Beware !!. Utang Mandiri, BRI, BNI ke China Riskan !
https://kabar22.blogspot.com/2015/12/beware-utang-mandiri-bri-bni-ke-china.html
BLOKBERITA -- Jika Bank Mandiri, BRI, dan BNI tidak sanggup mengembalikan pinjaman kepada China Bank of Development, bukan mustahil mereka akan masuk ke tiga bank BUMN tersebut. Tentu saja, ini berbahaya.
Di saat banyak bank nasional mengerem nafsu berutang dalam bentuk valuta asing, tidak demikian dengan tiga bank pemerintah. Lihat saja yang sedang dilakukan oleh Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Ketiga bank BUMN tersebut malah mengajukan pinjaman masing-masing sebesar US$ 1 miliar kepada China Bank of Development (CBD), atau total US$ 3 miliar (Rp 43,28 triliun).
Pinjaman bertenor 3 hingga 10 tahun itu akan digunakan untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur. Antara lain proyek pembangunan rel kereta api Stasiun Manggarai – Bandara Soekarno–Hatta. Proyek senilai Rp 2,5 triliun tersebut nantinya akan dikerjakan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan konsorsium PT Railink.
Pembangunan proyek infrastruktur memang amat dibutuhkan, apalagi di saat perekonomian dilanda kelesuan seperti sekarang ini. Masalahnya, posisi dolar saat ini seperti bola liar yang sulit ditangkap. Lagi pula, sejak hasil ekspor wajib diparkir di bank-bank dalam negeri, brankas perbankan di Tanah Air disesaki oleh dolar.
Berdasarkan Statistik Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Juni 2015, total dana pihak ketiga (DPK) perbankan umum dalam bentuk valas mencapai Rp 772,8 triliun. Namun derasnya dolar yang masuk ke laci bank tidak diimbangi dengan kucuran kredit yang memadai. Dalam periode yang sama, pinjaman valas yang dikucurkan perbankan nasional hanya tercatat sebesar Rp 643,6 triliun.
Alhasi, hingga semester I, loan to deposit ratio (LDR) valas tercatat 83,27%. Melorot dibandingkan posisi awal tahun yang mencapai 90,7%. Ini menunjukkan likuditas valas di perbankan nasional masih longgar. BCA, contohnya. Hingga semester I – 2015, bank milik Grup Djarum ini hanya mengucurkan kredit valas US$ 1,5 miliar. Padahal, pada periode yang sama, bank tersebut berhasil menghimpun DPK valas hingga US$ 2,8 miliar.
Bukan hanya BCA yang mengalami banjir dolar. Bank swasta lainnya, seperti Panin dan OCBC NISP, juga mengalami hal yang sama. Bahkan DPK valas yang belum terpakai di bank BUMN lebih besar lagi. Di Bank Mandiri, misalnya. Menurut Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Finance & Strategy Bank Mandiri, saat ini Bank Mandiri mengalami kelebihan likuiditas valas hingga US$ 3,2 miliar. Jadi, wajar bila LDR valas di bank ini hanya 62%.
LDR valas BRI dan BNI pun cukup rendah. Ahmad Baiquni, Direktur Utama Bank BNI, mengatakan bahwa permintaan kredit valas sesungguhnya amat besar. Hanya saja, sebagian debitor BNI berasal dari korporasi berbasis ekspor, seperti crude palm oil CPO) dan batu bara yang saat ini harganya sedang terpuruk di pasar internasional. “Kami memang sangat selektif dalam memilih debitor,” ujarnya.
BRI juga sangat selektif dalam memberikan pembiayaan dalam dominasi valas. Apalagi bank ini lebih fokus pada pembiayaan usaha kecil (UMKM). Menurut Haru Koesmahargo, Direktur Keuangan Bank BRI, porsi kredit valas BRI hanya 10% - 11% dari total kredit. “Kami juga menjaga LDR valas di kisaran 50% - 60% hingga 2015,” katanya.
Nah, rendahnya LDR valas tadi sudah barang tentu membuat beban perbankan juga menjadi tinggi. Apalagi instrumen investasi valas amat terbatas. Sehingga, jika DPK valas tidak disalurkan dalam kredit, keuntungan yang diraih tidak optimal. Apalagi transaksi antarbank kini semakin terbatas. “Soalnya hampir semua bank sedang mengalami over likuiditas,” ujar seorang bankir swasta.
