Dibalik Tragedi Bom Paris: Islam vs Islam
https://kabar22.blogspot.com/2015/11/dibalik-tragedi-paris-islam-vs-islam.html
BLOKBERITA -- Bila dibandingkan dengan jumlah orang Islam yang dibantai di Timur Tengah, 123 korban tewas serangan Paris sangat kecil. Ribuan bahkan jutaan orang Islam telah tewas mengenaskan di tengah konflik berdarah di Timur Tengah, dan masih akan jatuh korban lebih banyak lagi.
Pembantaian seolah sudah menjadi berita sehari-hari di kawasan konflik tersebut. Ledakan bom di tengah pasar atau mesjid yang sedang ramai, rentetan tembakan senjata otomatis ke kerumunan orang yang tengah melaksanakan ritual keagamaan dan sebagainya hanyalah sebagian kecil saja dari berbagai kekerasan berdarah yang terjadi di sana. Nyawa manusia seakan tidak berharga sehingga jutaan orang Islam dari Timur Tengah kini ramai-ramai minta perlindungan ke negara-negara Barat. Mereka tak perduli bahwa yang mereka minta perlindungan adalah non Muslim.
Bentrokan berdarah di Timur Tengah sekarang ini juga telah menghalalkan serangan terhadap mesjid, yang merupakan simbol keagamaan sangat penting dalam Islam. Ratusan orang tewas telah tewas di dalam mesjid karena serangan bom dilakukan ketika ibadah sholat Jumat tengah berlangsung. Ledakan berdarah ini dialami oleh mesjid-mesjid di Irak, Suriah, Arab Saudi, dan Yaman.
Sayangnya, sejauh ini tak ada pihak yang mengaku bersalah. Sebaliknya, mereka yang saling bantai di Timur Tengah justeru merasa sedang melaksanakan tugas suci. Maka, letupan senjata api mereka masih akan memakan korban. Maka Timur Tengah akan terus menjadi panggung yang mempertontonkan kekejaman paling mengerikan di dunia.
Kenapa mereka bisa sangat saling membenci padahal mereka sama-sama menyembah Allah SWT dan memiliki al-Qur'an sebagai kitab suci?
Pertanyaan ini sering muncul dalam berbagai diskusi formal maupun informal tentang dunia Islam. Salah satu yang cukup populer adalah teori konspirasi tentang adanya pihak yang mengingin dunia Islam selalu terpecah belah. Pihak ini menyadari, bila kekuatan Islam bersatu, akan sanggup mengguncang bahkan meruntuhkan dominasi Barat dalam percaturan politik dan ekonomi dunia.
Kesadaran tersebut didasari oleh trauma masa lalu terkait invasi Islam di Eropa yang dimotori oleh kerajaan Ottoman. Invasi yang dimulai pada abad 13 ini sukses menaklukkan sebagian benua Eropa. Banyak bukti arkelogis yang membuktikan kedahsyatan Ottoman masih bertebaran di Eropa. Bahkan sampai sekarang sejumlah negara dan kawasan di Eropa didominasi oleh orang Islam. Buktinya, orang Islam kini bahkan masih merupakan penduduk mayoritas atau minoritas terbesar di Albania, Kosovo, Bosnia, Bulgaria, sebagian wilayah Kaukasia.
Sejarah juga mencatat, Islam pernah pernah menguasai semenanjung Iberia (sekarang Spanyol dan Portugal) selama 700 tahun. Kekuasaan ini berakhir pada 1492, ketika kerajaan Islam terakhir – Granada -- ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kristen dari berbagai negara Eropa.
Kini untuk melumpuhkan kekuatan Islam, pihak tersebut menerapkan metode klasik yang telah membuat Barat pernah sukses menjajah dunia, yakni pecah-belah dan jajah alias devide et impera. Metode ini memang telah terbukti efektif, dan pernah menjadikan Indonesia wilayah jajahan sebuah negara kecil di Eropa, yaitu Belanda. Demikian efektifnya metode tersebut, sehingga penaklukan kesultanan-kesultanan besar di Indonesia seperti Mataram cukup dilakukan oleh perusahaan swasta bernama VOC, bukan pemerintah Belanda.
Dalam konteks konflik internal dunia Islam, metode tersebut memanfaatkan orang-orang Islam yang emosional. Para dalang adu-domba tentu paham bahwa orang semacam itu sangat banyak dan gampang diprovokasi. Demikian banyaknya sehingga seorang ulama yang sangat terhormat dalam sekejap bisa menjadi korban caci maki karena sebagian kecil pernyataannya beredar di internet. Ulama tersebut adalah Prof Dr Quraish Shihab, yang dituding sebagai pembawa suara kaum sesat Syiah setelah muncul dalam program Tafsir Al-Misbah Metro TV pada 12 Juli tahun lalu.
Quraish Shihab sampai terpaksa menggelar konferensi pers untuk menjelaskan bahwa cercaan kepada dirinya hanya berdasarkan sebagian kecil saja dari penyataannya tentang jaminan surga Mumammad SAW. Quraish Shihab bahwa penyataannya berdasarkan hadist. “ Tidak seorang pun masuk surga karena amalnya." Ketika sahabat bertanya, “Engkau pun tidak?” Beliau menjawab, “Saya pun tidak, kecuali berkat rahmat Allah kepadaku.”
