Absurditas Jokowi: Tolak Utang Tapi Terima Pinjaman
https://kabar22.blogspot.com/2015/11/absurditas-jokowi-tolak-utang-tapi.html
BLOKBERITA -- Bila dicermati secara serius, ada hal lucu pemahaman Jokowi tentang utang dan pinjaman. Mengapa begitu? Coba kita kilas balik mengingat kembali ketika ia berpidato di hadapan para kepala negara di Bandung dalam peringatan Konferensi Asia Afrika yang ke-70. Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menguraikan bagaimana negara-negara berkembang yang ada di belahan benua Asia dan Afrika selalu bergantung pada utang. Oleh karena itu, dengan mimik muka serius menyampaikan kritik kritik kerasnya kepada tiga lembaga keuangan internasional, yaitu Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Secara gambling Jokowi menyatakan bahwa keberadaan lembaga keuangan internasional selama ini dianggap tidak membawa solusi bagi persoalan ekonomi global, yang ada hanya membebani dengan bunga yang sangat tinggi sehingga negara tidak keluar dari masalah tapi malah membawa malapetaka. "Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh World Bank, IMF, dan ADB adalah pandangan yang usang dan perlu dibuang," ujar Presiden Jokowi dalam salah satu isi pidatonya.
Tapi lucunya, setelah hampir tujuh bulan ia kritik ketiga lembaga tersebut, Selasa pekan lalu (02/09/2015) secara mengejutkan, ADB merilis bahwa mereka telah memberi pinjaman kepada Indonesia sekitar Rp 5,6 Triliun. Sontak publik pun bertanya, apakah Jokowi sudah lupa dengan kritikan pedasnya kepada lembaga keuangan dunia soal utang itu, atau jangan-jangan Jokowi punya pemahaman tersendiri tentang utang dan pinjaman.
Di setiap kesempatan, dari mulai ketika masih menjadi calon presiden hingga sekarang, Jokowi selalu mengumandangkan anti-utang. Tapi anehnya, di saat ada pihak luar yang menawarkan pinjaman, ia tidak pernah menolaknya. Itu yang menjadi dasar penasaran publik. Bahkan ada sebagian publik berpendapat, pemahaman Jokowi antara utang dan pinjaman sudah salah kaprah, dan penyampaian kalimat anti-utang hanya untuk akal akalan saja alias pencitraan.
Untuk lebih bisa menyimpulkan pemikiran Jokowi soal utang dan pinjaman itu beda dan mengandung kebenaran, coba kita ambil peristiwa lain, selain pinjaman ADB, hal ini dilakukan supaya kita secara intrinsik pemahaman bisa sejalan dengan pemikiran Jokowi.
Ada satu peristiwa menarik, sebagai bukti bahwa pemahaman Jokowi soal utang dan pinjaman itu beda, yaitu pada saat PM Inggris berkunjung ke Indonesia Juli lalu. sebelum ketemu Jokowi, Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan bahwa pemerintahannya akan menyediakan utang hingga £1 miliar (Rp 21 triliun) bagi Indonesia untuk membantu mendanai proyek-proyek infrastruktur. Lalu, bagaimana reaksi Jokowi saat setelah ketemu Cameron ?. Bahkan Cameron dalam penegasannya seperti celoteh seorang marketing bank. "Ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi kesepakatan perdagangan bebas, tapi kita tidak perlu menunggu hingga itu tercapai," ujar Cameron.
Namun, dari apa yang terjadi sikap Jokowi terhadap penawaran Cameron yang sedikit memaksa tersebut?. Presiden Jokowi dalam pernyataannya bukan menanggapi soal penawaran utang dari Cameron tapi malah menyasar jauh, yaitu soal bebas visa. Jokowi meminta Inggris untuk dapat memberikan bebas visa bagi warga negera Indonesia yang berkunjung ke Inggris. Lainnya, hanya menyinggung soal komitmen untuk mempererat kerjasama dan memberikan sedikit sanjungan ke Inggris, bahwa Ingrris merupakan investor asing terbesar kelima di Indonesia. Dari pernyataan Jokowi tersebut, maka dapat disimpulkan kata utang yang disampaikan PM Cameron ditolak Jokowi. Makin paham bukan?.
Sesungguhnya, bagi seorang guru ekonomi pengertian utang dan pinjaman tidak ada bedanya, tapi mungkin saja menurut Jokowi berbeda. Sebagian pakar ekonomi memberi pengertian yang berbeda beda, utang didapat dari hasil mengajukan proposal yang kemudian disetujui oleh debitor atau pemberi utang, tentunya sudah termasuk dengan penentuan bunganya. Sedangkan pinjaman, adalah berupa penawaran dari pihak kreditor tentunya dengan mengikuti apa yang dimaui oleh pihak yang akan diberi pinjaman. Dalam hal ini, mungkin saja Jokowi memahami hal yang kedua. Pantas saja jika para pengamat terkecoh dengan pemahaman Jokowi antara utang dan pinjaman.
