Integritas Pers Diketiak Pemodal
https://kabar22.blogspot.com/2016/01/integritas-pers-diketiak-pemilik-modal.html
BLOKBERITA -- Mampukah insan pers yang konon memanggul kesakralan jurnalistiknya mengambil alih kembali peran strategis media yang selama era reformasi ini telah telanjur dikuasai oleh para pemodal besar bermental pedagang kelontong?
Sesuai prinsipnya, media massa seharusnya selalu memberitakan hal-hal yang benar, sesuai fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Bukannya sebaliknya, malah seperti apa yang terjadi sekarang ini, menjadi sarana pembenaran bagi kepentingan kelompok dengan menghimpun di bukti-bukti yang ada. Idealisme media tentu membutuhkan bingkai yang bisa memberikan gambaran secara utuh dan dapat diterima oleh masyarakat. Sayangnya, apa yang terjadi sekarang adalah banyak media yang menjadi pelacur idealisme politik bagi figure yang berduit.
Sudah jelas, media yang menjadi pelacur idealisme akan menjadikan bingkai kepentingan dan keuntungan walau harus mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran. Ujungnya tentu media dengan sendirinya akan dipilih dan dipilah berdasarkan konteks strategi politik yang kemudian dijadikan corong ke dalam sebuah wadah dalam bentuk keuntungan atau kepentingan kelompok semata.
Bilamana ada yang beranggapan bahwa kerja media atau pers adalah sebuah siklus kerja yang teramat mulia, maka anggapan seperti ini seharusnya oleh insan pers bersandar pada integritas dan profesionalitas yang berdiri pada titik strategis kebenaran.
Media saat ini tak ubahnya sebuah kumpulan manusia-manusia intelek yang tega melacurkan idealisme profesionalismenya kepada sang pemilik modal. Atau lebih sarkasnya, para awak pers tak ubahnya sebagai tunawisma yang hidup dari belas kasihan kalangan orang berduit, yaitu bisa pengusaha atau juga penguasa.
Sangat berbeda jika kita melihat posisi media di tahun 90-an. Ketika itu idealisme insan pers bisa menjadi ciri utama dari media yang punya integritas. Malah era itu bisa digambarkan sebagai monumen sejarah paling apik untuk kelangsungan hidup insan pers. Tanpa berfikir kekayaan atau jabatan, insan pers mengandalkan kekuatan pada karya. Mereka senantiasa berfikir bagaimana membuat karya pers idealis dan penuh integritas. Namun, semua itu tentunya dengan tantangan dan ancaman yang tidak kecil dari rezim penguasa. Ketika itu, bagaimana sensor yang dilakukan rezim Orde Baru begitu ketat membatasi kerja-kerja pers yang ingin membongkar praktik kotor dan represif pemerintah.
Selanjutnya, karena idealisme pers sering menghalangi strategi pemerintah, maka media-media seperti Tempo, Editor, dan Detik pun dibredel oleh pemerintah. Selain itu untuk menggerus integritas pers, strategi pemerintah mulai memberikan peluang bagi pengusaha untuk masuk ke dalam kepemilikan pers seperti yang terjadi pada majalah Forum Keadilan, dengan cara dipaksa sahamnya diambil alih oleh pihak pengusaha yang condong berhaluan ke pihak pemerintah. Dengan begitu, sangat mudah untuk mengerdilkan idealisme insan pers.
Di sisi lain, pembredelan kemudian merupakan tonggak awal kemunculan internet di Indonesia yang ketika itu memang baru melanda Indonesia. Lahirnya media-media internet, tak lain karena ketika itu media ingin tetap punya integritas, yang punya niat menjadi pilar strategis bagi pembangunan moral bangsa. Penggunaan media berbasis internet waktu itu adalah bagian dari insan pers yang ingin tetap memiliki sebuah media agar integritas persnya tetap terjaga. Dan walau terbatas, tapi itu satu-satunya cara yang paling masuk akal agar lolos dari ancaman sensor pemerintah.
