Menengok "Rumah Cendana" yang Sunyi Sepi
https://kabar22.blogspot.com/2017/02/menengok-rumah-cendana-yang-sunyi-sepi.html
BLOKBERITA, JAKARTA — Sejuk
dan rindang. Kira-kira seperti itulah suasana ketika memasuki Jalan
Cendana seusai hujan mengguyur Jakarta, Senin (30/1/2017).
Pohon-pohon besar dan rindang yang usianya mungkin sudah puluhan tahun memayungi hampir seluruh bagian jalan lurus tersebut.
Pada era pemerintahan presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, jalan yang berlokasi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, tersebut mungkin tidak bisa sebebas itu dilalui.
Mendengar nama jalan tersebut juga menimbulkan rasa sungkan. Ini karena salah satu rumah di sana adalah kediaman Soeharto dan keluarganya.
Hingga saat ini, rumah tersebut masih berdiri kokoh di ruas jalan tersebut. Hanya, kediaman ini tidak sementereng dulu.
Rumah dengan arsitektur lama, bercat hijau, dengan pagar rendah berwarna kuning gading tersebut tampak lebih usang. Batu-batu alam berwarna abu-abu yang menempel di tembok pagar beberapa juga sudah terlepas.
Jika melihat dari depan, pohon-pohon di halaman nyaris menutupi pandangan mata ke pintu utama rumah tersebut.
Atap yang masih menggunakan genting lama terlihat mulai kusam. Memasuki halamannya, atmosfer rumah lama begitu terasa.
Soeharto, Presiden Indonesia periode 1967-1998, yang meninggal pada
hari Minggu, 27 Januari 2008,dan dimakamkan di Astana Giribangun,
Karanganyar, Jawa Tengah, keesokan harinya. *** Local Caption *** Former
Indonesian President Suharto, supported by his daughter Siti Hardiyanti
Rukmana, left, and an unidentified security guard, waves as he arrives
at his residence on Cendana Street in Jakarta in this July 30, 1999 file
photo. Former dictator Suharto, an army general who crushed Indonesias
communist movement and pushed aside the countrys founding father to
usher in 32 years of tough rule that saw up to a million political
opponents killed, died Sunday, Jan. 27, 2008 file photo. He was 86.
Tidak ada aktivitas berarti yang terlihat dari dalam rumah. Sepi dan gelap.
Meski demikian, masih terlihat, empat petugas berjaga di pos untuk memastikan keamanan rumah.
“ Sekarang rumah kosong, enggak ada yang menempati. Namun, yang merawat rumah ada, karyawan-karyawan tinggal sini. Setiap hari, petugas keamanan jaga, bergantian,” ujar salah seorang petugas keamanan yang enggan disebut namanya, Senin (30/1/2017).
Ia mengatakan, semenjak mantan presiden Soeharto menutup usia, tidak ada lagi sosok yang dapat disambangi. Tamu-tamu yang biasanya sowan ke Rumah Cendana pun semakin berkurang. Saat ini, bahkan, rumah tersebut hampir tidak pernah menerima tamu.
Di rumah tersebut, kini sejumlah karyawan tinggal, mulai dari tukang kebun, petugas kebersihan, hingga petugas keamanan. Beberapa sudah mengabdi di rumah tersebut sejak era pemerintahan sang tuan rumah. Tugas mereka adalah merawat dan menjaga rumah.
Sesekali anak-anak Sang Jenderal berkunjung bergantian.
“ Anak-anaknya kan rumahnya juga sekitar sini. Sesekali nengok rumah, tetapi tidak tinggal di sini. Bu Mamiek sering datang ke sini melihat rumah,” ujarnya lagi.
Bebas Berlalu Lalang
Meski tidak banyak, sesekali mobil, motor, dan bajaj lewat melalui jalan ini. Pejalan kaki juga bebas berlalu lalang di depan rumah yang dulu menjadi saksi bisu masa pemerintahan Soeharto itu.
Namun, menurut ingatan Abdul (55), penjual barang bekas yang kerap berlalu lalang di sekitaran Menteng sejak tahun 1987, dulu jalan tersebut tidak bebas dilalui.