Kita kembali kepada soal pinjaman ADB. Alasan ADB sendiri memberi pinjaman kepada Indonesia disebutkan untuk membantu berbagai sektor pengembangan dibidang finansial, yang termasuk didalamnya dalam rangka memperluas akses fianansial untuk masyarakat miskin yang berada di perkotaan dan di daerah pesisir.
Masalah pinjaman dan utang sempat digunjingkan juga, ketika Presiden Jokowi menerima kunjungan Direktur Pelaksana IMF Christine Legarde. Kunjungan Legarde ke Indonesia yang sebenarnya misi utamanya adalah dalam rangka untuk berpartisipasi dikonferensi tingkat tinggi antara Bank Indonesia (BI) dengan IMF pada bulan Desember mendatang.
Menurut informasi dari sumber internal IMF, sesuai yang ternotulensi dalam pembicaraan empat mata dengan Presiden Jokowi. Pada saat bicara mengenai soal kondisi ekonomi dan kemungkinan peluangnya IMF memberikan bantuan. Dalam merangkai kalimat, Legarde terekam sangat hati hati sekali. Kata demi kata ia utarakan kepad Presiden Jokowi tanpa mengandung makna utang. Fokus memberikan penjelasan soal mekanisme pinjaman kelak jika IMF dibutuhkan. Suasan pun menjadi cair, bahkan ketika itu Presiden Jokowi dapat mempresentasikan langkah langkah penyelamatan ekonomi kepada Legarde secara lancar dan penuh canda.
Kabar lucu pun muncul dari pertemuan itu, sebagian media nasional rupanya ingin mengorek informasi soal Legarde mengucap pinjaman yang berarti utang. Padahal, berita dari media internasional bahwa kalimat kalimat Legarde mengandung lelucon sekaligus mengetes Jokowi tentang pemahaman antara pinjaman dan utang , memang ada-ada saja yang tabiat media yang membuat publik terpingkal.
Isu utang itu pun langsung dibantah oleh Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan. Ia menjelaskan kepada pihak media soal maksud kedatangan Christine Legarde. Luhut mengatakan pemerintah Indonesia sama sekali tidak punya rencana untuk menarik lagi utang dari IMF. Pemerintah sudah bebas utang IMF dan tidak ada yang bisa mengintervensi Presiden Jokowi dalam melakukan kebijakan ekonominya.
Dari pernyataan Luhut, Presiden Jokowi sepertinya masih komitmen menolak soal utang, dan tentu saja pemahaman Jokowi utang mungkin beda dengan pinjaman. "Kesediaan Presiden Jokowi menerima Christine Lagarde untuk bertemu, karena presiden perlu menyampaikan juga pandangannya mengenai langkah-langkah perbaikan ekonominya yang dilakukan Indonesia. Jadi saya ulangi, tidak ada pikiran-pikiran kedatangan Presiden IMF itu seperti tahun 1998 (program utang)," jelas Luhut.
Selain menerima pinjaman dari ADB, Presiden Joko Widodo pun membuka lagi peluang kementerian dan lembaga (K/L) untuk mendapatkan pinjaman dan hibah dari luar negeri. Padahal, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kementerian dan lembaga tidak diperkenankan lagi berutang ke luar negeri. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai target utang nol persen di masa akhir pemerintahan SBY. "Blue book" atau daftar pinjaman dan hibah luar negeri ditutup pada era Presiden SBY.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai salah satu Kementerian teknis bidang infrastruktur yang mengajukan pinjaman luar negeri kepada pemerintah, nilai totalnya kurang lebih sekitar 15 hingga 23 miliar dollar AS. Pinjaman luar negeri itu akan digunakan untuk membiaya proyek air minum dan sanitasi sebesar 5 miliar dollar AS, jalan tol 3 miliar dollar AS, konektivitas jembatan dan jalan 2 miliar dollar AS, dan penanggulangan bencana banjir sekitar 1,6 miliar dollar AS.