Jika benar begitu, mengapa Bank Mandiri, BRI, dan BNI ngotot mengajukan pinjaman ke CBD? Ini dia yang sulit dijawab. Apalagi, bunga yang dikenakan oleh CBD juga relatif tinggi, yakni Libor (London Interbank Offered Rate) plus 200 basis poin. “Jauh lebih tinggi dari pinjaman (valas) BNI kepada bank lain,” ujar Baiquni. Asal tahu saja, saat ini bunga pinjaman valas berkisar antara 0,5% hingga 1% di atas Libor (0,333720% - 0,25560%).
Selain bunganya relatif tinggi, tidak seluruh pinjaman dari CBD diberikan dalam mata uang dolar. Seperti dikatakan Haru, sekitar 30% di antaranya atau US$ 300 juta akan diberikan dalam bentuk renmimbi. Persoalannya, permintaan kredit diajukan oleh para debitor bank BUMN umumnya dalam mata uang dolar. “Kalau BNI ambil renmimbi tapi tidak bisa dipakai, kami bisa rugi,” ujar Rico Rizal Budidarmo, Direktur Keuangan Bank BNI.
Jika begitu, ada kemungkinan 30% dari total pinjaman US$ 3 miliar akan nantinya akan digunakan untuk pembiayaan impor barang-barang dari China. Dugaan ini semakin kuat karena kucuran kredit dari CBD ini juga mendapat dukungan dari Rini Soemarno, Menteri BUMN, yang disebut-sebut dekat dengan pejabat dan pengusaha China.
Pinjaman dari CBD sebenarnya tidak ada yang salah. Sama seperti halnya pinjaman yang diterima perusahaan-perusahaan Indonesia dari bank-bank di Jepang, Eropa, maupun Amerika Serikat. Hanya saja, ya itu tadi, akad kredit dari CBD akan diteken pada saat nilai tukar tengah bergejolak. Lagi pula 30% di antaranya akan diberikan dalam renmimbi yang kursnya tengah terpuruk terhadap dolar.
Maka tidak salah juga bila Jajat Nurjaman, Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesia Demoracy, mengingatkan pemerintah untuk tetap berhati-hati. “Karena yang dipertaruhkan aset-aset penting negara,” ujarnya.
Mungkin maksudnya, seandainya Mandiri, BRI, dan BNI sampai tidak sanggup mengembalikan pinjaman, bukan mustahil CBD akan masuk ke tiga bank BUMN tersebut. Tentu saja, ini berbahaya.
[ Inrev./ bmw ]
Di saat banyak bank nasional mengerem nafsu berutang dalam bentuk valuta asing, tidak demikian dengan tiga bank pemerintah. Lihat saja yang sedang dilakukan oleh Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Ketiga bank BUMN tersebut malah mengajukan pinjaman masing-masing sebesar US$ 1 miliar kepada China Bank of Development (CBD), atau total US$ 3 miliar (Rp 43,28 triliun).
Pinjaman bertenor 3 hingga 10 tahun itu akan digunakan untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur. Antara lain proyek pembangunan rel kereta api Stasiun Manggarai – Bandara Soekarno–Hatta. Proyek senilai Rp 2,5 triliun tersebut nantinya akan dikerjakan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan konsorsium PT Railink.
Pembangunan proyek infrastruktur memang amat dibutuhkan, apalagi di saat perekonomian dilanda kelesuan seperti sekarang ini. Masalahnya, posisi dolar saat ini seperti bola liar yang sulit ditangkap. Lagi pula, sejak hasil ekspor wajib diparkir di bank-bank dalam negeri, brankas perbankan di Tanah Air disesaki oleh dolar.
Berdasarkan Statistik Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Juni 2015, total dana pihak ketiga (DPK) perbankan umum dalam bentuk valas mencapai Rp 772,8 triliun. Namun derasnya dolar yang masuk ke laci bank tidak diimbangi dengan kucuran kredit yang memadai. Dalam periode yang sama, pinjaman valas yang dikucurkan perbankan nasional hanya tercatat sebesar Rp 643,6 triliun.
Alhasi, hingga semester I, loan to deposit ratio (LDR) valas tercatat 83,27%. Melorot dibandingkan posisi awal tahun yang mencapai 90,7%. Ini menunjukkan likuditas valas di perbankan nasional masih longgar. BCA, contohnya. Hingga semester I – 2015, bank milik Grup Djarum ini hanya mengucurkan kredit valas US$ 1,5 miliar. Padahal, pada periode yang sama, bank tersebut berhasil menghimpun DPK valas hingga US$ 2,8 miliar.