“ Dulu enggak seperti sekarang, enggak boleh (melintas) kita, bajaj (tidak bisa) mangkal di sini. Kendaraan boleh lewat, tetapi kayaknya ada jam-jam tertentu ditutup ada PM-nya jaga. Kalau ditanya juga sungkan, enggak mau kasih tahu rumah Pak Harto yang mana,” ujarnya.
Ia mengatakan, sepengetahuan dirinya, rumah tersebut saat ini memang sudah tidak ada yang menghuni. Namun, ia sempat mendengar bahwa anak-anaknya tinggal di sekitar Rumah Cendana.
“ Di depan, di ujung sana, itu katanya juga rumah anaknya,” ujarnya sambil menunjuk.
Keterangan yang sama diungkapkan Ali, warga sekitar yang sejak kecil sudah tinggal di sekitar Jalan Cendana.
“ Rumahnya enggak ditinggali anak-anaknya. Tanggal 27 Januari (tanggal meninggalnya Soeharto) kemarin juga enggak kelihatan ada acara, mungkin peringatan meninggalnya di Solo,” ujar Ali.
Meski sehari-hari tinggal berdekatan dengan Jalan Cendana, Ali juga mengaku saat ini ia tidak pernah bertemu dengan anggota Keluarga Cendana.
Sosok Misterius
Sosok Presiden Soeharto meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi masyarakat Indonesia.
Tiga puluh dua tahun berkuasa, tentu kiprahnya sebagai Presiden kedua Republik Indonesia masih melekat di ingatan setiap orang yang pernah merasakan kepemimpinannya.
Begitu juga dengan anak-anak muda yang tumbuh pada pengujung lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Mereka, yang lebih banyak mengetahui kiprah Presiden Soeharto itu dari bangku sekolah, buku, artikel berita, dan cerita dari orang-orang terdekat, ternyata juga memiliki kesan tersendiri.
" Tahun 1998, umur saya baru empat tahun. Terang saja saya enggak tahu apa-apa soal reformasi, apalagi soal Bapak (Soeharto) itu," ujar Nisrina Nadhifah Rahman, seorang pegiat lembaga swadaya masyarakat, ketika ditemui Kompas.com di Jakarta Pusat, Rabu (27/1/2016).
Ia menceritakan pengalaman yang ia rasakan saat reformasi bergejolak pada tahun 1998. Saat itu, ia sedang makan bersama ibunya di salah satu restoran di Kota Bogor.
Tidak beberapa lama, lampu di restoran tersebut mati dan orang-orang berteriak menyuruh mereka keluar dari restoran.
"Itu pengalaman yang saya ingat pada masa-masa reformasi dan kejatuhan Soeharto. Meski di Bogor, ternyata jarak juga tidak berpengaruh sama sekali. Saya ikut merasakan hawa mencekam reformasi," ungkap Nisrina.
Sebagai anak muda yang tidak begitu merasakan masa Orde Baru, Nisrina hanya mengenal Presiden Soeharto lewat buku-buku pelajaran sejarah di sekolah dan penjelasan dari gurunya. Ia mengetahui bahwa Soeharto adalah mantan Presiden RI yang paling lama menjabat.
Ia heran kenapa seorang presiden bisa menjabat selama 32 tahun. Rasa ingin tahunya itu membuat Nisrina bertanya kepada banyak orang, termasuk ibunya.
" Beliau jelasin soal Soeharto yang rezimnya disebut rezim Orde Baru. Soeharto dijulukin sebagai 'Bapak Pembangunan' karena dulu dia getol banget membangun ekonomi kerakyatan lewat pertanian dan segala macam. Tetapi, di samping itu, selama 32 tahun berkuasa, ada banyak juga kebijakan dan peristiwa kemanusiaan yang terjadi," tuturnya.
Setelah beranjak dewasa, Nisrina mulai banyak menemukan hal-hal menarik seputar Soeharto dari berbagai sumber. Pemahamannya terhadap langkah politik dan gaya kepemimpinan Soeharto semakin bertambah.
