Menguak 'Politik Pembiaran' ala Jokowi

BLOKBERITA -- Pembiaran telah menjadi ciri khas Jokowi dalam menghadapi persoalan yang memperoleh perhatian besar dari masyarakat. Dia juga selalu berusaha tampak santai.

Kini hal yang sama dia lakukan terhadap isu perombakan kabinet. Dia seolah tak perduli bahwa isu tersebut telah demikian hebat menyedot energi dan perhatian masyarakat. Dia hanya mengatakan: “Infonya ‘kan bukan dari saya.”

Dia tidak secara tegas membenarkan atau menolak isu tersebut. Hal ini tentu saja mengesankan bahwa harapan dan kegelisahan masyarakat terkait kabinet bukan urusan Presiden. Padahal, di tengah perekonomian yang sedang ‘luka parah’, jawaban atas isu yang telah demikian mengguncang itu sangat dibutuhkan untuk menciptakan ketenangan masyarakat.

Sungguh sulit dicerna dengan akal sehat bahwa masyarakat yang sedang gelisah akibat dihantui oleh PHK massal dan merosotnya daya beli malah dibebani teka-teki politik yang jawabnya hanya diketahui oleh kepala negara.

Hal ini mengingatkan pada kasus KPK lawan Polisi. Ketika Polri menetapkan dua pimpinan KPK – Abraham Samad dan Bambang Widjojanto -- sebagai tersangka, Jokowi seolah tak peduli pada reaksi demikian hebat dari masyarakat. Dia malah mengundang sejumlah tokoh masyarakat seperti Ahmad Syafii Maarif ke istana untuk mengesankan seolah akan segera mengambil langkah pamungkas untuk memenuhi harapan masyarakat.

Runyamnya, setelah itu dia melengserkan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dari KPK. Lalu dia juga mengaku memberi restu atas pengangkatan pemilik rekening gendut, Komjen Budi Gunawan, sebagai Wakapolri. Dia juga menandatangani kenaikan pangkat Kabreskrim Budi waseso dari jendral berbintang dua menjadi bintang tiga.

Kini, politik pembiaran ala Jokowi telah membuat masyarakat makin hanyut dalam perdebatan politik yang melelahkan. Berbagai intrik pun telah ditebar oleh para politisi dan teknokrat yang berambisi jadi menteri. Soal apakah mereka benar-benar punya resep untuk menyembuhkan penyakit ekonomi yang sedang melanda Indonesia, hanya Tuhan dan mereka sendiri yang tahu.

Yang pasti, mereka yang masih berkuasa mengaku mampu dan memiliki program mujarab untuk membugarkan kembali perekonomian nasional. Lalu, ketika perekonomian terus memburuk, dengan sigap mereka akan menuding pemerintah sebelumnya sebagai biang keladi.

Sikap semacam ini juga dilakukan oleh kepala staf kepresidenan Luhut Panjaitan, yang memiliki peran menentukan dalam proyek-proyek strategis pemerintah, dan rapor para menteri. Kepemimpinan Jokowi, menurut Luhut, akan membuat persoalan ekonomi bisa lebih cepat ditangani. Ini karena “beliau lebih memperhatikan aspirasi masyarakat daripada pemerintah sebelumnya.”

Bisa jadi, yang Luhut mengacu pada kegemaran blusukan Jokowi, yang selalu diselingi dialog dengan penduduk setempat, dan membagi hadiah seperti Sinterklas. Yang sedang digandrungi adalah membagi kartu sakti seperti Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar. Ciri khas lainnya adalah memberi instruksi secara instan.

Salah satu instruksi tersebut adalah “saya akan menginstruksikan seluruh BUMN agar hanya membeli kapal buatan dalam negeri.” Karena dilakukan secara instan, Jokowi baru menyadari belakangan bahwa kapal buatan dalam negeri lebih mahal sampai 17% dibandingkan yang impor. Penyebabnya adalah sistem pajak, keterbelakangan infrastruktur, minimnya kredit perbankan, lemahnya penguasaan teknologi, ketergantungan pada komponen impor, dan minimnya SDM berketrampilan menengah dan tinggi.

Hal di atas tentu saja mengesankan bahwa perencanaan yang matang dianggap tak penting. Semua persoalan bisa diselesaikan secara instan. Dan cara berpikir seperti inilah yang tampaknya membuat perekonomian Indonesia tampak makin ruwet. Dalam arti, pemerintah bisa demikian mudah pemerintah membuat keputusan, semudah dia membatalkannya atau menuding orang lain sebagi biang keladi ketika terjadi kegagalan.

Masih demikian segar di benak kita tatkala pemerintah membatalkan kenaikan harga Pertamax pada 15 Mei lalu. Padahal, sebelumnya, pemerintah gambar-gembor bahwa kenaikan harga tersebut sangat penting untuk mengurangi beban anggaran belanja.

Dengan gaya seperti itu, dan kebiasaan melakukan pembiaran yang membuat banyak orang jengkel bukan kepalang, tentu tak mengherankan bila kepercayaan masyarakat terus merosot. Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) membuktikan ini. Dalam survey terakhir yang dirilis 9 Juli lalu, 56% 1220 responden SMRC di 34 provinsi menyatakan tak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi.

Kini semuanya tentu terserah Jokowi. Bila ingin maju lagi dalam Pilpres mendatang, dia tentu harus merubah gayanya, yakni gaya pembiaran yang bikin 'whengng' (kacau bin galau). 


[ Inrev / bbcom ]
View

Related

POLITIK 769796434995513451

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item