Krisis Moneter Menghantui Indonesia

BLOKBERITA -- Kepemilikan asing di SBN sangat rawan. Jika mereka melihat negeri ini sudah tak menguntungkan, mereka dalam sekejap bisa eksodus.

Negeri ini memang hobi berutang. Utang yang satu belum beres, utang baru lahir. Belakangan, pemerintah gemar sekali menerbitkan surat utang, lalu ditawarkan kepada investor asing. Sekarang, giliran Bank Sentral Cina atau The People’s Bank of Cina (PBOC) yang ditawarkan. Kementerian Keuangan menawarkan PBOC untuk memborong Surat Berharga Negara (SBN).

Pemerintah berkepentingan kepada PBOC karena cadangan devisa yang dimilikinya sangat besar. Per Maret 2015 jumlahnya sudah mencapai US$ 3,73 triliun. Selama ini, Beberapa bank sentral yang aktif membeli SBN kebanyakan berasal Timur Tengah dan Eropa.

Hanya saja, hobi pemerintah yang suka berutang kepada investor asing bukan tanpa bahaya. Lihat saja, per Juli 2015, posisi kepemilikan asing di SBN sudah mencapai 39,48% dari total utang pemerintah yang diperdagangkan, yakni Rp 2.151 triliun. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo sudah mengingatkan pemerintah agar berhati-hati karena kepemilikan asing di SBN sudah di atas 30%. “Kalau pengelolaannya tidak hati-hati akan berdampak langsung terhadap ekonomi Indonesia,” kata Agus.

Kepemilikan asing di SBN bisa bertambah gemuk jika pemerintah jadi menerbitkan Euro Bond dan Samurai Bond sebelum kuartal II-2015 dan disusul penerbitan obligasi bernominasi valas di kuartal III-2015. Jumlahnya memang belum bisa diketahui. Namun imbal hasil yang akan diberikan kepada investor Eropa dan Jepang ini ditaksir berkisar 2,8%-3,0%.

Jika penerbitan Euro Bond dan Samurai Bond jadi telaksana, porsi kepemilikan asing di SBN diperkirakan akan meningkat menjadi di atas 40%. Jelas ini sangat berbahaya. Sebab, bila terjadi penarikan dana oleh investor asing – entah karena dipicu oleh kenaikan suku bunga The Fed, Indonesia berpotensi mengalami krisis moneter.

Asal tahu saja, saat ini terdapat dana sebanyak Rp 459,55 triliun yang ditempatkan investor asing di SBN. Menurut seorang pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dana asing ini rawan kabur jika Bank Sentral AS, The Fed menaikkan suku bunga acuan.

Sang pejabat menambahkan, kalau dana tersebut keluar dari Indonesia hal itu akan berdampak luas terhadap portofolio investasi industri keuangan serta kemampuan pemerintah menerbitkan kembali instrumen pendanaan. “Sebab, harga SBN akan anjlok,” katanya.

Sudah bisa dibayangkan betapa ngerinya jika investor ramai-ramai menarik dananya dari Indonesia. Tahun lalu saja ketika The Fed mulai memangkas dana stimulus (tapering), pasar saham dan pasar uang di dunia—tak terkecuali Indonesia—panik. Mereka beramai-ramai melepas asetnya di berbagai instrumen investasi yang dianggap berisiko tinggi. Mereka lebih aman dan nyaman menggenggam dolar AS, lalu membawa dananya ke negara yang berisiko kecil. Aksi lepas barang yang dilakukan para investor asing ini pun telah menekan nilai tukar rupiah dan membuat Indeks Harga Saham Gabungan sempoyongan.

Apalagi, saat ini perekonomian Indonesia berjalan sangat lambat, begitu pula halnya perkiraan di semester II-2015, yang hanya 4,9%. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi semester yang sama di tahun sebelumnya sebesar 5,1%. Artinya, masih jauh untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P 2015 sebesar 5,7%. Hampir semua sektor industri melemah, tak terkecuali konsumsi masyarakat dan nilai rupiah yang terus terdepresiasi.

Dengan kondisi begini, kepemilikan asing di SBN sangat rawan. Jika mereka melihat negeri ini sudah tak menguntungkan, mereka dalam sekejap bisa eksodus. Dan, dari sinilah ledakan krisis bakal terjadi.

[ bbcom / Inrev ]
View

Related

NASIONAL 30844136668874966

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item