-Qur’an

BLOKBERITA -- Kolom saya (Mun'im Sirry), 'Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir' (15 April 2016), menerima reaksi cukup luas dari pembaca. Tapi, dari berbagai reaksi itu tak ada yang mempertanyakan, lalu siapakah orang kafir? Pertanyaan ini perlu dimunculkan mengingat kata “kafir” dan berbagai derivasinya disebutkan berulang-ulang (sekitar 500 kali) dalam al-Qur’an. Bahkan, bisa dikatakan, istilah “kafir” atau “kufr” merupakan salah satu konsep teologis yang sangat penting dalam al-Qur’an.

Pada situs web Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), tulisan berjudul “Siapakah Orang Kafir Itu?” dimuat pada 1 Oktober 2016. Tulisan itu berawal dari pertanyaan “Benarkah penganut agama Yahudi dan Nasrani disebut kafir? Ataukah kafir adalah mereka yang musyrik saja?” dan dijawab oleh KH Hafidz Abdurrahman. Walaupun tidak tampak mengkonter kolom saya terdahulu, tulisan itu sampai pada kesimpulan sebaliknya, yakni bahwa selain Muslim adalah kafir.

KH Hafidz Abdurrahman mengutip beberapa ayat al-Qur’an yang mengaitkan orang-orang Yahudi dan Nasrani dengan kafara (melakukan perbuatan kufr), kemudian menyimpulkan bahwa orang-orang kafir meliputi Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan musyrik. Kata terakhir didefinisikan sebagai “semua pemeluk agama dan kepercayaan selain Yahudi dan Nasrani” seperti penganut Hindu, Budha, Konghucu, Majusi, Sikh, dan seterusnya.
Apa yang ditulis KH Hafidz itu merupakan keyakinan banyak kaum Muslim di Indonesia. Saya akan tunjukkan bahwa keyakinan tersebut tidak didasarkan pada kajian dan pemahaman yang memadai, karena al-Qur’an menggunakan kata “kafir” lebih kompleks daripada yang digambarkan KH Hafidz itu. 

Konsep Kafir Itu Tidak Statis 

Salah satu cara melihat kompleksitas penggunaan kata “kafir” dalam al-Qur’an ialah dengan menganalisisnya dari lensa tradisional yang menganggap al-Qur’an diturunkan secara bertahap. Dalam kesarjanaan Muslim tradisional, ayat-ayat al-Qur’an dibagi ke dalam dua tahapan: Mekkah dan Madinah. Saya akan mengikuti sistem kronologi yang lebih rinci yang dikembangkan oleh sarjana Jerman Theodor Nöldeke, yang membagi al-Qur’an ke dalam empat fase: Mekkah awal, Mekkah pertengahan, Mekkah akhir, dan Madinah.
Dengan meneliti penggunaan kata “kafir” dan berbagai derivasinya dalam ayat-ayat yang tergolong ke dalam empat fase di atas akan terlihat perkembangan makna “kafir”. Ulama-ulama Muslim kerap menjelaskan perkembangan tersebut dengan mengaitkan dengan kehidupan Nabi Muhammad sendiri. Dengan kata lain, sirah (biografi Nabi) digunakan untuk menjelaskan al-Qur’an.
Jika kita mengikuti paradigma kesarjanaan Muslim tradisional ini, perkembangan makna “kafir” bisa dipahami terkait sikap Nabi Muhammad terhadap orang atau kelompok yang menolak dakwahnya. Pada awal misi kenabian Muhammad, kata “kafir” tidak begitu dominan dalam al-Qur’an. Kemudian istilah itu semakin penting dan dikaitkan dengan musyrik, hingga akhirnya berkembang menjadi kategori tersendiri. Pada tahapan terakhir, orang-orang kafir secara kategoris hanya dibatasi pada mereka yang memusuhi, dan juga dimusuhi oleh, kaum Muslim.
Tentu saja pembahasan tentang pergeseran makna “kafir” dalam empat fase al-Qur’an itu membutuhkan diskusi panjang. Saya hanya akan menyebutkan beberapa poin yang menonjol saja.
Pada fase Mekkah awal, concern al-Qur’an terutama tertuju pada penolakan Hari Akhir. Al-Qur’an menggambarkan mereka yang tidak percaya adanya Hari Akhir dengan kata “kadzdzaba”, yang bisa diartikan berbohong. Kata itu sebenarnya juga bermakna penolakan atas kenabian Muhammad sekaligus atas adanya Hari Akhir.
Ketika “kafir” atau “kafara” muncul pada fase Mekkah awal, seperti dalam surat al-Insyiqaq (84), identitasnya belum jelas. Orang-orang kafir disebutkan mendustakan Hari Akhir (84:22). Lihat bagaimana kafirun dan kadzdzaba digabung. Dalam surat al-Thariq (86), orang-orang kafir disebut menuduh Nabi sedang bercanda saja. Maka, di bagian akhir surat itu ditegaskan supaya “orang-orang kafir diberi waktu sejenak.” Di situ tampak kafir belum menjadi suatu kelompok tertentu, tapi terkait dengan sifat-sifat negatif lain seperti berbohong (kadzaba), zalim (dhalama) atau arogansi yang melewati batas (thagha).
Bahkan pada fase Mekkah pertengahan pun kafirun belum bersifat distingtif, tapi dikaitkan dengan syirik. Misalnya, surat al-Kafirun (109) itu disebutkan terkait orang-orang musyrik, tapi al-Qur’an menggunakan kata “kafirun”. Namun demikian, kata “kafir” menjadi cukup dominan. Setidaknya, hampir setiap surat yang tergolong fase Mekkah pertengahan (seperti Qs. 41, 36, 19, dan seterusnya) menggunakan kata “kafara”.
Pada fase Mekkah akhir orang-orang kafir menjadi sebuah kategori tersendiri vis-à-vis orang-orang beriman (mu’minun). Dalam surat al-Nuh (71), walaupun menggunakan episode Nabi Nuh, al-Qur’an memposisikan kaum mukmin pada spektrum yang bertolak belakang dari orang-orang kafir (Q.71:27-28). Ayat-ayat dalam fase ini menggambarkan orang-orang kafir sebagai pihak yang kehilangan harapan di dunia dan akhirat kelak.
Fase Madinah memperlihatkan pergeseran makna “kafir” secara cukup signifikan. Barangkali ini sejalan dengan iklim polemik yang dihadapi Nabi di sana berhadapan dengan para penolaknya, termasuk dari kaum Yahudi dan Kristen. Al-Qur’an mulai melayangkan kritik kepada mereka, termasuk menganggap mereka telah tersesat dan melakukan perbuatan kafir (kafaru) (misalnya, Q.4:136; 5:17, 73; 9:30).
Perbedaan sikap orang-orang mukmin dan kafir semakin dikontraskan. Bahkan, orang-orang Badui yang tidak mengetahui batasan hukum Tuhan pun dikatakan karena kekufuran mereka (Q.9:97). Tema yang dominan dalam ayat-ayat Madinah adalah polarisasi seperti yang tergambar di awal surat al-Baqarah itu: “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak. Mereka tidak akan beriman” (2:6).
Namun demikian, pada tahun-tahun terakhir periode Madinah al-Qur’an memaknai “kafir” lebih sempit. Hal itu mudah dipahami karena kelompok-kelompok yang menolak dakwah Nabi telah teridentifikasi jelas, yakni Yahudi, Kristen, Musyrik, dan Munafik. Lalu, siapakah orang-orang kafir? Jawabnya, mereka yang memperagakan permusuhan terhadap Nabi dan para pengikutnya. Pada fase ini pun, tampaknya, kafir bukan kategori yang statis, tapi bersifat kondisional. Artinya, setiap orang, termasuk Muslim, bisa menjadi kafir bila atau pada saat melakukan perbuatan kufr