Cercaaan terhadap Quraish Shihab mengingatkan kepada kebiasaan kaum emosional yang bisa dengan mudah menarik kesimpulan atau menghakimi orang lain hanya berdasarkan judul dari sebuah tulisan atau sampul buku. Bagi mereka peribahasa 'jangan menilai buku hanya dari sampulnya' dianggap tak penting.
Namun tak semua orang sepakat pada asumsi di atas. Sebab konflik dalam dunia Islam sudah terjadi jauh sebelum Barat berubah menjadi modern dan tumbuh menjadi kekuatan dominan di dunia. Sejarah mencatat, sejak wafatnya Muhammad SAW, aksi saling bunuh dalam perebutan kursi khalifah terjadi berulang kali. Ditambah dengan perbedaan tafsir yang kian pelik, masalah politik tersebut terus berkembang dan membuat dunia Islam makin sulit menghindar dari kekisruhan internal.
Perseteruan paling berdarah-darah adalah antara Suni lawan Syiah, yang masing-masing memperoleh dukungan negara paling kaya dan kuat di dunia Islam, yaitu Arab Saudi dan Iran. Aksi saling melemahkan di antara kedua kekuatan besar tersebut jelas menguntungkan Israel karena tak perlu lagi mengerahkan serdadu untuk melemahkan bangsa Arab dan Islam. Negara Yahudi ini mungkin malah sangat rajin memasok senjata dan amunisi agar saling bantai di antara sesama orang Arab dan Islam makin ganas dan tak terkendali.
Israel mungkin juga girang menyaksikan serangan mematikan kaum Islam radikal terhadap negara-negara Barat. Sebab serangan tersebut akan membuat kebencian masyarakat Barat terhadap Islam dan Arab menjulang tinggi.
Jadi jangan heran kalau bangsa Palestina sekarang ini menganggap saling bantai di antara sesama umat Islam negara-negara tetangganya hanya membuat Israel makin berjaya, dan memupus harapannya untuk merdeka. (bin/Inrev)
Pembantaian seolah sudah menjadi berita sehari-hari di kawasan konflik tersebut. Ledakan bom di tengah pasar atau mesjid yang sedang ramai, rentetan tembakan senjata otomatis ke kerumunan orang yang tengah melaksanakan ritual keagamaan dan sebagainya hanyalah sebagian kecil saja dari berbagai kekerasan berdarah yang terjadi di sana. Nyawa manusia seakan tidak berharga sehingga jutaan orang Islam dari Timur Tengah kini ramai-ramai minta perlindungan ke negara-negara Barat. Mereka tak perduli bahwa yang mereka minta perlindungan adalah non Muslim.
Bentrokan berdarah di Timur Tengah sekarang ini juga telah menghalalkan serangan terhadap mesjid, yang merupakan simbol keagamaan sangat penting dalam Islam. Ratusan orang tewas telah tewas di dalam mesjid karena serangan bom dilakukan ketika ibadah sholat Jumat tengah berlangsung. Ledakan berdarah ini dialami oleh mesjid-mesjid di Irak, Suriah, Arab Saudi, dan Yaman.
Sayangnya, sejauh ini tak ada pihak yang mengaku bersalah. Sebaliknya, mereka yang saling bantai di Timur Tengah justeru merasa sedang melaksanakan tugas suci. Maka, letupan senjata api mereka masih akan memakan korban. Maka Timur Tengah akan terus menjadi panggung yang mempertontonkan kekejaman paling mengerikan di dunia.
Kenapa mereka bisa sangat saling membenci padahal mereka sama-sama menyembah Allah SWT dan memiliki al-Qur'an sebagai kitab suci?
Pertanyaan ini sering muncul dalam berbagai diskusi formal maupun informal tentang dunia Islam. Salah satu yang cukup populer adalah teori konspirasi tentang adanya pihak yang mengingin dunia Islam selalu terpecah belah. Pihak ini menyadari, bila kekuatan Islam bersatu, akan sanggup mengguncang bahkan meruntuhkan dominasi Barat dalam percaturan politik dan ekonomi dunia.
Kesadaran tersebut didasari oleh trauma masa lalu terkait invasi Islam di Eropa yang dimotori oleh kerajaan Ottoman. Invasi yang dimulai pada abad 13 ini sukses menaklukkan sebagian benua Eropa. Banyak bukti arkelogis yang membuktikan kedahsyatan Ottoman masih bertebaran di Eropa. Bahkan sampai sekarang sejumlah negara dan kawasan di Eropa didominasi oleh orang Islam. Buktinya, orang Islam kini bahkan masih merupakan penduduk mayoritas atau minoritas terbesar di Albania, Kosovo, Bosnia, Bulgaria, sebagian wilayah Kaukasia.
Sejarah juga mencatat, Islam pernah pernah menguasai semenanjung Iberia (sekarang Spanyol dan Portugal) selama 700 tahun. Kekuasaan ini berakhir pada 1492, ketika kerajaan Islam terakhir – Granada -- ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kristen dari berbagai negara Eropa.