Bukan hanya BCA yang mengalami banjir dolar. Bank swasta lainnya, seperti Panin dan OCBC NISP, juga mengalami hal yang sama. Bahkan DPK valas yang belum terpakai di bank BUMN lebih besar lagi. Di Bank Mandiri, misalnya. Menurut Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Finance & Strategy Bank Mandiri, saat ini Bank Mandiri mengalami kelebihan likuiditas valas hingga US$ 3,2 miliar. Jadi, wajar bila LDR valas di bank ini hanya 62%.
LDR valas BRI dan BNI pun cukup rendah. Ahmad Baiquni, Direktur Utama Bank BNI, mengatakan bahwa permintaan kredit valas sesungguhnya amat besar. Hanya saja, sebagian debitor BNI berasal dari korporasi berbasis ekspor, seperti crude palm oil CPO) dan batu bara yang saat ini harganya sedang terpuruk di pasar internasional. “Kami memang sangat selektif dalam memilih debitor,” ujarnya.
BRI juga sangat selektif dalam memberikan pembiayaan dalam dominasi valas. Apalagi bank ini lebih fokus pada pembiayaan usaha kecil (UMKM). Menurut Haru Koesmahargo, Direktur Keuangan Bank BRI, porsi kredit valas BRI hanya 10% - 11% dari total kredit. “Kami juga menjaga LDR valas di kisaran 50% - 60% hingga 2015,” katanya.
Nah, rendahnya LDR valas tadi sudah barang tentu membuat beban perbankan juga menjadi tinggi. Apalagi instrumen investasi valas amat terbatas. Sehingga, jika DPK valas tidak disalurkan dalam kredit, keuntungan yang diraih tidak optimal. Apalagi transaksi antarbank kini semakin terbatas. “Soalnya hampir semua bank sedang mengalami over likuiditas,” ujar seorang bankir swasta.
Jika benar begitu, mengapa Bank Mandiri, BRI, dan BNI ngotot mengajukan pinjaman ke CBD? Ini dia yang sulit dijawab. Apalagi, bunga yang dikenakan oleh CBD juga relatif tinggi, yakni Libor (London Interbank Offered Rate) plus 200 basis poin. “Jauh lebih tinggi dari pinjaman (valas) BNI kepada bank lain,” ujar Baiquni. Asal tahu saja, saat ini bunga pinjaman valas berkisar antara 0,5% hingga 1% di atas Libor (0,333720% - 0,25560%).
Selain bunganya relatif tinggi, tidak seluruh pinjaman dari CBD diberikan dalam mata uang dolar. Seperti dikatakan Haru, sekitar 30% di antaranya atau US$ 300 juta akan diberikan dalam bentuk renmimbi. Persoalannya, permintaan kredit diajukan oleh para debitor bank BUMN umumnya dalam mata uang dolar. “Kalau BNI ambil renmimbi tapi tidak bisa dipakai, kami bisa rugi,” ujar Rico Rizal Budidarmo, Direktur Keuangan Bank BNI.
Jika begitu, ada kemungkinan 30% dari total pinjaman US$ 3 miliar akan nantinya akan digunakan untuk pembiayaan impor barang-barang dari China. Dugaan ini semakin kuat karena kucuran kredit dari CBD ini juga mendapat dukungan dari Rini Soemarno, Menteri BUMN, yang disebut-sebut dekat dengan pejabat dan pengusaha China.
Pinjaman dari CBD sebenarnya tidak ada yang salah. Sama seperti halnya pinjaman yang diterima perusahaan-perusahaan Indonesia dari bank-bank di Jepang, Eropa, maupun Amerika Serikat. Hanya saja, ya itu tadi, akad kredit dari CBD akan diteken pada saat nilai tukar tengah bergejolak. Lagi pula 30% di antaranya akan diberikan dalam renmimbi yang kursnya tengah terpuruk terhadap dolar.
Maka tidak salah juga bila Jajat Nurjaman, Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesia Demoracy, mengingatkan pemerintah untuk tetap berhati-hati. “Karena yang dipertaruhkan aset-aset penting negara,” ujarnya.
Mungkin maksudnya, seandainya Mandiri, BRI, dan BNI sampai tidak sanggup mengembalikan pinjaman, bukan mustahil CBD akan masuk ke tiga bank BUMN tersebut. Tentu saja, ini berbahaya.