Saat duduk di bangku SMA, ia kemudian tertarik untuk mendalami isu-isu hak asasi manusia dan jender. Menurut dia, banyak kebijakan Presiden Soeharto yang tidak ramah dengan kemanusiaan. Beberapa peristiwa pelanggaran HAM juga banyak terjadi pada masa Orde Baru.
Sejak saat itu, dia melihat Soeharto sebagai figur pemimpin yang represif dan diktator. Tidak ada kebebasan sipil kala itu karena semua dikontrol oleh satu orang.
"Kebetulan pas SMP dan SMA, saya jadi reporter relawan sebuah media non-profit yang fokus pada isu jender dan HAM. Makanya, pengetahuan dan pemahaman saya soal HAM yang ada kaitannya dengan sejarah Soeharto juga jadi bertambah," ujarnya.
Bagi Nisrina, sosok Soeharto tetap menjadi figur yang penuh misteri. Setelah wafat sewindu yang lalu, Soeharto banyak meninggalkan sejarah dan hal-hal yang tak terungkap.
"Ada banyak hal, sejarah, dan kisah yang beliau tinggalkan, termasuk soal utang keadilan terhadap korban pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini belum dijawab negara," katanya.
Delapan tahun setelah wafat, Soeharto tetap meninggalkan berbagai macam kisah yang menunggu untuk diungkap.
Blusukan ala Soeharto
Tak hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang gemar melakukan "blusukan". Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto pun memiliki hobi yang sama, hanya saja cara keduanya melakukan berbeda.
Pada masa Seoharto memimpin, tak ada istilah khusus untuk menyebut inspeksi mendadak yang kini dipopulerkan dengan nama "blusukan" oleh Jokowi. Tak ada pula penyambutan keramaian karena semua dilakukan serba rahasia.
Sebuah pengalaman unik dirasakan Try Sutrisno pada tahun 1974 ketika dia masih menjadi ajudan Soeharto soal hobi mantan kepala negara satu itu.
Suatu ketika, Soeharto tiba-tiba memerintahkan Try untuk segera menyiapkan mobil dan pengamanan seperlunya.
" Siapkan kendaraan, sangat terbatas. Alat radio dan pengamanan seperlunya saja dan tidak perlu memberitahu siapa pun," perintah Soeharto seperti yang dikenang Try Sutrisno dalam buku "Soeharto: The Untold Story".
Perjalanan rahasia itu berlangsung selama dua pekan. Hanya Try, Dan Paspampres Kolonel Munawar, Komandan Pengawal, satu ajudan, Dokter Mardjono dan mekanik Pak Biyanto yang mengurus kendaraan yang turut serta dalam perjalanan itu.
Di luar rombongan ini, hanya Ketua G-I/S Intel Hankam Mayjen TNI Benny Moerdani yang mengetahuinya. Panglima ABRI ketika itu bahkan tidak tahu bahwa presiden sedang berkeliling dengan pengamanan seadanya ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Pada saat itu, Indonesia memasuki tahap Pelita II. Sehingga, Soeharto merasa harus turun langsung memantau program-program pemerintah dilaksanakan.
Dengan melakukan perjalanan rahasia seperti ini, Soeharto bisa melihat kondisi desa apa adanya dan mendapat masukan langsung dari masyarakat.
" Kami tidak pernah makan di restoran, menginap di rumah kepala desa atau rumah-rumah penduduk. Untuk urusan logistik, selain membawa beras dari Jakarta, Ibu Tien membekali sambal teri dan kering tempe. Benar-benar prihatin saat itu," tutur Try.
Meski pejalanan itu berusaha ditutup rapat, kedatangan presiden ke suatu desa akhirnya bocor juga hingga sampai ke telinga pejabat setempat.
Para pejabat daerah pun geger hingga memarahi Try Sutrsino karena merasa tidak diberi kesempatan untuk menyambut presiden. Try tidak bisa berbuat banyak karena perjalanan ini adalah kemauan Soeharto.