Kini untuk melumpuhkan kekuatan Islam, pihak tersebut menerapkan metode klasik yang telah membuat Barat pernah sukses menjajah dunia, yakni pecah-belah dan jajah alias devide et impera. Metode ini memang telah terbukti efektif, dan pernah menjadikan Indonesia wilayah jajahan sebuah negara kecil di Eropa, yaitu Belanda. Demikian efektifnya metode tersebut, sehingga penaklukan kesultanan-kesultanan besar di Indonesia seperti Mataram cukup dilakukan oleh perusahaan swasta bernama VOC, bukan pemerintah Belanda.
Dalam konteks konflik internal dunia Islam, metode tersebut memanfaatkan orang-orang Islam yang emosional. Para dalang adu-domba tentu paham bahwa orang semacam itu sangat banyak dan gampang diprovokasi. Demikian banyaknya sehingga seorang ulama yang sangat terhormat dalam sekejap bisa menjadi korban caci maki karena sebagian kecil pernyataannya beredar di internet. Ulama tersebut adalah Prof Dr Quraish Shihab, yang dituding sebagai pembawa suara kaum sesat Syiah setelah muncul dalam program Tafsir Al-Misbah Metro TV pada 12 Juli tahun lalu.
Quraish Shihab sampai terpaksa menggelar konferensi pers untuk menjelaskan bahwa cercaan kepada dirinya hanya berdasarkan sebagian kecil saja dari penyataannya tentang jaminan surga Mumammad SAW. Quraish Shihab bahwa penyataannya berdasarkan hadist. “ Tidak seorang pun masuk surga karena amalnya." Ketika sahabat bertanya, “Engkau pun tidak?” Beliau menjawab, “Saya pun tidak, kecuali berkat rahmat Allah kepadaku.”
Cercaaan terhadap Quraish Shihab mengingatkan kepada kebiasaan kaum emosional yang bisa dengan mudah menarik kesimpulan atau menghakimi orang lain hanya berdasarkan judul dari sebuah tulisan atau sampul buku. Bagi mereka peribahasa 'jangan menilai buku hanya dari sampulnya' dianggap tak penting.
Namun tak semua orang sepakat pada asumsi di atas. Sebab konflik dalam dunia Islam sudah terjadi jauh sebelum Barat berubah menjadi modern dan tumbuh menjadi kekuatan dominan di dunia. Sejarah mencatat, sejak wafatnya Muhammad SAW, aksi saling bunuh dalam perebutan kursi khalifah terjadi berulang kali. Ditambah dengan perbedaan tafsir yang kian pelik, masalah politik tersebut terus berkembang dan membuat dunia Islam makin sulit menghindar dari kekisruhan internal.
Perseteruan paling berdarah-darah adalah antara Suni lawan Syiah, yang masing-masing memperoleh dukungan negara paling kaya dan kuat di dunia Islam, yaitu Arab Saudi dan Iran. Aksi saling melemahkan di antara kedua kekuatan besar tersebut jelas menguntungkan Israel karena tak perlu lagi mengerahkan serdadu untuk melemahkan bangsa Arab dan Islam. Negara Yahudi ini mungkin malah sangat rajin memasok senjata dan amunisi agar saling bantai di antara sesama orang Arab dan Islam makin ganas dan tak terkendali.
Israel mungkin juga girang menyaksikan serangan mematikan kaum Islam radikal terhadap negara-negara Barat. Sebab serangan tersebut akan membuat kebencian masyarakat Barat terhadap Islam dan Arab menjulang tinggi.
Jadi jangan heran kalau bangsa Palestina sekarang ini menganggap saling bantai di antara sesama umat Islam negara-negara tetangganya hanya membuat Israel makin berjaya, dan memupus harapannya untuk merdeka. (bin/Inrev)
onesianReview.com
-- Bila dibandingkan dengan jumlah orang Islam yang dibantai di Timur
Tengah, 123 korban tewas serangan Paris sangat kecil. Ribuan bahkan
jutaan orang Islam telah tewas mengenaskan di tengah konflik berdarah di
Timur Tengah, dan masih akan jatuh korban lebih banyak lagi.
Pembantaian seolah sudah menjadi berita sehari-hari di kawasan konflik tersebut. Ledakan bom di tengah pasar atau mesjid yang sedang ramai, rentetan tembakan senjata otomatis ke kerumunan orang yang tengah melaksanakan ritual keagamaan dan sebagainya hanyalah sebagian kecil saja dari berbagai kekerasan berdarah yang terjadi di sana. Nyawa manusia seakan tidak berharga sehingga jutaan orang Islam dari Timur Tengah kini ramai-ramai minta perlindungan ke negara-negara Barat. Mereka tak perduli bahwa yang mereka minta perlindungan adalah non Muslim.
Bentrokan berdarah di Timur Tengah sekarang ini juga telah menghalalkan serangan terhadap mesjid, yang merupakan simbol keagamaan sangat penting dalam Islam. Ratusan orang tewas telah tewas di dalam mesjid karena serangan bom dilakukan ketika ibadah sholat Jumat tengah berlangsung. Ledakan berdarah ini dialami oleh mesjid-mesjid di Irak, Suriah, Arab Saudi, dan Yaman.
Sayangnya, sejauh ini tak ada pihak yang mengaku bersalah. Sebaliknya, mereka yang saling bantai di Timur Tengah justeru merasa sedang melaksanakan tugas suci. Maka, letupan senjata api mereka masih akan memakan korban. Maka Timur Tengah akan terus menjadi panggung yang mempertontonkan kekejaman paling mengerikan di dunia.
