Sebuah Perjuangan Pedagang Buku Asongan yang Melahirkan "Kampoeng Ilmu" di Surabaya
https://kabar22.blogspot.com/2015/04/sebuah-perjuangan-pedagang-buku-asongan.html
BLOKBERITA -- Wisata Pendidikan Kampoeng Ilmu di Jalan Semarang Nomor 55, Surabaya,
Jawa Timur didirikan, buah dari kegigihan para pedagang buku asongan
yang menolak perintah penertiban Pemkot Surabaya pada Januari 2008.
Saat itu, Wali Kota Bambang Dwi Hartono memerintahkan para pedagang buku asongan di Jalan Semarang untuk membersihkan lapak-lapaknya yang sudah berdiri sejak Tahun 1975 itu, dari trotoar depan Stasiun Pasar Turi.
Eksekusi pengosongan itu sendiri, dilakukan oleh Satpol PP diback-up Polwiltabes Surabaya (sekarang Polrestabes Surabaya).
Para pedagang kaki lima (PKL) ini pun merespon perintah pengosongan itu dengan mengadu ke DPRD Surabaya. Namun, tak pernah ada solusi. Para pedagang tidak menyerah. Dengan semangat perjuangan Arek-Arek Soeroboyo Tahun 1945, mereka terus melakukan perlawanan.
Perlawanan para PKL, dilakukan damai dan strategis. Mereka meminta pendapat masyarakat Surabaya yang melintas di Jalan Semarang, terkait masalah penggusuran tersebut. Para pedagang buku, juga meminta tanda tangan di atas kain sepanjang 300 meter ke masyarakat.
Tanda tangan di atas bentangan kain yang terus bertambah setiap hari itu, berubah menjadi 'kita suci' dan memberi mandat jika lapak buku bekas di Jalan Semarang tidak bisa begitu saja digusur dari Kota Pahlawan, tapi harus direlokasi.
Akhirnya, Pemkot Surabaya di bawah kendali Bambang DH, menyediakan tanah kosong yang semula menjadi tempat penimbunan sampah di Jalan Semarang Nomor 55, menjadi tempat relokasi para pedagang buku bekas.
" Kemudian tempat ini dinamakan Kampoeng Ilmu yang menjadi wisata baca di Surabaya. Saat itu, para pedagang di sini terus berinteraksi dan berdiskusi. Pemikiran para pedagang waktu itu sudah sangat masif. Sehingga muncul ide mendirikan Kampoeng Ilmu," terang Ketua Paguyuban PKL Kampoeng Ilmu, Budi Santoso kepada merdeka.com, Jumat (10/4).
Diceritakan Budi, sebelum menyematkan nama Kampoeng Ilmu, para pedagang sempat memberi nama Kampoeng Aksoro, yang berarti tempat membaca. Namun, karena terlalu ke daerahan, nama Aksoro dirubah dengan Ilmu.
" Karena kalau menggunakan Aksoro, dikhawatirkan orang-orang yang datang dari luar Jawa tidak paham, sehingga diganti dengan nama Kampoeng Ilmu," katanya.
Nama Kampoeng Ilmu sendiri, masih kata pemilik Toko Angger Bacae itu, sebenarnya berasal dari pemikiran pada aspek sosial, budaya dan masalah edukasi (pendidikan).
" Secara sosial, Kampoeng Ilmu sebagai tempat para pedagang mencari nafkah. Kemudian, dari aspek budaya, Kampung Ilmu menjadi tempat pijakan masyarakat kelas menengah ke bawah mencari buku murah," ucapnya.
Di Kampoeng Ilmu, tidak hanya menjadi tempat para pedagang buku bekas dengan harga terjangkau berinteraksi dengan pembelinya, tetapi juga menjadi tempat diskusi kaum muda, aktivis dan sarana belajar anak-anak sekolah.
