Beware! IHSG Terus Merosot


BLOKBERITA -- Pemerintah mau dongkrak indeks dengan dana Rp 10 triliun. Untuk beberapa saat okelah. Tapi kalau panik begini, uang bisa banyak terkuras.

Longsor besar itu akhirnya terjadi juga. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terperosok ke level 4.100. Tepatnya, Senin 24 Agustus 2015, indeks ditutup pada level 4.163,729, atau merosot 3,97%. Ini merupakan level terendah indeks sejak Desember 2013 lalu.

Panic selling telah menular ke mana-mana. Indeks harga saham gabungan terperosok ke level 4.300. Tepatnya, Jumat 21 Agustus 2015, indeks ditutup pada level 4.335,95. Artinya, dalam sepekan IHSG telah turun 250 poin atau 5,45%. Angka ini sama dengan posisi indeks 20 bulan lalu. kekhawatiran pasar terhadap perkembangan ekonomi Cina yang diprediksi melambat lebih awal.  Selain itu, pasar lagi-lagi berspekulasi lantaran tidak adanya kepastian dari Bank Sentral AS, The Fed apakah jadi menaikkan suku bunga acuan September pekan depan atau tidak di tengah gonjang-gajing ekonomi global. Tak kalah hebatnya, tekanan juga datang dari anjloknya harga minyak yang diperdagangkan di kisaran US$ 39 per barel, posisi terendah dalam enam tahun terakhir.

Akibatnya, nilai tukar rupiah pun semakin jeblok. Di pasar spot satu dolar AS dihargai  Rp 14.050, atau rupiah melemah 0,78% dibandingkan akhir pekan lalu. Di kurs tengah Bank Indonesia, posisi rupiah Rp 13.998 per dolar AS.

Salah satu penyebab penurunan IHSG adalah anjloknya nilai tukar rupiah.  Dalam situasi ini, investor asing justru merasa lebih khawatir dibandingkan investor domestik. Sebab, jika rupiah terkoreksi, imbal hasil mereka dalam denominasi rupiah akan turun. Inilah yang membuat investor asing lebih memilih melepas barang (saham). Akibatnya, tanpa ada sentimen negatif dari domestik sama sekali pun, aksi jual asing jauh lebih besar dari aksi jual pemodal domestik.                                                                

Pekan ini, tampaknya pelemahan IHSG masih akan berlanjut. Sebab, potensi rupiah untuk terus terdepresiasi masih besar. Saat rupiah terus di atas 14.000, pasar dipastikan akan terus  panik. Jika ini terus berlanjut, rupiah bisa cepat merosot ke level 14.600-14.700. Rupiah akan cepat mendekati level psikologis 15.000.

Cepatnya melemah rupiah, karena 14.000 merupakan level psikologis. Ini juga sudah mengantarkan rupiah ke level di masa krisis 1997-1998. Jadi, sangat rawan ke  15.000 karena  14.000 merupakan level rupiah saat krisis. Pada saat krisis 2008, rupiah berada di 12.000 per dolar AS.

Untuk saat ini, selain rupiah,  tidak ada yang lebih penting di pasar modal. Sebab, mata uang merupakan ukuran fundamental sebuah negara. Sekarang merupakan pembuktian bagaimana pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus bisa mensinkronkan antara kondisi ekonomi yang rill dengan nilai tukar rupiah.

Soal anggapan perlunya pelemahan rupiah untuk menjaga daya saing produk dalam negeri di pasar ekspor, ah janganlah sering berpendapat demikian. Sebab, porsi utang luar negeri 70% (utang swasta dan pemerintah) dalam denominasi dolar AS yang memang tidak di-hedging. Artinya, risiko Indonesia dari sisi utang semakin besar.

Dengan kondisi rupiah saat ini, seharusnya ekspor bisa melonjak tajam. Tapi, Indonesia punya masalah dari struktur ekonomi, seperti masalah infrastruktur yang jadi penyebab inefisiensi. Akibatnya, barang-barang produksi dalam negeri sulit untuk bisa turun harganya. Jadi, devaluasi rupiah bukan solusi karena akan menghantam utang domestik.

Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah IHSG sudah di posisi terendahnya? Belum tentu. Sebab, kemungkinan IHSG turun masih terbuka lebar, seiring pelemahan nilai rupiah. Tapi besok (Selasa, 25 Agustus 2015), kabarnya pemerintah akan melakukan operasi pasar saham. Pemerintah sudah menyiapkan anggaran Rp 10 triliun untuk membeli kembali (buyback) saham-saham perusahaan BUMN yang melantai di Bursa Efek Indonesia. Harapannya, ya, supaya IHSG naik kembali.

Untuk sesaat, langkah ini bisa jadi efektif. Tapi setelah itu, langkah ini percuma. Ini mirip ketika BI turun ke pasar untuk menjaga rupiah, toh hasilnya seperti sekarang. Cadangan devisa terkuras, nilai rupiah tetap saja melemah. Berapa pun besar duit diguyur ke pasar, selama sumber utama tidak diobati, yang bakal sia-sia.

Saat ini, yang terus ditunggu pengusaha adalah aksi belanja negara oleh pemerintah. Isu klasik yang tetap menjadi masalah adalah efisiensi seperti infrastruktur, birokrasi, dan sebagainya. Itulah justru yang tidak pernah tersentuh oleh pemerintah.  (inrev)
View

Related

BURSA 7213826390739735204

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item