Kenapa mereka bisa sangat saling membenci padahal mereka sama-sama menyembah Allah SWT dan memiliki al-Qur'an sebagai kitab suci?
Pertanyaan ini sering muncul dalam berbagai diskusi formal maupun informal tentang dunia Islam. Salah satu yang cukup populer adalah teori konspirasi tentang adanya pihak yang mengingin dunia Islam selalu terpecah belah. Pihak ini menyadari, bila kekuatan Islam bersatu, akan sanggup mengguncang bahkan meruntuhkan dominasi Barat dalam percaturan politik dan ekonomi dunia.
Kesadaran tersebut didasari oleh trauma masa lalu terkait invasi Islam di Eropa yang dimotori oleh kerajaan Ottoman. Invasi yang dimulai pada abad 13 ini sukses menaklukkan sebagian benua Eropa. Banyak bukti arkelogis yang membuktikan kedahsyatan Ottoman masih bertebaran di Eropa. Bahkan sampai sekarang sejumlah negara dan kawasan di Eropa didominasi oleh orang Islam. Buktinya, orang Islam kini bahkan masih merupakan penduduk mayoritas atau minoritas terbesar di Albania, Kosovo, Bosnia, Bulgaria, sebagian wilayah Kaukasia.
Sejarah juga mencatat, Islam pernah pernah menguasai semenanjung Iberia (sekarang Spanyol dan Portugal) selama 700 tahun. Kekuasaan ini berakhir pada 1492, ketika kerajaan Islam terakhir – Granada -- ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kristen dari berbagai negara Eropa.
Kini untuk melumpuhkan kekuatan Islam, pihak tersebut menerapkan metode klasik yang telah membuat Barat pernah sukses menjajah dunia, yakni pecah-belah dan jajah alias devide et impera. Metode ini memang telah terbukti efektif, dan pernah menjadikan Indonesia wilayah jajahan sebuah negara kecil di Eropa, yaitu Belanda. Demikian efektifnya metode tersebut, sehingga penaklukan kesultanan-kesultanan besar di Indonesia seperti Mataram cukup dilakukan oleh perusahaan swasta bernama VOC, bukan pemerintah Belanda.
Dalam konteks konflik internal dunia Islam, metode tersebut memanfaatkan orang-orang Islam yang emosional. Para dalang adu-domba tentu paham bahwa orang semacam itu sangat banyak dan gampang diprovokasi. Demikian banyaknya sehingga seorang ulama yang sangat terhormat dalam sekejap bisa menjadi korban caci maki karena sebagian kecil pernyataannya beredar di internet. Ulama tersebut adalah Prof Dr Quraish Shihab, yang dituding sebagai pembawa suara kaum sesat Syiah setelah muncul dalam program Tafsir Al-Misbah Metro TV pada 12 Juli tahun lalu.
Quraish Shihab sampai terpaksa menggelar konferensi pers untuk menjelaskan bahwa cercaan kepada dirinya hanya berdasarkan sebagian kecil saja dari penyataannya tentang jaminan surga Mumammad SAW. Quraish Shihab bahwa penyataannya berdasarkan hadist. “Tidak seorang pun masuk surga karena amalnya." Ketika sahabat bertanya, “Engkau pun tidak?” Beliau menjawab, “Saya pun tidak, kecuali berkat rahmat Allah kepadaku.”
Cercaaan terhadap Quraish Shihab mengingatkan kepada kebiasaan kaum emosional yang bisa dengan mudah menarik kesimpulan atau menghakimi orang lain hanya berdasarkan judul dari sebuah tulisan atau sampul buku. Bagi mereka peribahasa 'jangan menilai buku hanya dari sampulnya' dianggap tak penting.
Namun tak semua orang sepakat pada asumsi di atas. Sebab konflik dalam dunia Islam sudah terjadi jauh sebelum Barat berubah menjadi modern dan tumbuh menjadi kekuatan dominan di dunia. Sejarah mencatat, sejak wafatnya Muhammad SAW, aksi saling bunuh dalam perebutan kursi khalifah terjadi berulang kali. Ditambah dengan perbedaan tafsir yang kian pelik, masalah politik tersebut terus berkembang dan membuat dunia Islam makin sulit menghindar dari kekisruhan internal.
Perseteruan paling berdarah-darah adalah antara Suni lawan Syiah, yang masing-masing memperoleh dukungan negara paling kaya dan kuat di dunia Islam, yaitu Arab Saudi dan Iran. Aksi saling melemahkan di antara kedua keuatan besar tersebut jelas menguntungkan Israel karena tak perlu lagi mengerahkan serdadu untuk melemahkan bangsa Arab dan Islam. Negara Yahudi ini mungkin malah sangat rajin memasok senjata dan amunisi agar saling bantai di antara sesama orang Arab dan Islam makin ganas dan tak terkendali.
Israel mungkin juga girang menyaksikan serangan mematikan kaum Islam radikal terhadap negara-negara Barat. Sebab serangan tersebut akan membuat kebencian masyarakat Barat terhadap Islam dan Arab menjulang tinggi.