[ Inrev./ bmw ]
ndonesianReview.com
-- Jika Bank Mandiri, BRI, dan BNI tidak sanggup mengembalikan pinjaman
kepada China Bank of Development, bukan mustahil mereka akan masuk ke
tiga bank BUMN tersebut. Tentu saja, ini berbahaya.
Di saat banyak bank nasional mengerem nafsu berutang dalam bentuk valuta asing, tidak demikian dengan tiga bank pemerintah. Lihat saja yang sedang dilakukan oleh Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Ketiga bank BUMN tersebut malah mengajukan pinjaman masing-masing sebesar US$ 1 miliar kepada China Bank of Development (CBD), atau total US$ 3 miliar (Rp 43,28 triliun).
Pinjaman bertenor 3 hingga 10 tahun itu akan digunakan untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur. Antara lain proyek pembangunan rel kereta api Stasiun Manggarai – Bandara Soekarno–Hatta. Proyek senilai Rp 2,5 triliun tersebut nantinya akan dikerjakan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan konsorsium PT Railink.
Pembangunan proyek infrastruktur memang amat dibutuhkan, apalagi di saat perekonomian dilanda kelesuan seperti sekarang ini. Masalahnya, posisi dolar saat ini seperti bola liar yang sulit ditangkap. Lagi pula, sejak hasil ekspor wajib diparkir di bank-bank dalam negeri, brankas perbankan di Tanah Air disesaki oleh dolar.
Berdasarkan Statistik Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Juni 2015, total dana pihak ketiga (DPK) perbankan umum dalam bentuk valas mencapai Rp 772,8 triliun. Namun derasnya dolar yang masuk ke laci bank tidak diimbangi dengan kucuran kredit yang memadai. Dalam periode yang sama, pinjaman valas yang dikucurkan perbankan nasional hanya tercatat sebesar Rp 643,6 triliun.
Alhasi, hingga semester I, loan to deposit ratio (LDR) valas tercatat 83,27%. Melorot dibandingkan posisi awal tahun yang mencapai 90,7%. Ini menunjukkan likuditas valas di perbankan nasional masih longgar. BCA, contohnya. Hingga semester I – 2015, bank milik Grup Djarum ini hanya mengucurkan kredit valas US$ 1,5 miliar. Padahal, pada periode yang sama, bank tersebut berhasil menghimpun DPK valas hingga US$ 2,8 miliar.
Bukan hanya BCA yang mengalami banjir dolar. Bank swasta lainnya, seperti Panin dan OCBC NISP, juga mengalami hal yang sama. Bahkan DPK valas yang belum terpakai di bank BUMN lebih besar lagi. Di Bank Mandiri, misalnya. Menurut Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Finance & Strategy Bank Mandiri, saat ini Bank Mandiri mengalami kelebihan likuiditas valas hingga US$ 3,2 miliar. Jadi, wajar bila LDR valas di bank ini hanya 62%.
LDR valas BRI dan BNI pun cukup rendah. Ahmad Baiquni, Direktur Utama Bank BNI, mengatakan bahwa permintaan kredit valas sesungguhnya amat besar. Hanya saja, sebagian debitor BNI berasal dari korporasi berbasis ekspor, seperti crude palm oil CPO) dan batu bara yang saat ini harganya sedang terpuruk di pasar internasional. “Kami memang sangat selektif dalam memilih debitor,” ujarnya.
BRI juga sangat selektif dalam memberikan pembiayaan dalam dominasi valas. Apalagi bank ini lebih fokus pada pembiayaan usaha kecil (UMKM). Menurut Haru Koesmahargo, Direktur Keuangan Bank BRI, porsi kredit valas BRI hanya 10% - 11% dari total kredit. “Kami juga menjaga LDR valas di kisaran 50% - 60% hingga 2015,” katanya.
Nah, rendahnya LDR valas tadi sudah barang tentu membuat beban perbankan juga menjadi tinggi. Apalagi instrumen investasi valas amat terbatas. Sehingga, jika DPK valas tidak disalurkan dalam kredit, keuntungan yang diraih tidak optimal. Apalagi transaksi antarbank kini semakin terbatas. “Soalnya hampir semua bank sedang mengalami over likuiditas,” ujar seorang bankir swasta.
Jika benar begitu, mengapa Bank Mandiri, BRI, dan BNI ngotot mengajukan pinjaman ke CBD? Ini dia yang sulit dijawab. Apalagi, bunga yang dikenakan oleh CBD juga relatif tinggi, yakni Libor (London Interbank Offered Rate) plus 200 basis poin. “Jauh lebih tinggi dari pinjaman (valas) BNI kepada bank lain,” ujar Baiquni. Asal tahu saja, saat ini bunga pinjaman valas berkisar antara 0,5% hingga 1% di atas Libor (0,333720% - 0,25560%).