Try yang kemudian hari menjadi Wakil Presiden ini pun melihat Soeharto terlihat begitu menikmati perjalanan keluar masuk desa. Semua hal yang ditemui di lapangan dicatat Soeharto untuk jadi bahan dalam rapat kabinet.
Saking menikmatinya perjalanan itu, Soeharto tidak protes atau pun marah saat ajudannya salah mengambil jalan hingga akhirnya tersasar. Padahal, Soeharto mengetahui betul seluk beluk wilayah itu. Dalam ingatan Try, Soeharto ketika itu hanya tersenyum.
Perjalanan incognito itu pun berakhir di Istana Cipanas dengan kondisi semua lelah. Try mengungkapkan, Soeharto mempersilakan para pembantunya untuk makan terlebih dulu daripada dirinya. (mrheal/kompas)
Pohon-pohon besar dan rindang yang usianya mungkin sudah puluhan tahun memayungi hampir seluruh bagian jalan lurus tersebut.
Pada era pemerintahan presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, jalan yang berlokasi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, tersebut mungkin tidak bisa sebebas itu dilalui.
Mendengar nama jalan tersebut juga menimbulkan rasa sungkan. Ini karena salah satu rumah di sana adalah kediaman Soeharto dan keluarganya.
Hingga saat ini, rumah tersebut masih berdiri kokoh di ruas jalan tersebut. Hanya, kediaman ini tidak sementereng dulu.
Rumah dengan arsitektur lama, bercat hijau, dengan pagar rendah berwarna kuning gading tersebut tampak lebih usang. Batu-batu alam berwarna abu-abu yang menempel di tembok pagar beberapa juga sudah terlepas.
Tidak ada aktivitas berarti yang terlihat dari dalam rumah. Sepi dan gelap.
Meski demikian, masih terlihat, empat petugas berjaga di pos untuk memastikan keamanan rumah.
“ Sekarang rumah kosong, enggak ada yang menempati. Namun, yang merawat rumah ada, karyawan-karyawan tinggal sini. Setiap hari, petugas keamanan jaga, bergantian,” ujar salah seorang petugas keamanan yang enggan disebut namanya, Senin (30/1/2017).
Ia mengatakan, semenjak mantan presiden Soeharto menutup usia, tidak ada lagi sosok yang dapat disambangi. Tamu-tamu yang biasanya sowan ke Rumah Cendana pun semakin berkurang. Saat ini, bahkan, rumah tersebut hampir tidak pernah menerima tamu.
Di rumah tersebut, kini sejumlah karyawan tinggal, mulai dari tukang kebun, petugas kebersihan, hingga petugas keamanan. Beberapa sudah mengabdi di rumah tersebut sejak era pemerintahan sang tuan rumah. Tugas mereka adalah merawat dan menjaga rumah.
Sesekali anak-anak Sang Jenderal berkunjung bergantian.
“ Anak-anaknya kan rumahnya juga sekitar sini. Sesekali nengok rumah, tetapi tidak tinggal di sini. Bu Mamiek sering datang ke sini melihat rumah,” ujarnya lagi.
Bebas Berlalu Lalang
Meski tidak banyak, sesekali mobil, motor, dan bajaj lewat melalui jalan ini. Pejalan kaki juga bebas berlalu lalang di depan rumah yang dulu menjadi saksi bisu masa pemerintahan Soeharto itu.
Namun, menurut ingatan Abdul (55), penjual barang bekas yang kerap berlalu lalang di sekitaran Menteng sejak tahun 1987, dulu jalan tersebut tidak bebas dilalui.
“ Dulu enggak seperti sekarang, enggak boleh (melintas) kita, bajaj (tidak bisa) mangkal di sini. Kendaraan boleh lewat, tetapi kayaknya ada jam-jam tertentu ditutup ada PM-nya jaga. Kalau ditanya juga sungkan, enggak mau kasih tahu rumah Pak Harto yang mana,” ujarnya.
Ia mengatakan, sepengetahuan dirinya, rumah tersebut saat ini memang sudah tidak ada yang menghuni. Namun, ia sempat mendengar bahwa anak-anaknya tinggal di sekitar Rumah Cendana.