Jadi jangan heran kalau bangsa Palestina sekarang ini menganggap saling bantai di antara sesama umat Islam negara-negara tetangganya hanya membuat Israel makin berjaya, dan memupus harapannya untuk merdeka.
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/islam-lawan-islam-0#sthash.PQiUXRsd.dpuf
Pembantaian seolah sudah menjadi berita sehari-hari di kawasan konflik tersebut. Ledakan bom di tengah pasar atau mesjid yang sedang ramai, rentetan tembakan senjata otomatis ke kerumunan orang yang tengah melaksanakan ritual keagamaan dan sebagainya hanyalah sebagian kecil saja dari berbagai kekerasan berdarah yang terjadi di sana. Nyawa manusia seakan tidak berharga sehingga jutaan orang Islam dari Timur Tengah kini ramai-ramai minta perlindungan ke negara-negara Barat. Mereka tak perduli bahwa yang mereka minta perlindungan adalah non Muslim.
Bentrokan berdarah di Timur Tengah sekarang ini juga telah menghalalkan serangan terhadap mesjid, yang merupakan simbol keagamaan sangat penting dalam Islam. Ratusan orang tewas telah tewas di dalam mesjid karena serangan bom dilakukan ketika ibadah sholat Jumat tengah berlangsung. Ledakan berdarah ini dialami oleh mesjid-mesjid di Irak, Suriah, Arab Saudi, dan Yaman.
Sayangnya, sejauh ini tak ada pihak yang mengaku bersalah. Sebaliknya, mereka yang saling bantai di Timur Tengah justeru merasa sedang melaksanakan tugas suci. Maka, letupan senjata api mereka masih akan memakan korban. Maka Timur Tengah akan terus menjadi panggung yang mempertontonkan kekejaman paling mengerikan di dunia.
Kenapa mereka bisa sangat saling membenci padahal mereka sama-sama menyembah Allah SWT dan memiliki al-Qur'an sebagai kitab suci?
Pertanyaan ini sering muncul dalam berbagai diskusi formal maupun informal tentang dunia Islam. Salah satu yang cukup populer adalah teori konspirasi tentang adanya pihak yang mengingin dunia Islam selalu terpecah belah. Pihak ini menyadari, bila kekuatan Islam bersatu, akan sanggup mengguncang bahkan meruntuhkan dominasi Barat dalam percaturan politik dan ekonomi dunia.
Kesadaran tersebut didasari oleh trauma masa lalu terkait invasi Islam di Eropa yang dimotori oleh kerajaan Ottoman. Invasi yang dimulai pada abad 13 ini sukses menaklukkan sebagian benua Eropa. Banyak bukti arkelogis yang membuktikan kedahsyatan Ottoman masih bertebaran di Eropa. Bahkan sampai sekarang sejumlah negara dan kawasan di Eropa didominasi oleh orang Islam. Buktinya, orang Islam kini bahkan masih merupakan penduduk mayoritas atau minoritas terbesar di Albania, Kosovo, Bosnia, Bulgaria, sebagian wilayah Kaukasia.
Sejarah juga mencatat, Islam pernah pernah menguasai semenanjung Iberia (sekarang Spanyol dan Portugal) selama 700 tahun. Kekuasaan ini berakhir pada 1492, ketika kerajaan Islam terakhir – Granada -- ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kristen dari berbagai negara Eropa.
Kini untuk melumpuhkan kekuatan Islam, pihak tersebut menerapkan metode klasik yang telah membuat Barat pernah sukses menjajah dunia, yakni pecah-belah dan jajah alias devide et impera. Metode ini memang telah terbukti efektif, dan pernah menjadikan Indonesia wilayah jajahan sebuah negara kecil di Eropa, yaitu Belanda. Demikian efektifnya metode tersebut, sehingga penaklukan kesultanan-kesultanan besar di Indonesia seperti Mataram cukup dilakukan oleh perusahaan swasta bernama VOC, bukan pemerintah Belanda.
Dalam konteks konflik internal dunia Islam, metode tersebut memanfaatkan orang-orang Islam yang emosional. Para dalang adu-domba tentu paham bahwa orang semacam itu sangat banyak dan gampang diprovokasi. Demikian banyaknya sehingga seorang ulama yang sangat terhormat dalam sekejap bisa menjadi korban caci maki karena sebagian kecil pernyataannya beredar di internet. Ulama tersebut adalah Prof Dr Quraish Shihab, yang dituding sebagai pembawa suara kaum sesat Syiah setelah muncul dalam program Tafsir Al-Misbah Metro TV pada 12 Juli tahun lalu.
Quraish Shihab sampai terpaksa menggelar konferensi pers untuk menjelaskan bahwa cercaan kepada dirinya hanya berdasarkan sebagian kecil saja dari penyataannya tentang jaminan surga Mumammad SAW. Quraish Shihab bahwa penyataannya berdasarkan hadist. “Tidak seorang pun masuk surga karena amalnya." Ketika sahabat bertanya, “Engkau pun tidak?” Beliau menjawab, “Saya pun tidak, kecuali berkat rahmat Allah kepadaku.”
Cercaaan terhadap Quraish Shihab mengingatkan kepada kebiasaan kaum emosional yang bisa dengan mudah menarik kesimpulan atau menghakimi orang lain hanya berdasarkan judul dari sebuah tulisan atau sampul buku. Bagi mereka peribahasa 'jangan menilai buku hanya dari sampulnya' dianggap tak penting.