Analisis Semantik

Jika mengikuti kronologi ayat-ayat al-Qur’an, yang didasarkan pada kesarjanaan Muslim tradisional sendiri, seharusnya para penganut agama lain tidak serta-merta dikategorikan kafir hanya karena mereka adalah non-Muslim. Perbedaan keyakinan saja tidak cukup untuk melabeli pihak lain sebagai kafir. Diperlukan manifestasi aktual yang berbentuk permusuhan atau bahkan keterlibatan dalam peperangan. Dalam banyak ayat, mereka itu dituduh telah melampaui batas (misalnya Q.58:4-5).
Kelemahan pendekatan tradisional ini ialah dasar asumsinya seolah-olah sikap al-Qur’an bersifat linear dan konsisten. Kenyataannya, isi al-Qur’an tidaklah tematik dalam arti tema yang sama kemungkinan diulang pada fase-fase lain. Karena itu, kita temukan beberapa tumpang-tindih (overlaps) sikap al-Qur’an dalam banyak kasus.
Menyadari problem tersebut, sarjana Jepang Toshihiko Izutsu lebih memilih analisis semantik dalam menelaah konsep etis “kafir” dalam al-Qur’an. Dalam karyanya yang dibaca luas dan sangat berpengaruh, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (1966), Izutsu mengusulkan supaya kata “kufr” dipahami dalam kaitannya dengan kata-kata kunci lainnya, seperti “fisq”, “dhulm”, “fajr”, “isyraf”, “nifaq”, dan “iman”. Dari analisis semantik itu, ia berkesimpulan bahwa “kufr” sebagai salah satu konsep etis keagamaan lebih bermakna “ingratitude for divine benevolence” dan karena itu antitesanya bukan iman melainkan syukur.
Sampai di sini kiranya sudah jelas bahwa, dari analisis kronologis dan semantik, kata “kafir” seharusnya tidak dilemparkan ke sana ke mari seperti bola panas yang liar. Celakanya, karena pemahaman yang minim terhadap Kitab Sucinya, sebagian kaum Muslim secara serampangan menuduh pihak-pihak lain sebagai kafir hanya karena mereka bukan Muslim.
Bahkan, tidak cukup puas menyebut non-Muslim sebagai kafir, mereka juga mengkafirkan kalangan Muslim lain yang berseberangan. Yang terakhir ini disebut takfir, sebuah tema yang akan didiskusikan dalam tulisan terpisah. 

Foto Profil Mun'im Sirry

Penulis : Mun'im Sirry / Assistant Professor di University of Notre Dame
View

Related

SASTRA DAN BUDAYA 1600021441172218346

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item