Pers dalam ruang lingkup politik sesungguhnya telah terbentuk sejak berabad lalu dan hasilnya saling melengkapi. Hanya saja, masalahnya di alam demokrasi saat ini, di mana sistem politiknya yang lahir dari liberal kapitalistik, akan dengan sendirinya terjadi imbal balik yang salah antara insan pers dan pemilik. Akibatnya, sulit untuk mewujudkan profesionalitas pers yang berintegritas. Dalam hal ini, cakupan integritas sekurang-kurangnya mengandung unsur kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab.
Pada tahap selanjutnya, posisi pers setelah kegemilangan cara politik pencitraan ala Susilo Bambang Yudoyono selama sepuluh tahun, pers kini makin terbias oleh munculnya patron politik pencitraan model baru yang melekat pada Presiden Jokowi. Jokowi dengan gaya pencitraannya tidak tanggung-tanggung melibatkan semua media baik cetak, elektronik, online, maupun sosial. Dukungan secara masif tersebut bisa dibilang wajar, karena Jokowi adalah sosok pemimpin yang menurut media punya keunikan tersendiri. Di samping bukan seorang ketua partai, dia juga tidak punya latar kehidupan politik yang mumpuni seperti layaknya seorang tokoh sekaliber Prabowo Subianto atau Megawati Soekarnoputri.
Dilihat dari fungsinya, media akan tetap memiliki peran yang sangat strategis bagi kelanggengan “kediktatoran” dari seorang Presiden. Dalam hal ini, teori simbiosis mutualisme berlaku, di mana media oleh pemiliknya dipaksa untuk melacurkan diri demi kepentingan bisnisnya. Para pemilik modal besar, yang "awam" dan tak paham soal dunia media atau pers, bahkan sudah memulainya sejak Jokowi dilantik jadi Presiden.
Bagi para pelaku pers yang idealis tentu hal tersebut bisa dikatakan sebagai "kutukan jurnalistik" yang hingga saat ini belum ada yang mampu mengatasinya. Dulu di era Orde Baru, pers benar-benar dikontrol oleh pemerintah dan tak mampu melepaskan diri dari belenggu penguasa. Karena terlalu lama "dijajah" penguasa, media terpaksa melakukan apa yang dinamakan kompromi, karena sikap oportunistis para pimpinan medianya.
Sayangnya, ketika rezim Orde Baru runtuh, orang-orang pers yang telah terlena dalam "zona nyaman", tak siap "mengambil alih" peran yang sebelumnya berada di tangan rezim penguasa. Pada akhirnya sebuah kenestapaan panjang yang tidak mungkin lagi bisa diprediksi kapan akan berakhir.
Orang media juga tak lagi mampu segera mewujudkan gagasan "kebebasan pers" yang telah digelorakannya. Kekosongan peran itu kemudian segera diisi oleh para pemilik modal besar yang "awam" itu. Mengapa? Mereka jauh lebih "peka terhadap prospeks" bisnis di bidang media. Munculnya nama-nama seperti Erick Thohir, yang kemudian disusul oleh Hari Tanoesoedibyo, dan belakangan Chairul Tanjung, sebagai penguasa bisnis media menjadi indikasi kuat adanya fenomena bahwa integritas media makin bias.
Tokoh-tokoh pers, termasuk tokoh media digital sekelas Budiono Darsono, bahkan bertekuk lutut di depan pengusaha Chairul Tanjung hanya karena segepok rupiah dalam jumlah ratusan miliar. Insting jurnalistiknya mendadak beku dan tumpul gara-gara tergerus oleh pengaruh kapitalisme yang merasuk ke dunia media. Alhasil, ia kini kehilangan kreativitas yang mumpuni, kecuali aktif travelling dan melakukan aktivitas rutin di luar dunia pers. Lalu apa yang bisa diharapkan dari orang-orang pers dalam bisnis pers yang semakin kapitalistik ini?
Dalam hal ini, mampukah insan pers yang konon memanggul kesakralan jurnalistiknya mengambil alih kembali peran strategis media yang selama era reformasi ini telah telanjur dikuasai oleh para pemodal besar bermental pedagang kelontong? Para pemodal besar yang juga haus kekuasaan, sehingga seringkali tak segan-segan menyandera idealisme para wartawannya untuk memaksa mereka melacurkan diri demi kepentingan politik Si Pemodal.