Namun tak semua orang sepakat pada asumsi di atas. Sebab konflik dalam dunia Islam sudah terjadi jauh sebelum Barat berubah menjadi modern dan tumbuh menjadi kekuatan dominan di dunia. Sejarah mencatat, sejak wafatnya Muhammad SAW, aksi saling bunuh dalam perebutan kursi khalifah terjadi berulang kali. Ditambah dengan perbedaan tafsir yang kian pelik, masalah politik tersebut terus berkembang dan membuat dunia Islam makin sulit menghindar dari kekisruhan internal.
Perseteruan paling berdarah-darah adalah antara Suni lawan Syiah, yang masing-masing memperoleh dukungan negara paling kaya dan kuat di dunia Islam, yaitu Arab Saudi dan Iran. Aksi saling melemahkan di antara kedua keuatan besar tersebut jelas menguntungkan Israel karena tak perlu lagi mengerahkan serdadu untuk melemahkan bangsa Arab dan Islam. Negara Yahudi ini mungkin malah sangat rajin memasok senjata dan amunisi agar saling bantai di antara sesama orang Arab dan Islam makin ganas dan tak terkendali.
Israel mungkin juga girang menyaksikan serangan mematikan kaum Islam radikal terhadap negara-negara Barat. Sebab serangan tersebut akan membuat kebencian masyarakat Barat terhadap Islam dan Arab menjulang tinggi.
Jadi jangan heran kalau bangsa Palestina sekarang ini menganggap saling bantai di antara sesama umat Islam negara-negara tetangganya hanya membuat Israel makin berjaya, dan memupus harapannya untuk merdeka.
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/islam-lawan-islam-0#sthash.PQiUXRsd.dpuf
onesianReview.com
-- Bila dibandingkan dengan jumlah orang Islam yang dibantai di Timur
Tengah, 123 korban tewas serangan Paris sangat kecil. Ribuan bahkan
jutaan orang Islam telah tewas mengenaskan di tengah konflik berdarah di
Timur Tengah, dan masih akan jatuh korban lebih banyak lagi.
Pembantaian seolah sudah menjadi berita sehari-hari di kawasan konflik tersebut. Ledakan bom di tengah pasar atau mesjid yang sedang ramai, rentetan tembakan senjata otomatis ke kerumunan orang yang tengah melaksanakan ritual keagamaan dan sebagainya hanyalah sebagian kecil saja dari berbagai kekerasan berdarah yang terjadi di sana. Nyawa manusia seakan tidak berharga sehingga jutaan orang Islam dari Timur Tengah kini ramai-ramai minta perlindungan ke negara-negara Barat. Mereka tak perduli bahwa yang mereka minta perlindungan adalah non Muslim.
Bentrokan berdarah di Timur Tengah sekarang ini juga telah menghalalkan serangan terhadap mesjid, yang merupakan simbol keagamaan sangat penting dalam Islam. Ratusan orang tewas telah tewas di dalam mesjid karena serangan bom dilakukan ketika ibadah sholat Jumat tengah berlangsung. Ledakan berdarah ini dialami oleh mesjid-mesjid di Irak, Suriah, Arab Saudi, dan Yaman.
Sayangnya, sejauh ini tak ada pihak yang mengaku bersalah. Sebaliknya, mereka yang saling bantai di Timur Tengah justeru merasa sedang melaksanakan tugas suci. Maka, letupan senjata api mereka masih akan memakan korban. Maka Timur Tengah akan terus menjadi panggung yang mempertontonkan kekejaman paling mengerikan di dunia.
Kenapa mereka bisa sangat saling membenci padahal mereka sama-sama menyembah Allah SWT dan memiliki al-Qur'an sebagai kitab suci?
Pertanyaan ini sering muncul dalam berbagai diskusi formal maupun informal tentang dunia Islam. Salah satu yang cukup populer adalah teori konspirasi tentang adanya pihak yang mengingin dunia Islam selalu terpecah belah. Pihak ini menyadari, bila kekuatan Islam bersatu, akan sanggup mengguncang bahkan meruntuhkan dominasi Barat dalam percaturan politik dan ekonomi dunia.
Kesadaran tersebut didasari oleh trauma masa lalu terkait invasi Islam di Eropa yang dimotori oleh kerajaan Ottoman. Invasi yang dimulai pada abad 13 ini sukses menaklukkan sebagian benua Eropa. Banyak bukti arkelogis yang membuktikan kedahsyatan Ottoman masih bertebaran di Eropa. Bahkan sampai sekarang sejumlah negara dan kawasan di Eropa didominasi oleh orang Islam. Buktinya, orang Islam kini bahkan masih merupakan penduduk mayoritas atau minoritas terbesar di Albania, Kosovo, Bosnia, Bulgaria, sebagian wilayah Kaukasia.
Sejarah juga mencatat, Islam pernah pernah menguasai semenanjung Iberia (sekarang Spanyol dan Portugal) selama 700 tahun. Kekuasaan ini berakhir pada 1492, ketika kerajaan Islam terakhir – Granada -- ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kristen dari berbagai negara Eropa.