“ Di depan, di ujung sana, itu katanya juga rumah anaknya,” ujarnya sambil menunjuk.
Keterangan yang sama diungkapkan Ali, warga sekitar yang sejak kecil sudah tinggal di sekitar Jalan Cendana.
“ Rumahnya enggak ditinggali anak-anaknya. Tanggal 27 Januari (tanggal meninggalnya Soeharto) kemarin juga enggak kelihatan ada acara, mungkin peringatan meninggalnya di Solo,” ujar Ali.
Meski sehari-hari tinggal berdekatan dengan Jalan Cendana, Ali juga mengaku saat ini ia tidak pernah bertemu dengan anggota Keluarga Cendana.
Sosok Misterius
Sosok Presiden Soeharto meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi masyarakat Indonesia.
Tiga puluh dua tahun berkuasa, tentu kiprahnya sebagai Presiden kedua Republik Indonesia masih melekat di ingatan setiap orang yang pernah merasakan kepemimpinannya.
Begitu juga dengan anak-anak muda yang tumbuh pada pengujung lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Mereka, yang lebih banyak mengetahui kiprah Presiden Soeharto itu dari bangku sekolah, buku, artikel berita, dan cerita dari orang-orang terdekat, ternyata juga memiliki kesan tersendiri.
" Tahun 1998, umur saya baru empat tahun. Terang saja saya enggak tahu apa-apa soal reformasi, apalagi soal Bapak (Soeharto) itu," ujar Nisrina Nadhifah Rahman, seorang pegiat lembaga swadaya masyarakat, ketika ditemui Kompas.com di Jakarta Pusat, Rabu (27/1/2016).
Ia menceritakan pengalaman yang ia rasakan saat reformasi bergejolak pada tahun 1998. Saat itu, ia sedang makan bersama ibunya di salah satu restoran di Kota Bogor.
Tidak beberapa lama, lampu di restoran tersebut mati dan orang-orang berteriak menyuruh mereka keluar dari restoran.
"Itu pengalaman yang saya ingat pada masa-masa reformasi dan kejatuhan Soeharto. Meski di Bogor, ternyata jarak juga tidak berpengaruh sama sekali. Saya ikut merasakan hawa mencekam reformasi," ungkap Nisrina.
Sebagai anak muda yang tidak begitu merasakan masa Orde Baru, Nisrina hanya mengenal Presiden Soeharto lewat buku-buku pelajaran sejarah di sekolah dan penjelasan dari gurunya. Ia mengetahui bahwa Soeharto adalah mantan Presiden RI yang paling lama menjabat.
Ia heran kenapa seorang presiden bisa menjabat selama 32 tahun. Rasa ingin tahunya itu membuat Nisrina bertanya kepada banyak orang, termasuk ibunya.
" Beliau jelasin soal Soeharto yang rezimnya disebut rezim Orde Baru. Soeharto dijulukin sebagai 'Bapak Pembangunan' karena dulu dia getol banget membangun ekonomi kerakyatan lewat pertanian dan segala macam. Tetapi, di samping itu, selama 32 tahun berkuasa, ada banyak juga kebijakan dan peristiwa kemanusiaan yang terjadi," tuturnya.
Setelah beranjak dewasa, Nisrina mulai banyak menemukan hal-hal menarik seputar Soeharto dari berbagai sumber. Pemahamannya terhadap langkah politik dan gaya kepemimpinan Soeharto semakin bertambah.
Saat duduk di bangku SMA, ia kemudian tertarik untuk mendalami isu-isu hak asasi manusia dan jender. Menurut dia, banyak kebijakan Presiden Soeharto yang tidak ramah dengan kemanusiaan. Beberapa peristiwa pelanggaran HAM juga banyak terjadi pada masa Orde Baru.
Sejak saat itu, dia melihat Soeharto sebagai figur pemimpin yang represif dan diktator. Tidak ada kebebasan sipil kala itu karena semua dikontrol oleh satu orang.
"Kebetulan pas SMP dan SMA, saya jadi reporter relawan sebuah media non-profit yang fokus pada isu jender dan HAM. Makanya, pengetahuan dan pemahaman saya soal HAM yang ada kaitannya dengan sejarah Soeharto juga jadi bertambah," ujarnya.