Ataukah para elite tokoh pers kali ini akan kembali bersikap oportunistik demi mengambil keuntungan pribadi seperti yang sudah-sudah? Mungkin jawabannya hanya ada pada hati nurani masing masing insan pers yang kini sedang merajut mimpi indah bersama sang pemilik modal. (Inrev./bazz).
Sesuai prinsipnya, media massa seharusnya selalu memberitakan hal-hal yang benar, sesuai fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Bukannya sebaliknya, malah seperti apa yang terjadi sekarang ini, menjadi sarana pembenaran bagi kepentingan kelompok dengan menghimpun di bukti-bukti yang ada. Idealisme media tentu membutuhkan bingkai yang bisa memberikan gambaran secara utuh dan dapat diterima oleh masyarakat. Sayangnya, apa yang terjadi sekarang adalah banyak media yang menjadi pelacur idealisme politik bagi figure yang berduit.
Sudah jelas, media yang menjadi pelacur idealisme akan menjadikan bingkai kepentingan dan keuntungan walau harus mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran. Ujungnya tentu media dengan sendirinya akan dipilih dan dipilah berdasarkan konteks strategi politik yang kemudian dijadikan corong ke dalam sebuah wadah dalam bentuk keuntungan atau kepentingan kelompok semata.
Bilamana ada yang beranggapan bahwa kerja media atau pers adalah sebuah siklus kerja yang teramat mulia, maka anggapan seperti ini seharusnya oleh insan pers bersandar pada integritas dan profesionalitas yang berdiri pada titik strategis kebenaran.
Media saat ini tak ubahnya sebuah kumpulan manusia-manusia intelek yang tega melacurkan idealisme profesionalismenya kepada sang pemilik modal. Atau lebih sarkasnya, para awak pers tak ubahnya sebagai tunawisma yang hidup dari belas kasihan kalangan orang berduit, yaitu bisa pengusaha atau juga penguasa.
Sangat berbeda jika kita melihat posisi media di tahun 90-an. Ketika itu idealisme insan pers bisa menjadi ciri utama dari media yang punya integritas. Malah era itu bisa digambarkan sebagai monumen sejarah paling apik untuk kelangsungan hidup insan pers. Tanpa berfikir kekayaan atau jabatan, insan pers mengandalkan kekuatan pada karya. Mereka senantiasa berfikir bagaimana membuat karya pers idealis dan penuh integritas. Namun, semua itu tentunya dengan tantangan dan ancaman yang tidak kecil dari rezim penguasa. Ketika itu, bagaimana sensor yang dilakukan rezim Orde Baru begitu ketat membatasi kerja-kerja pers yang ingin membongkar praktik kotor dan represif pemerintah.
Selanjutnya, karena idealisme pers sering menghalangi strategi pemerintah, maka media-media seperti Tempo, Editor, dan Detik pun dibredel oleh pemerintah. Selain itu untuk menggerus integritas pers, strategi pemerintah mulai memberikan peluang bagi pengusaha untuk masuk ke dalam kepemilikan pers seperti yang terjadi pada majalah Forum Keadilan, dengan cara dipaksa sahamnya diambil alih oleh pihak pengusaha yang condong berhaluan ke pihak pemerintah. Dengan begitu, sangat mudah untuk mengerdilkan idealisme insan pers.
Di sisi lain, pembredelan kemudian merupakan tonggak awal kemunculan internet di Indonesia yang ketika itu memang baru melanda Indonesia. Lahirnya media-media internet, tak lain karena ketika itu media ingin tetap punya integritas, yang punya niat menjadi pilar strategis bagi pembangunan moral bangsa. Penggunaan media berbasis internet waktu itu adalah bagian dari insan pers yang ingin tetap memiliki sebuah media agar integritas persnya tetap terjaga. Dan walau terbatas, tapi itu satu-satunya cara yang paling masuk akal agar lolos dari ancaman sensor pemerintah.
Pers dalam ruang lingkup politik sesungguhnya telah terbentuk sejak berabad lalu dan hasilnya saling melengkapi. Hanya saja, masalahnya di alam demokrasi saat ini, di mana sistem politiknya yang lahir dari liberal kapitalistik, akan dengan sendirinya terjadi imbal balik yang salah antara insan pers dan pemilik. Akibatnya, sulit untuk mewujudkan profesionalitas pers yang berintegritas. Dalam hal ini, cakupan integritas sekurang-kurangnya mengandung unsur kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab.
