Pemerintah Harus Tegas Sanksi Perusahaan Pembakar Lahan

JAKARTA, BLOKBERITA -- Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad mendorong agar Presiden Joko Widodo tidak lagi mengundang investor-investor berbasis sumber daya alam (SDA) agar tidak terjadi lagi ketimpangan dalam penguasaan SDA, seperti yang terjadi terhadap lahan-lahan kelapa sawit.

Chalid menyebutkan, berdasarkan data yang dirilis Transparansi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), sebanyak 25 grup perusahaan kelapa sawit di Indonesia menguasai 5,1 juta hektare lahan atau setara dengan setengah Pulau Jawa. Menurit data tersebut, kata dia, hanya sekitar 29 "pemain besar" yang menguasai lahan tersebut.

" Sungguh sebuah ketimpangan agraria yang sangat luar biasa," ujar Chalid pada sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (26/10/2015).

Ia menilai, seharusnya pemerintah segera mencabut izin-izin perusahaan kelapa sawit yang melakukan pembakaran lahan dan memulihkan kondisi lahan tersebut untuk dikelola oleh rakyat.

" Serahkan ke desa untuk mengelola. Rakyat diberdayakan. Kalau desa berdaya, pasti rakyat sejahtera," katanya.

Chalid juga mengingatkan Jokowi agar tidak takut dengan ancaman-ancaman perusahaan tersebut.

" Ancamannya seperti ini, kami menguasai triliunan rupiah per putaran uang. Kalau kami dikenakan sanksi maka ekonomi akan melambat, dua juta tenaga kerja akan menganggur. Itu ancaman yang selalu diberikan ketika perusahaan-perusahaan besar yang mau ditindak," kata Chalid.

Iamenyarankan agar pemerintah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa keuangan pajak perusahaan-perusahaan tersebut, terutama dalam membayar pajak.

"KPK dan Dirjen Pajak seharusnya bekerja ekstra keras untuk memerikaa semua grup-grup perusahaan tanaman sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) agar bisa terlihat apakah mereka patuh membayar pajak? Apakah ada relasi income yang mereka dapat dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan?" kata Chalid.


Nama Perusahaan Dirahasiakan Pemerintah

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya menegaskan, pemerintah tidak akan membuka nama-nama perusahaan yang telah ditetapkan sebagai tersangka pembakaran hutan dan lahan.
" Buat saya, yang penting mereka tahu perbuatan mereka salah dan mereka telah mendapat sanksi untuk itu," kata Siti di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/10/2015).
Berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri per 22 Oktober 2015, polisi telah menetapkan 247 tersangka pembakar hutan.

Dari jumlah itu, terdapat 230 tersangka perorangan dan 17 tersangka korporasi. Tujuh di antara korporasi itu adalah korporasi penyertaan modal asing.
Selain itu, masih ada 21 perkara yang masih dalam status penyelidikan dan 104 perkara yang sudah dinaikkan ke tahap penyidikan. Adapun 62 perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.

Menurut Siti, identitas para pelaku pembakar hutan itu tidak terlalu penting untuk diketahui publik.
Yang terpenting, kata Siti, perilaku bisnis para pembakar hutan dan lahan tersebut bisa berubah. Dengan begitu, kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan kabut asap bisa dicegah pada tahun-tahun mendatang.

"Dia harus menanggung kesalahannya itu. Dia harus mengubah perilaku bisnisnya. Saya kira itu yang paling penting," ucap dia.

Belum lama ini, Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad meminta penegak hukum membuka nama perusahaan yang sudah terbukti membakar hutan dan lahan.
Chalid berpendapat, pengungkapan nama perusahaan pembakar hutan dan lahan bisa menjadi sanksi sosial di tataran masyarakat.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga menyerukan pemboikotan produk perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran hutan.
Hal itu sebagai salah satu bentuk hukuman sosial akibat bencana kabut asap lantaran perilaku perusahaan-perusahaan tersebut.


Pemerintah Takut ?

Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad meminta penegak hukum membuka nama perusahaan yang sudah terbukti membakar hutan dan lahan.

" Kenapa harus takut? Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti) saja menyebut jelas itu perusahaan (illegal fishing), enggak apa-apa," ujar Chalid dalam diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (24/10/2015).

Chalid berpendapat pengungkapan nama perusahaan pembakar hutan dan lahan bisa menjadi sanksi sosial di tataran masyarakat.

Menurut Chalid, "shock therapy" semacam itu bisa membuat perusahaan-perusahaan jera dan tidak lagi membakar hutan dan lahan.

"Masyarakat juga jadi tahu, ooh perusahaan ini toh yang membakar hutan. Mungkin ada produknya yang jadi diboikot. Ini bisa jadi sangat efektif," ujar Chalid.

Data Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri per 22 Oktober 2015, Polisi telah menetapkan 247 tersangka pembakar hutan.

Dari jumlah itu terdapat 230 tersangka perorangan dan 17 tersangka korporasi. Tujuh di antara korporasi itu adalah korporasi penyertaan modal asing.

Selain itu, masih ada 21 perkara yang masih dalam status penyelidikan, 104 perkara yang sudah dinaikan ke tahap penyidikan dan 62 perkara yang sudah dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan. (bin/kmps)
View

Related

NASIONAL 5574569222545637021

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item