Bagi Nisrina, sosok Soeharto tetap menjadi figur yang penuh misteri. Setelah wafat sewindu yang lalu, Soeharto banyak meninggalkan sejarah dan hal-hal yang tak terungkap.
"Ada banyak hal, sejarah, dan kisah yang beliau tinggalkan, termasuk soal utang keadilan terhadap korban pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini belum dijawab negara," katanya.
Delapan tahun setelah wafat, Soeharto tetap meninggalkan berbagai macam kisah yang menunggu untuk diungkap.
Blusukan ala Soeharto
Tak hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang gemar melakukan "blusukan". Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto pun memiliki hobi yang sama, hanya saja cara keduanya melakukan berbeda.
Pada masa Seoharto memimpin, tak ada istilah khusus untuk menyebut inspeksi mendadak yang kini dipopulerkan dengan nama "blusukan" oleh Jokowi. Tak ada pula penyambutan keramaian karena semua dilakukan serba rahasia.
Sebuah pengalaman unik dirasakan Try Sutrisno pada tahun 1974 ketika dia masih menjadi ajudan Soeharto soal hobi mantan kepala negara satu itu.
Suatu ketika, Soeharto tiba-tiba memerintahkan Try untuk segera menyiapkan mobil dan pengamanan seperlunya.
" Siapkan kendaraan, sangat terbatas. Alat radio dan pengamanan seperlunya saja dan tidak perlu memberitahu siapa pun," perintah Soeharto seperti yang dikenang Try Sutrisno dalam buku "Soeharto: The Untold Story".
Perjalanan rahasia itu berlangsung selama dua pekan. Hanya Try, Dan Paspampres Kolonel Munawar, Komandan Pengawal, satu ajudan, Dokter Mardjono dan mekanik Pak Biyanto yang mengurus kendaraan yang turut serta dalam perjalanan itu.
Di luar rombongan ini, hanya Ketua G-I/S Intel Hankam Mayjen TNI Benny Moerdani yang mengetahuinya. Panglima ABRI ketika itu bahkan tidak tahu bahwa presiden sedang berkeliling dengan pengamanan seadanya ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Pada saat itu, Indonesia memasuki tahap Pelita II. Sehingga, Soeharto merasa harus turun langsung memantau program-program pemerintah dilaksanakan.
Dengan melakukan perjalanan rahasia seperti ini, Soeharto bisa melihat kondisi desa apa adanya dan mendapat masukan langsung dari masyarakat.
" Kami tidak pernah makan di restoran, menginap di rumah kepala desa atau rumah-rumah penduduk. Untuk urusan logistik, selain membawa beras dari Jakarta, Ibu Tien membekali sambal teri dan kering tempe. Benar-benar prihatin saat itu," tutur Try.
Meski pejalanan itu berusaha ditutup rapat, kedatangan presiden ke suatu desa akhirnya bocor juga hingga sampai ke telinga pejabat setempat.
Para pejabat daerah pun geger hingga memarahi Try Sutrsino karena merasa tidak diberi kesempatan untuk menyambut presiden. Try tidak bisa berbuat banyak karena perjalanan ini adalah kemauan Soeharto.
Try yang kemudian hari menjadi Wakil Presiden ini pun melihat Soeharto terlihat begitu menikmati perjalanan keluar masuk desa. Semua hal yang ditemui di lapangan dicatat Soeharto untuk jadi bahan dalam rapat kabinet.
Saking menikmatinya perjalanan itu, Soeharto tidak protes atau pun marah saat ajudannya salah mengambil jalan hingga akhirnya tersasar. Padahal, Soeharto mengetahui betul seluk beluk wilayah itu. Dalam ingatan Try, Soeharto ketika itu hanya tersenyum.
Perjalanan incognito itu pun berakhir di Istana Cipanas dengan kondisi semua lelah. Try mengungkapkan, Soeharto mempersilakan para pembantunya untuk makan terlebih dulu daripada dirinya. (mrheal/kompas)