Kini untuk melumpuhkan kekuatan Islam, pihak tersebut menerapkan metode klasik yang telah membuat Barat pernah sukses menjajah dunia, yakni pecah-belah dan jajah alias devide et impera. Metode ini memang telah terbukti efektif, dan pernah menjadikan Indonesia wilayah jajahan sebuah negara kecil di Eropa, yaitu Belanda. Demikian efektifnya metode tersebut, sehingga penaklukan kesultanan-kesultanan besar di Indonesia seperti Mataram cukup dilakukan oleh perusahaan swasta bernama VOC, bukan pemerintah Belanda.
Dalam konteks konflik internal dunia Islam, metode tersebut memanfaatkan orang-orang Islam yang emosional. Para dalang adu-domba tentu paham bahwa orang semacam itu sangat banyak dan gampang diprovokasi. Demikian banyaknya sehingga seorang ulama yang sangat terhormat dalam sekejap bisa menjadi korban caci maki karena sebagian kecil pernyataannya beredar di internet. Ulama tersebut adalah Prof Dr Quraish Shihab, yang dituding sebagai pembawa suara kaum sesat Syiah setelah muncul dalam program Tafsir Al-Misbah Metro TV pada 12 Juli tahun lalu.
Quraish Shihab sampai terpaksa menggelar konferensi pers untuk menjelaskan bahwa cercaan kepada dirinya hanya berdasarkan sebagian kecil saja dari penyataannya tentang jaminan surga Mumammad SAW. Quraish Shihab bahwa penyataannya berdasarkan hadist. “Tidak seorang pun masuk surga karena amalnya." Ketika sahabat bertanya, “Engkau pun tidak?” Beliau menjawab, “Saya pun tidak, kecuali berkat rahmat Allah kepadaku.”
Cercaaan terhadap Quraish Shihab mengingatkan kepada kebiasaan kaum emosional yang bisa dengan mudah menarik kesimpulan atau menghakimi orang lain hanya berdasarkan judul dari sebuah tulisan atau sampul buku. Bagi mereka peribahasa 'jangan menilai buku hanya dari sampulnya' dianggap tak penting.
Namun tak semua orang sepakat pada asumsi di atas. Sebab konflik dalam dunia Islam sudah terjadi jauh sebelum Barat berubah menjadi modern dan tumbuh menjadi kekuatan dominan di dunia. Sejarah mencatat, sejak wafatnya Muhammad SAW, aksi saling bunuh dalam perebutan kursi khalifah terjadi berulang kali. Ditambah dengan perbedaan tafsir yang kian pelik, masalah politik tersebut terus berkembang dan membuat dunia Islam makin sulit menghindar dari kekisruhan internal.
Perseteruan paling berdarah-darah adalah antara Suni lawan Syiah, yang masing-masing memperoleh dukungan negara paling kaya dan kuat di dunia Islam, yaitu Arab Saudi dan Iran. Aksi saling melemahkan di antara kedua keuatan besar tersebut jelas menguntungkan Israel karena tak perlu lagi mengerahkan serdadu untuk melemahkan bangsa Arab dan Islam. Negara Yahudi ini mungkin malah sangat rajin memasok senjata dan amunisi agar saling bantai di antara sesama orang Arab dan Islam makin ganas dan tak terkendali.
Israel mungkin juga girang menyaksikan serangan mematikan kaum Islam radikal terhadap negara-negara Barat. Sebab serangan tersebut akan membuat kebencian masyarakat Barat terhadap Islam dan Arab menjulang tinggi.
Jadi jangan heran kalau bangsa Palestina sekarang ini menganggap saling bantai di antara sesama umat Islam negara-negara tetangganya hanya membuat Israel makin berjaya, dan memupus harapannya untuk merdeka.
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/islam-lawan-islam-0#sthash.PQiUXRsd.dpuf
Pembantaian seolah sudah menjadi berita sehari-hari di kawasan konflik tersebut. Ledakan bom di tengah pasar atau mesjid yang sedang ramai, rentetan tembakan senjata otomatis ke kerumunan orang yang tengah melaksanakan ritual keagamaan dan sebagainya hanyalah sebagian kecil saja dari berbagai kekerasan berdarah yang terjadi di sana. Nyawa manusia seakan tidak berharga sehingga jutaan orang Islam dari Timur Tengah kini ramai-ramai minta perlindungan ke negara-negara Barat. Mereka tak perduli bahwa yang mereka minta perlindungan adalah non Muslim.
Bentrokan berdarah di Timur Tengah sekarang ini juga telah menghalalkan serangan terhadap mesjid, yang merupakan simbol keagamaan sangat penting dalam Islam. Ratusan orang tewas telah tewas di dalam mesjid karena serangan bom dilakukan ketika ibadah sholat Jumat tengah berlangsung. Ledakan berdarah ini dialami oleh mesjid-mesjid di Irak, Suriah, Arab Saudi, dan Yaman.
Sayangnya, sejauh ini tak ada pihak yang mengaku bersalah. Sebaliknya, mereka yang saling bantai di Timur Tengah justeru merasa sedang melaksanakan tugas suci. Maka, letupan senjata api mereka masih akan memakan korban. Maka Timur Tengah akan terus menjadi panggung yang mempertontonkan kekejaman paling mengerikan di dunia.
Kenapa mereka bisa sangat saling membenci padahal mereka sama-sama menyembah Allah SWT dan memiliki al-Qur'an sebagai kitab suci?
