Bupati Klaten, Sri Hartini Dituntut 12 Tahun Penjara

BLOKBERITA, SEMARANG -- Bupati Klaten non aktif Sri Hartini dituntut pidana 12 tahun penjara atas kasus jual beli jabatan yang menjeratnya. Sri juga dituntut membayar denda Rp 1 miliar atau setara dengan satu tahun kurungan.
Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, Sri di persidangan terbukti melanggar ketentuan dakwaan terkait suap dan gratifikasi.
Terdakwa selaku penyelenggara negara melanggar ketentuan pasal 12 huruf a dan pasal 12 huruf b Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Jaksa menolak seluruh keterangan yang dianggap meringankan terdakwa.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 12 tahun dikurangi dalam masa hukuman yang dijalani. Menjatuhkan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun penjara," kata Jaksa Afni Carolina di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (28/8/2017).
Menurut jaksa, keterangan terdakwa yang tidak menerima uang secara langsung tidak mempunyai alasan mendasar. Dalam fakta persidangan, mayoritas saksi justru menyebut peran terdakwa.
"Penerimaan uang tidak sesuai dengan aturan UU," ujar jaksa.
Dalam perkara, jaksa menduga Sri mendapat uang suap dan gratifikasi sebesar Rp 12,887 miliar. Suap dan gratifikasi terdiri dari beragam kasus mulai dari jual beli jabatan, pemotongan bantuan dana desa, mutasi, dan promosi kepala sekolah SMP dan SMA.
Lalu kasus mutasi PNS di Setda Pemkab Klaten hingga pengisian jabatan di PDAM, rumah sakit sakit dan intansi terkait.
"Perbuatan terdakwa bertentangan dengan peran sebagai penyelenggara yang bersih dari kolusi, korupsi. Semua unsur dalam dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan," tambah jaksa di depan hakim Antonius Wijantono tersebut.
Sri Hartini sendiri bakal mengajukan nota pembelaan pada sidang lanjutan yang rencananya digelar Rabu (6/9/2017). "Sidang ditunda Rabu jam 10 pagi," tutupnya.

Akui Terima Uang Pelicin

Bupati Klaten non aktif Sri Hartini mengakui telah menerima sejumlah uang dari bawahannya terkait jual beli jabatan di Klaten. Namun, Hartini membantah telah menggunakan uang "syukuran" dari bawahanya itu.
"Semua yang diberikan ke saya, saya tidak menghitung dan saya (langsung) masukkan di kardus," ujar Hartini, saat diperiksa di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (16/8/2017).
Dalam kasus jual beli jabatan ini, Hartini mengaku, sebagian uang yang diterimanya dicatat dalam sebuah buku tulis. Namun sebagian lagi, tidak ia catat.
Buku yang berisi tulisan tangan itu saat ini telah disita jaksa KPK sebagai salah satu barang bukti. Berdasar fakta sidang, upeti yang disetorkan dari mereka yang hendak promosi jabatan jumlahnya berbeda-beda, mulai dari Rp 20 juta hingga Rp 200 juta.
Pemberian uang dikoordinasikan melalui pihak perantara. Meski mendapat uang syukuran, Sri mengaku tidak pernah menggunakan uang itu.
"Hanya sebagian yang dicatat di buku. Saya belum menggunakan yang syukuran itu," tambahnya.
Uang syukuran terakhir yang disita KPK sebesar Rp 170 juta saat operasi tangkap tangan di rumah Dinas Bupati Klaten. Uang "syukuran" ditujukan untuk promosi empat pegawai di Dinas Pendidikan Klaten.
Dalam dakwaan, Sri Hartini didakwa menerima suap dan gratifikasi tak lama setelah ia dilantik sebagai bupati. Total suap dan gratifikasi selama 8 bulan ia menjabat mencapai Rp 12,1 miliar.
Sri Hartini dilantik bersama wakilnya Sri Mulyani pada 17 Februari 2016. Tiga bulan setelah menjabat, atau Mei 2016, Hartini didakwa menjalankan kegiatan jual beli jabatan.
Kegiatan berakhir setelah Sri Hartini ditangkap KPK pada Desember 2016 lalu. Hartini didakwa dengan pasal berlapis, yaitu pasal 12 huruf a, dan pasal 12 huruf b Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.

Sekdin Setor Rp 750 Juta ke Bupati

Sudirno, Sekretaris Dinas Pendidikan Klaten (sebelumnya disebutkan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten Pantoro) mengaku pernah menyerahkan uang Rp 750 juta kepada Bupati Klaten non aktif Sri Hartini.
Sejumlah uang itu diberikan Sudirno yang sebelumnya memungut dari para rekanan proyek di dinas terkait.
"Saya serahkan langsung, pagi diterima, malam kami bawa ke rumah dinas," kata Sudirno, saat memberi kesaksian di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (12/6/2017) petang.
Selain Sudirno, pimpinan dinas Pendidikan Klaten juga dimintai keterangan, antara lain Pantoro, Kepala Dinas Pendidikan Klaten, dan Bambang Teguh Satya, Kepala bidang di Disdik Klaten, serta satu saksi rekanan.
Dalam keterangannya, dia menyebut, uang Rp 750 juta berasal dari dua rekanan. Pertama rekanan bernama Dandi Ivan yang diminta Rp 400 juta, lalu Sri Raharjo alias Jojon selaku Direktur CV Bintang Media Rp 350 juta. Dari keduanya, uang lalu diserahkan langsung ke Sri Hartini di rumah dinas bupati.
"Saat Ibu datang, kami ngobrol berdua, dan sudah disampaikan. "Bu sudah tak (saya) bawa. Uangnya masih di mobil," kata dia.