Pada tahap selanjutnya, posisi pers setelah kegemilangan cara politik pencitraan ala Susilo Bambang Yudoyono selama sepuluh tahun, pers kini makin terbias oleh munculnya patron politik pencitraan model baru yang melekat pada Presiden Jokowi. Jokowi dengan gaya pencitraannya tidak tanggung-tanggung melibatkan semua media baik cetak, elektronik, online, maupun sosial. Dukungan secara masif tersebut bisa dibilang wajar, karena Jokowi adalah sosok pemimpin yang menurut media punya keunikan tersendiri. Di samping bukan seorang ketua partai, dia juga tidak punya latar kehidupan politik yang mumpuni seperti layaknya seorang tokoh sekaliber Prabowo Subianto atau Megawati Soekarnoputri.
Dilihat dari fungsinya, media akan tetap memiliki peran yang sangat strategis bagi kelanggengan “kediktatoran” dari seorang Presiden. Dalam hal ini, teori simbiosis mutualisme berlaku, di mana media oleh pemiliknya dipaksa untuk melacurkan diri demi kepentingan bisnisnya. Para pemilik modal besar, yang "awam" dan tak paham soal dunia media atau pers, bahkan sudah memulainya sejak Jokowi dilantik jadi Presiden.
Bagi para pelaku pers yang idealis tentu hal tersebut bisa dikatakan sebagai "kutukan jurnalistik" yang hingga saat ini belum ada yang mampu mengatasinya. Dulu di era Orde Baru, pers benar-benar dikontrol oleh pemerintah dan tak mampu melepaskan diri dari belenggu penguasa. Karena terlalu lama "dijajah" penguasa, media terpaksa melakukan apa yang dinamakan kompromi, karena sikap oportunistis para pimpinan medianya.
Sayangnya, ketika rezim Orde Baru runtuh, orang-orang pers yang telah terlena dalam "zona nyaman", tak siap "mengambil alih" peran yang sebelumnya berada di tangan rezim penguasa. Pada akhirnya sebuah kenestapaan panjang yang tidak mungkin lagi bisa diprediksi kapan akan berakhir.
Orang media juga tak lagi mampu segera mewujudkan gagasan "kebebasan pers" yang telah digelorakannya. Kekosongan peran itu kemudian segera diisi oleh para pemilik modal besar yang "awam" itu. Mengapa? Mereka jauh lebih "peka terhadap prospeks" bisnis di bidang media. Munculnya nama-nama seperti Erick Thohir, yang kemudian disusul oleh Hari Tanoesoedibyo, dan belakangan Chairul Tanjung, sebagai penguasa bisnis media menjadi indikasi kuat adanya fenomena bahwa integritas media makin bias.
Tokoh-tokoh pers, termasuk tokoh media digital sekelas Budiono Darsono, bahkan bertekuk lutut di depan pengusaha Chairul Tanjung hanya karena segepok rupiah dalam jumlah ratusan miliar. Insting jurnalistiknya mendadak beku dan tumpul gara-gara tergerus oleh pengaruh kapitalisme yang merasuk ke dunia media. Alhasil, ia kini kehilangan kreativitas yang mumpuni, kecuali aktif travelling dan melakukan aktivitas rutin di luar dunia pers. Lalu apa yang bisa diharapkan dari orang-orang pers dalam bisnis pers yang semakin kapitalistik ini?
Dalam hal ini, mampukah insan pers yang konon memanggul kesakralan jurnalistiknya mengambil alih kembali peran strategis media yang selama era reformasi ini telah telanjur dikuasai oleh para pemodal besar bermental pedagang kelontong? Para pemodal besar yang juga haus kekuasaan, sehingga seringkali tak segan-segan menyandera idealisme para wartawannya untuk memaksa mereka melacurkan diri demi kepentingan politik Si Pemodal.
Ataukah para elite tokoh pers kali ini akan kembali bersikap oportunistik demi mengambil keuntungan pribadi seperti yang sudah-sudah? Mungkin jawabannya hanya ada pada hati nurani masing masing insan pers yang kini sedang merajut mimpi indah bersama sang pemilik modal. (Inrev./bazz).