Pertanyaan ini sering muncul dalam berbagai diskusi formal maupun informal tentang dunia Islam. Salah satu yang cukup populer adalah teori konspirasi tentang adanya pihak yang mengingin dunia Islam selalu terpecah belah. Pihak ini menyadari, bila kekuatan Islam bersatu, akan sanggup mengguncang bahkan meruntuhkan dominasi Barat dalam percaturan politik dan ekonomi dunia.
Kesadaran tersebut didasari oleh trauma masa lalu terkait invasi Islam di Eropa yang dimotori oleh kerajaan Ottoman. Invasi yang dimulai pada abad 13 ini sukses menaklukkan sebagian benua Eropa. Banyak bukti arkelogis yang membuktikan kedahsyatan Ottoman masih bertebaran di Eropa. Bahkan sampai sekarang sejumlah negara dan kawasan di Eropa didominasi oleh orang Islam. Buktinya, orang Islam kini bahkan masih merupakan penduduk mayoritas atau minoritas terbesar di Albania, Kosovo, Bosnia, Bulgaria, sebagian wilayah Kaukasia.
Sejarah juga mencatat, Islam pernah pernah menguasai semenanjung Iberia (sekarang Spanyol dan Portugal) selama 700 tahun. Kekuasaan ini berakhir pada 1492, ketika kerajaan Islam terakhir – Granada -- ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kristen dari berbagai negara Eropa.
Kini untuk melumpuhkan kekuatan Islam, pihak tersebut menerapkan metode klasik yang telah membuat Barat pernah sukses menjajah dunia, yakni pecah-belah dan jajah alias devide et impera. Metode ini memang telah terbukti efektif, dan pernah menjadikan Indonesia wilayah jajahan sebuah negara kecil di Eropa, yaitu Belanda. Demikian efektifnya metode tersebut, sehingga penaklukan kesultanan-kesultanan besar di Indonesia seperti Mataram cukup dilakukan oleh perusahaan swasta bernama VOC, bukan pemerintah Belanda.
Dalam konteks konflik internal dunia Islam, metode tersebut memanfaatkan orang-orang Islam yang emosional. Para dalang adu-domba tentu paham bahwa orang semacam itu sangat banyak dan gampang diprovokasi. Demikian banyaknya sehingga seorang ulama yang sangat terhormat dalam sekejap bisa menjadi korban caci maki karena sebagian kecil pernyataannya beredar di internet. Ulama tersebut adalah Prof Dr Quraish Shihab, yang dituding sebagai pembawa suara kaum sesat Syiah setelah muncul dalam program Tafsir Al-Misbah Metro TV pada 12 Juli tahun lalu.
Quraish Shihab sampai terpaksa menggelar konferensi pers untuk menjelaskan bahwa cercaan kepada dirinya hanya berdasarkan sebagian kecil saja dari penyataannya tentang jaminan surga Mumammad SAW. Quraish Shihab bahwa penyataannya berdasarkan hadist. “Tidak seorang pun masuk surga karena amalnya." Ketika sahabat bertanya, “Engkau pun tidak?” Beliau menjawab, “Saya pun tidak, kecuali berkat rahmat Allah kepadaku.”
Cercaaan terhadap Quraish Shihab mengingatkan kepada kebiasaan kaum emosional yang bisa dengan mudah menarik kesimpulan atau menghakimi orang lain hanya berdasarkan judul dari sebuah tulisan atau sampul buku. Bagi mereka peribahasa 'jangan menilai buku hanya dari sampulnya' dianggap tak penting.
Namun tak semua orang sepakat pada asumsi di atas. Sebab konflik dalam dunia Islam sudah terjadi jauh sebelum Barat berubah menjadi modern dan tumbuh menjadi kekuatan dominan di dunia. Sejarah mencatat, sejak wafatnya Muhammad SAW, aksi saling bunuh dalam perebutan kursi khalifah terjadi berulang kali. Ditambah dengan perbedaan tafsir yang kian pelik, masalah politik tersebut terus berkembang dan membuat dunia Islam makin sulit menghindar dari kekisruhan internal.
Perseteruan paling berdarah-darah adalah antara Suni lawan Syiah, yang masing-masing memperoleh dukungan negara paling kaya dan kuat di dunia Islam, yaitu Arab Saudi dan Iran. Aksi saling melemahkan di antara kedua keuatan besar tersebut jelas menguntungkan Israel karena tak perlu lagi mengerahkan serdadu untuk melemahkan bangsa Arab dan Islam. Negara Yahudi ini mungkin malah sangat rajin memasok senjata dan amunisi agar saling bantai di antara sesama orang Arab dan Islam makin ganas dan tak terkendali.
Israel mungkin juga girang menyaksikan serangan mematikan kaum Islam radikal terhadap negara-negara Barat. Sebab serangan tersebut akan membuat kebencian masyarakat Barat terhadap Islam dan Arab menjulang tinggi.
Jadi jangan heran kalau bangsa Palestina sekarang ini menganggap saling bantai di antara sesama umat Islam negara-negara tetangganya hanya membuat Israel makin berjaya, dan memupus harapannya untuk merdeka.
- See more at: http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/islam-lawan-islam-0#sthash.PQiUXRsd.dpuf