Alasan utama Jokowi membuka kembali pinjaman luar negeri, karena menurut Jokowi, pinjaman luar negeri bisa disesuaikan dengan kriteria-kriteria yang kita mau, sehingga bisa menjaga defisit anggaran di instrumen fiskal serendah mungkin. Sekali lagi, Jokowi memahami pinjaman itu bukan utang. Dan sekali waktu dalam dialog dengan para pengusaha, ia pernah menguatkan pemahamannya soal pinjaman dengan mengucap kalimat singkat “kita terima pinjaman dengan syarat kita, yang penting bukan utang”. Nah, sekali lagi ini bukan soal utang tapi pinjaman. Bagaimana? Anda sudah paham. (bazz/Inrev)
Secara gambling Jokowi menyatakan bahwa keberadaan lembaga keuangan internasional selama ini dianggap tidak membawa solusi bagi persoalan ekonomi global, yang ada hanya membebani dengan bunga yang sangat tinggi sehingga negara tidak keluar dari masalah tapi malah membawa malapetaka. "Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh World Bank, IMF, dan ADB adalah pandangan yang usang dan perlu dibuang," ujar Presiden Jokowi dalam salah satu isi pidatonya.
Tapi lucunya, setelah hampir tujuh bulan ia kritik ketiga lembaga tersebut, Selasa pekan lalu (02/09/2015) secara mengejutkan, ADB merilis bahwa mereka telah memberi pinjaman kepada Indonesia sekitar Rp 5,6 Triliun. Sontak publik pun bertanya, apakah Jokowi sudah lupa dengan kritikan pedasnya kepada lembaga keuangan dunia soal utang itu, atau jangan-jangan Jokowi punya pemahaman tersendiri tentang utang dan pinjaman.
Di setiap kesempatan, dari mulai ketika masih menjadi calon presiden hingga sekarang, Jokowi selalu mengumandangkan anti-utang. Tapi anehnya, di saat ada pihak luar yang menawarkan pinjaman, ia tidak pernah menolaknya. Itu yang menjadi dasar penasaran publik. Bahkan ada sebagian publik berpendapat, pemahaman Jokowi antara utang dan pinjaman sudah salah kaprah, dan penyampaian kalimat anti-utang hanya untuk akal akalan saja alias pencitraan.
Untuk lebih bisa menyimpulkan pemikiran Jokowi soal utang dan pinjaman itu beda dan mengandung kebenaran, coba kita ambil peristiwa lain, selain pinjaman ADB, hal ini dilakukan supaya kita secara intrinsik pemahaman bisa sejalan dengan pemikiran Jokowi.
Ada satu peristiwa menarik, sebagai bukti bahwa pemahaman Jokowi soal utang dan pinjaman itu beda, yaitu pada saat PM Inggris berkunjung ke Indonesia Juli lalu. sebelum ketemu Jokowi, Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan bahwa pemerintahannya akan menyediakan utang hingga £1 miliar (Rp 21 triliun) bagi Indonesia untuk membantu mendanai proyek-proyek infrastruktur. Lalu, bagaimana reaksi Jokowi saat setelah ketemu Cameron ?. Bahkan Cameron dalam penegasannya seperti celoteh seorang marketing bank. "Ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi kesepakatan perdagangan bebas, tapi kita tidak perlu menunggu hingga itu tercapai," ujar Cameron.
Namun, dari apa yang terjadi sikap Jokowi terhadap penawaran Cameron yang sedikit memaksa tersebut?. Presiden Jokowi dalam pernyataannya bukan menanggapi soal penawaran utang dari Cameron tapi malah menyasar jauh, yaitu soal bebas visa. Jokowi meminta Inggris untuk dapat memberikan bebas visa bagi warga negera Indonesia yang berkunjung ke Inggris. Lainnya, hanya menyinggung soal komitmen untuk mempererat kerjasama dan memberikan sedikit sanjungan ke Inggris, bahwa Ingrris merupakan investor asing terbesar kelima di Indonesia. Dari pernyataan Jokowi tersebut, maka dapat disimpulkan kata utang yang disampaikan PM Cameron ditolak Jokowi. Makin paham bukan?.
Sesungguhnya, bagi seorang guru ekonomi pengertian utang dan pinjaman tidak ada bedanya, tapi mungkin saja menurut Jokowi berbeda. Sebagian pakar ekonomi memberi pengertian yang berbeda beda, utang didapat dari hasil mengajukan proposal yang kemudian disetujui oleh debitor atau pemberi utang, tentunya sudah termasuk dengan penentuan bunganya. Sedangkan pinjaman, adalah berupa penawaran dari pihak kreditor tentunya dengan mengikuti apa yang dimaui oleh pihak yang akan diberi pinjaman. Dalam hal ini, mungkin saja Jokowi memahami hal yang kedua. Pantas saja jika para pengamat terkecoh dengan pemahaman Jokowi antara utang dan pinjaman.
