Dr. Muhtasyar UGM: Sabda Raja dan Paugeran Harus Dijaga Keseimbangannya

YOGYAKARTA, BLOKBERITA -- Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Dr. Muhtasyar Syamsuddin menilai keberadaan "sabda raja" serta "paugeran" merupakan kesatuan yang seharusnya mampu menjaga keseimbangkan Keraton Yogyakarta.

" Paugeran (aturan pokok keraton) dengan keputusan internal yang bersifat transendental (sabda raja) itu, seharusnya jangan diperlawankan, melainkan harus dijaga keseimbangannya," kata Muhtasyar di Yogyakarta, Rabu.

Dia mengatakan, dengan merujuk pada tradisi serta filsafat Jawa harus ada keseimbangan antara yang bersifat teosentris (Ketuhanan) yakni sabda raja dengan yang bersifat antroposentris yakni paugeran.

" Dalam filsafat Jawa perintah Tuhan harus selaras dengan karya manusia," kata dia.

Menurut dia, masyarakat juga harus memahami dan menghormati bahwa sabda raja yang dikeluarkan oleh Sultan HB X dipahami sebagai kepentingan internal keraton yang mendasarkan pada perintah Tuhan."Oleh karena itu dalam konteks itu apapaun yang terjadi dalam keraton dianggap sebagai maunya Tuhan," kata dia.

Kendati demikian, menurut Muhtasyar, apabila sabda raja serta paugeran pada akhirnya dipertentangkan dan memang berlawanan, maka yang harus diubah adalah paugeran sebagai produk pemikiran manusia.

" Karena itu dengan mengeluarkan sabda raja Sultan merasa paugeran dikalahkan karena dinilai sebagai hasil kesepakatan manusia," kata dia.

Menurut dia, paugeran yang merupakan hasil karya pemikiran manusia masih dapat dikomunikasikan kembali untuk diubah karena bukan merupakan kebenaran absolut.

Sebelumnya, Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga gubernur DIY Sri Sultan HB X pada 30 April 2015 mengeluarkan "sabda raja" yang antara lain mengubah gelarnya dari "Buwono" menjadi "Bawono", serta menghilangkan gelar kalifatullah.

Selanjutnya pada Selasa (5/5), Sultan kembali mengeluarkan "dawuh raja" yang berisi penggantian nama Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun (putri pertama Sultan) menjadi GKR Mangkubumi. Upaya itu dianggap beberapa adik Sultan, bahwa Sultan telah keluar dari paugeran serta ingin menjadikan putrinya sebagai penerus tahta.

Penghapusan Khalifatullah

Sementara itu, Sejarawan Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi menjelaskan basis legitimasi historis Kesultanan Yogyakarta sepadan dengan basis legitimasi Kerajaan Inggris. Menurutnya Kesultanan Yogyakarta bertugas melindungi agama Islam sedangkan Kerajaan Inggris Melindungi Agama Kristen.

Melalui akun Facebook, ia menyatakan basis Kesultanan Mataram dan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Sayyidin Panatagama Khalifatullah ing Tanah Jawi "seperti halnya basis legitimasi kerajaan Inggris adalah pelindung agama negara Kristen Anglikan," jelas Airlangga dalam akun facebook-nya, Ahad (10/5).

Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University, Australia itu melanjutkan ketika gelar Khalifatullah dicabut sendiri oleh Sultan maka legitimasi politik sebagai wilayah istimewa hilang. Maka menurutnya hal itu positif dan baik, karena Sultan telah menempatkan diri dan keluarganya sejajar dengan orang-orang dan keluarga Jawa lainnya.

Angga mengharapkan semoga langkah ini akan diikuti oleh proses desakralisasi kekuasaan, dan selanjutnya harmonisasi antara nilai religiusitas dan budaya Jawa adalah menjadi tanggung jawab budaya kolektif manusia Jawa.

Dimana tidak ada satu keluarga yang merasa lebih tinggi daripada yang lain untuk mengembannya. Seperti yang sebenarnya sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama.

[ bass / rol ]
View

Related

TOKOH 3189340192286224970

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item