Selain bunganya relatif tinggi, tidak seluruh pinjaman dari CBD diberikan dalam mata uang dolar. Seperti dikatakan Haru, sekitar 30% di antaranya atau US$ 300 juta akan diberikan dalam bentuk renmimbi. Persoalannya, permintaan kredit diajukan oleh para debitor bank BUMN umumnya dalam mata uang dolar. “Kalau BNI ambil renmimbi tapi tidak bisa dipakai, kami bisa rugi,” ujar Rico Rizal Budidarmo, Direktur Keuangan Bank BNI.
Jika begitu, ada kemungkinan 30% dari total pinjaman US$ 3 miliar akan nantinya akan digunakan untuk pembiayaan impor barang-barang dari China. Dugaan ini semakin kuat karena kucuran kredit dari CBD ini juga mendapat dukungan dari Rini Soemarno, Menteri BUMN, yang disebut-sebut dekat dengan pejabat dan pengusaha China.
Pinjaman dari CBD sebenarnya tidak ada yang salah. Sama seperti halnya pinjaman yang diterima perusahaan-perusahaan Indonesia dari bank-bank di Jepang, Eropa, maupun Amerika Serikat. Hanya saja, ya itu tadi, akad kredit dari CBD akan diteken pada saat nilai tukar tengah bergejolak. Lagi pula 30% di antaranya akan diberikan dalam renmimbi yang kursnya tengah terpuruk terhadap dolar.
Maka tidak salah juga bila Jajat Nurjaman, Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesia Demoracy, mengingatkan pemerintah untuk tetap berhati-hati. “Karena yang dipertaruhkan aset-aset penting negara,” ujarnya.
Mungkin maksudnya, seandainya Mandiri, BRI, dan BNI sampai tidak sanggup mengembalikan pinjaman, bukan mustahil CBD akan masuk ke tiga bank BUMN tersebut. Tentu saja, ini berbahaya.
- See more at: http://indonesianreview.com/satrio/utang-mandiri-bri-bni-ke-cina-berbahaya#sthash.RfR0tfs8.dpuf
Di saat banyak bank nasional mengerem nafsu berutang dalam bentuk valuta asing, tidak demikian dengan tiga bank pemerintah. Lihat saja yang sedang dilakukan oleh Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Ketiga bank BUMN tersebut malah mengajukan pinjaman masing-masing sebesar US$ 1 miliar kepada China Bank of Development (CBD), atau total US$ 3 miliar (Rp 43,28 triliun).
Pinjaman bertenor 3 hingga 10 tahun itu akan digunakan untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur. Antara lain proyek pembangunan rel kereta api Stasiun Manggarai – Bandara Soekarno–Hatta. Proyek senilai Rp 2,5 triliun tersebut nantinya akan dikerjakan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan konsorsium PT Railink.
Pembangunan proyek infrastruktur memang amat dibutuhkan, apalagi di saat perekonomian dilanda kelesuan seperti sekarang ini. Masalahnya, posisi dolar saat ini seperti bola liar yang sulit ditangkap. Lagi pula, sejak hasil ekspor wajib diparkir di bank-bank dalam negeri, brankas perbankan di Tanah Air disesaki oleh dolar.
Berdasarkan Statistik Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Juni 2015, total dana pihak ketiga (DPK) perbankan umum dalam bentuk valas mencapai Rp 772,8 triliun. Namun derasnya dolar yang masuk ke laci bank tidak diimbangi dengan kucuran kredit yang memadai. Dalam periode yang sama, pinjaman valas yang dikucurkan perbankan nasional hanya tercatat sebesar Rp 643,6 triliun.
Alhasi, hingga semester I, loan to deposit ratio (LDR) valas tercatat 83,27%. Melorot dibandingkan posisi awal tahun yang mencapai 90,7%. Ini menunjukkan likuditas valas di perbankan nasional masih longgar. BCA, contohnya. Hingga semester I – 2015, bank milik Grup Djarum ini hanya mengucurkan kredit valas US$ 1,5 miliar. Padahal, pada periode yang sama, bank tersebut berhasil menghimpun DPK valas hingga US$ 2,8 miliar.