Kita kembali kepada soal pinjaman ADB. Alasan ADB sendiri memberi pinjaman kepada Indonesia disebutkan untuk membantu berbagai sektor pengembangan dibidang finansial, yang termasuk didalamnya dalam rangka memperluas akses fianansial untuk masyarakat miskin yang berada di perkotaan dan di daerah pesisir.
Masalah pinjaman dan utang sempat digunjingkan juga, ketika Presiden Jokowi menerima kunjungan Direktur Pelaksana IMF Christine Legarde. Kunjungan Legarde ke Indonesia yang sebenarnya misi utamanya adalah dalam rangka untuk berpartisipasi dikonferensi tingkat tinggi antara Bank Indonesia (BI) dengan IMF pada bulan Desember mendatang.
Menurut informasi dari sumber internal IMF, sesuai yang ternotulensi dalam pembicaraan empat mata dengan Presiden Jokowi. Pada saat bicara mengenai soal kondisi ekonomi dan kemungkinan peluangnya IMF memberikan bantuan. Dalam merangkai kalimat, Legarde terekam sangat hati hati sekali. Kata demi kata ia utarakan kepad Presiden Jokowi tanpa mengandung makna utang. Fokus memberikan penjelasan soal mekanisme pinjaman kelak jika IMF dibutuhkan. Suasan pun menjadi cair, bahkan ketika itu Presiden Jokowi dapat mempresentasikan langkah langkah penyelamatan ekonomi kepada Legarde secara lancar dan penuh canda.
Kabar lucu pun muncul dari pertemuan itu, sebagian media nasional rupanya ingin mengorek informasi soal Legarde mengucap pinjaman yang berarti utang. Padahal, berita dari media internasional bahwa kalimat kalimat Legarde mengandung lelucon sekaligus mengetes Jokowi tentang pemahaman antara pinjaman dan utang , memang ada-ada saja yang tabiat media yang membuat publik terpingkal.
Isu utang itu pun langsung dibantah oleh Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan. Ia menjelaskan kepada pihak media soal maksud kedatangan Christine Legarde. Luhut mengatakan pemerintah Indonesia sama sekali tidak punya rencana untuk menarik lagi utang dari IMF. Pemerintah sudah bebas utang IMF dan tidak ada yang bisa mengintervensi Presiden Jokowi dalam melakukan kebijakan ekonominya.
Dari pernyataan Luhut, Presiden Jokowi sepertinya masih komitmen menolak soal utang, dan tentu saja pemahaman Jokowi utang mungkin beda dengan pinjaman. "Kesediaan Presiden Jokowi menerima Christine Lagarde untuk bertemu, karena presiden perlu menyampaikan juga pandangannya mengenai langkah-langkah perbaikan ekonominya yang dilakukan Indonesia. Jadi saya ulangi, tidak ada pikiran-pikiran kedatangan Presiden IMF itu seperti tahun 1998 (program utang)," jelas Luhut.
Selain menerima pinjaman dari ADB, Presiden Joko Widodo pun membuka lagi peluang kementerian dan lembaga (K/L) untuk mendapatkan pinjaman dan hibah dari luar negeri. Padahal, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kementerian dan lembaga tidak diperkenankan lagi berutang ke luar negeri. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai target utang nol persen di masa akhir pemerintahan SBY. "Blue book" atau daftar pinjaman dan hibah luar negeri ditutup pada era Presiden SBY.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai salah satu Kementerian teknis bidang infrastruktur yang mengajukan pinjaman luar negeri kepada pemerintah, nilai totalnya kurang lebih sekitar 15 hingga 23 miliar dollar AS. Pinjaman luar negeri itu akan digunakan untuk membiaya proyek air minum dan sanitasi sebesar 5 miliar dollar AS, jalan tol 3 miliar dollar AS, konektivitas jembatan dan jalan 2 miliar dollar AS, dan penanggulangan bencana banjir sekitar 1,6 miliar dollar AS.
Alasan utama Jokowi membuka kembali pinjaman luar negeri, karena menurut Jokowi, pinjaman luar negeri bisa disesuaikan dengan kriteria-kriteria yang kita mau, sehingga bisa menjaga defisit anggaran di instrumen fiskal serendah mungkin. Sekali lagi, Jokowi memahami pinjaman itu bukan utang. Dan sekali waktu dalam dialog dengan para pengusaha, ia pernah menguatkan pemahamannya soal pinjaman dengan mengucap kalimat singkat “kita terima pinjaman dengan syarat kita, yang penting bukan utang”. Nah, sekali lagi ini bukan soal utang tapi pinjaman. Bagaimana? Anda sudah paham. (bazz/Inrev)