Di Kampoeng Ilmu, yang menjadi tempat pedagang asongan menjajakan komik, buku, majalah bekas hingga buku-buku kuno dan langka yang tidak ditemui di toko buku resmi, ini juga menyediakan joglo, aula serga guna, perpustakaan dan kantin dengan fasilitas Wi-Fi.
Saat itu, Wali Kota Bambang Dwi Hartono memerintahkan para pedagang buku asongan di Jalan Semarang untuk membersihkan lapak-lapaknya yang sudah berdiri sejak Tahun 1975 itu, dari trotoar depan Stasiun Pasar Turi.
Eksekusi pengosongan itu sendiri, dilakukan oleh Satpol PP diback-up Polwiltabes Surabaya (sekarang Polrestabes Surabaya).
Para pedagang kaki lima (PKL) ini pun merespon perintah pengosongan itu dengan mengadu ke DPRD Surabaya. Namun, tak pernah ada solusi. Para pedagang tidak menyerah. Dengan semangat perjuangan Arek-Arek Soeroboyo Tahun 1945, mereka terus melakukan perlawanan.
Perlawanan para PKL, dilakukan damai dan strategis. Mereka meminta pendapat masyarakat Surabaya yang melintas di Jalan Semarang, terkait masalah penggusuran tersebut. Para pedagang buku, juga meminta tanda tangan di atas kain sepanjang 300 meter ke masyarakat.
Tanda tangan di atas bentangan kain yang terus bertambah setiap hari itu, berubah menjadi 'kita suci' dan memberi mandat jika lapak buku bekas di Jalan Semarang tidak bisa begitu saja digusur dari Kota Pahlawan, tapi harus direlokasi.
Akhirnya, Pemkot Surabaya di bawah kendali Bambang DH, menyediakan tanah kosong yang semula menjadi tempat penimbunan sampah di Jalan Semarang Nomor 55, menjadi tempat relokasi para pedagang buku bekas.
" Kemudian tempat ini dinamakan Kampoeng Ilmu yang menjadi wisata baca di Surabaya. Saat itu, para pedagang di sini terus berinteraksi dan berdiskusi. Pemikiran para pedagang waktu itu sudah sangat masif. Sehingga muncul ide mendirikan Kampoeng Ilmu," terang Ketua Paguyuban PKL Kampoeng Ilmu, Budi Santoso kepada merdeka.com, Jumat (10/4).
Diceritakan Budi, sebelum menyematkan nama Kampoeng Ilmu, para pedagang sempat memberi nama Kampoeng Aksoro, yang berarti tempat membaca. Namun, karena terlalu ke daerahan, nama Aksoro dirubah dengan Ilmu.
" Karena kalau menggunakan Aksoro, dikhawatirkan orang-orang yang datang dari luar Jawa tidak paham, sehingga diganti dengan nama Kampoeng Ilmu," katanya.
Nama Kampoeng Ilmu sendiri, masih kata pemilik Toko Angger Bacae itu, sebenarnya berasal dari pemikiran pada aspek sosial, budaya dan masalah edukasi (pendidikan).
" Secara sosial, Kampoeng Ilmu sebagai tempat para pedagang mencari nafkah. Kemudian, dari aspek budaya, Kampung Ilmu menjadi tempat pijakan masyarakat kelas menengah ke bawah mencari buku murah," ucapnya.
Di Kampoeng Ilmu, tidak hanya menjadi tempat para pedagang buku bekas dengan harga terjangkau berinteraksi dengan pembelinya, tetapi juga menjadi tempat diskusi kaum muda, aktivis dan sarana belajar anak-anak sekolah.
Di Kampoeng Ilmu, yang menjadi tempat pedagang asongan menjajakan komik, buku, majalah bekas hingga buku-buku kuno dan langka yang tidak ditemui di toko buku resmi, ini juga menyediakan joglo, aula serga guna, perpustakaan dan kantin dengan fasilitas Wi-Fi.
[ merdeka / baz ]