Bukan hanya BCA yang mengalami banjir dolar. Bank swasta lainnya, seperti Panin dan OCBC NISP, juga mengalami hal yang sama. Bahkan DPK valas yang belum terpakai di bank BUMN lebih besar lagi. Di Bank Mandiri, misalnya. Menurut Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Finance & Strategy Bank Mandiri, saat ini Bank Mandiri mengalami kelebihan likuiditas valas hingga US$ 3,2 miliar. Jadi, wajar bila LDR valas di bank ini hanya 62%.
LDR valas BRI dan BNI pun cukup rendah. Ahmad Baiquni, Direktur Utama Bank BNI, mengatakan bahwa permintaan kredit valas sesungguhnya amat besar. Hanya saja, sebagian debitor BNI berasal dari korporasi berbasis ekspor, seperti crude palm oil CPO) dan batu bara yang saat ini harganya sedang terpuruk di pasar internasional. “Kami memang sangat selektif dalam memilih debitor,” ujarnya.
BRI juga sangat selektif dalam memberikan pembiayaan dalam dominasi valas. Apalagi bank ini lebih fokus pada pembiayaan usaha kecil (UMKM). Menurut Haru Koesmahargo, Direktur Keuangan Bank BRI, porsi kredit valas BRI hanya 10% - 11% dari total kredit. “Kami juga menjaga LDR valas di kisaran 50% - 60% hingga 2015,” katanya.
Nah, rendahnya LDR valas tadi sudah barang tentu membuat beban perbankan juga menjadi tinggi. Apalagi instrumen investasi valas amat terbatas. Sehingga, jika DPK valas tidak disalurkan dalam kredit, keuntungan yang diraih tidak optimal. Apalagi transaksi antarbank kini semakin terbatas. “Soalnya hampir semua bank sedang mengalami over likuiditas,” ujar seorang bankir swasta.
Jika benar begitu, mengapa Bank Mandiri, BRI, dan BNI ngotot mengajukan pinjaman ke CBD? Ini dia yang sulit dijawab. Apalagi, bunga yang dikenakan oleh CBD juga relatif tinggi, yakni Libor (London Interbank Offered Rate) plus 200 basis poin. “Jauh lebih tinggi dari pinjaman (valas) BNI kepada bank lain,” ujar Baiquni. Asal tahu saja, saat ini bunga pinjaman valas berkisar antara 0,5% hingga 1% di atas Libor (0,333720% - 0,25560%).
Selain bunganya relatif tinggi, tidak seluruh pinjaman dari CBD diberikan dalam mata uang dolar. Seperti dikatakan Haru, sekitar 30% di antaranya atau US$ 300 juta akan diberikan dalam bentuk renmimbi. Persoalannya, permintaan kredit diajukan oleh para debitor bank BUMN umumnya dalam mata uang dolar. “Kalau BNI ambil renmimbi tapi tidak bisa dipakai, kami bisa rugi,” ujar Rico Rizal Budidarmo, Direktur Keuangan Bank BNI.
Jika begitu, ada kemungkinan 30% dari total pinjaman US$ 3 miliar akan nantinya akan digunakan untuk pembiayaan impor barang-barang dari China. Dugaan ini semakin kuat karena kucuran kredit dari CBD ini juga mendapat dukungan dari Rini Soemarno, Menteri BUMN, yang disebut-sebut dekat dengan pejabat dan pengusaha China.
Pinjaman dari CBD sebenarnya tidak ada yang salah. Sama seperti halnya pinjaman yang diterima perusahaan-perusahaan Indonesia dari bank-bank di Jepang, Eropa, maupun Amerika Serikat. Hanya saja, ya itu tadi, akad kredit dari CBD akan diteken pada saat nilai tukar tengah bergejolak. Lagi pula 30% di antaranya akan diberikan dalam renmimbi yang kursnya tengah terpuruk terhadap dolar.
Maka tidak salah juga bila Jajat Nurjaman, Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesia Demoracy, mengingatkan pemerintah untuk tetap berhati-hati. “Karena yang dipertaruhkan aset-aset penting negara,” ujarnya.
Mungkin maksudnya, seandainya Mandiri, BRI, dan BNI sampai tidak sanggup mengembalikan pinjaman, bukan mustahil CBD akan masuk ke tiga bank BUMN tersebut. Tentu saja, ini berbahaya.
- See more at: http://indonesianreview.com/satrio/utang-mandiri-bri-bni-ke-cina-berbahaya#sthash.RfR0tfs8.dpuf