Usai berkata itu, dia lalu meminta sopirnya membawa sebuah tas bungkusan uang masuk ke dalam ruang rumah dinas. Uang itu lalu ditaruh di depan mereka berdua.
"Tas tempat bawa itu dibawa masuk di depan saya dan ibu. Itu tas (usai diserahkan) dibawa masuk saja (tidak dihitung). Kalau tidak salah itu namanya Hartanto," ucapnya.
Dalam percakapan di ruang malam itu, Sudirno mengaku hanya berbicara dengan Sri Hartini. Istri Sudirno juga diajak, namun tidak ikut berbicara berdua.
"Saya ajak istri saya. Istri saya tahu uang apa itu, terkait apa juga tahu," kata dia lagi.
Pungutan terhadap rekanan proyek sendiri karena dinas pendidikan melakukan penunjukan langsung atas CV milik Jojon untuk melakukan renovasi ruang kelas di seluruh gedung di Klaten.
Dalam keterangan lain, Pejabat Pembuat Komitmen itu juga mengaku menerima uang dari dua rekanan itu Rp 50 juta. Uang diberikan pada akhir tahun, atau sebagai uang ucapan terima kasih. Namun belakangan, uang Rp 50 juta disetor ke KPK. Jaksa KPK pun mencecar saksi soal motif pengembalian uang itu.
"Dalam catatan, Anda beberapa kali setor (uang) ke di KPK, kembalikan. Ada yang salah? Kalau merasa benar kan tidak perlu dikembalikan," kata dia.
Namun dia tetap bersikukuh mengembalikan uang itu.
"Saya disarankan kembalikan. Itu kan bukan uang saya," jawabnya.
Dalam perkara ini, Bupati Sri Hartini didakwa dengan pasal suap dan gratifikasi sebagaimana pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Saat ini, dia ditahan di Lapas Wanita Bulu Semarang.

Upeti Naik Pangkat Rp 25 Juta - Rp 125 Juta

Kasus jual beli jabatan yang melibatkan Bupati Klaten non aktif Sri Hartini digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Senin (5/6/2017).
Sebanyak 19 PNS memberi kesaksian bahwa mereka memberi uang puluhan juta rupiah untuk naik pangkat. Seperti yang disampaikan Sri Wardaya, staf di Sekretariat DPRD Klaten di persidangan.
Sri mengaku memberikan uang Rp 25 juta sebagai imbalan untuk menduduki kursi Kepala Sub Bagian (Kasubbag) Keuangan. Uang diserahkan kepada Bupati melalui ajudan bernama Nina Puspitasari.
"Uang untuk terdakwa. Dilakukan di bulan November, saya berikan di dalam mobil sama Nina (ajudan)," kata Sri dalam sidang di Tipikor Semarang, Senin sore.
Saksi lain, Bambang Tri Purwanto juga menyerahkan uang syukuran ke Bupati melalui ajudan. Uang yang diberikan mencapai Rp 125 juta. "Tapi oleh ajudan dikasihkan Rp 100 juta," kata dia.
Salah seorang saksi PNS di Dinas ESDM juga melalukan hal serupa. Dia menyetorkan uang Rp 100 juta untuk menduduki jabatan di Dinas Pekerjaan Umum.
"Ibu minta Rp 100 juta, lalu saya tawarnya Rp 70 juta. Tapi gak mau. Akhirnya ke ajudan Rp 100 juta saya serahkan. Diserahkan Rp 80 juta pada 19 November dan Rp 20 juta tanggal 20 November," kata saksi ini.
Namun, saksi ini tak jadi dilantik karena perombakan jabatan di Dinas Pekerjaan Umum sudah terisi orang lain. "Saya (sampai sekarang) tidak jadi dilantik, karena posisi di PU katanya sudah penuh. Akhinya untuk (modal) promosi jabatan berikutnya," tutur dia.
Saksi lainnya, Wiradi, yang telah menjadi Kasubbag umum di Kantor Kecamatan juga memberikan upeti ketika hendak mutasi jabatan. Dia mengajukan pindah menjadi Kasubbag umum di tingkat kabupaten.
"Minta naik jabatan di Kasubbag umum di Pemda. Saya berikan Rp 25 juta, dari yang diminta Rp 35 juta," tambahnya.
Sejumlah saksi lainnya juga dalam keterangan memberikan upeti yang beragam. Misalnya Widyawati yang memberi uang Rp 75 juta, serta staf di DPRD yang hendak menjadi Kasubbag memberi Rp 20 juta.
Nina Puspitasari, mantan ajudan Sri Hartini menjelaskan hal serupa. Ia menjadi tangan kanan Bupati Sri menampung uang syukuran dari para PNS di Klaten yang hendak naik pangkat. Nina dipercaya untuk mengurus semua pemberian-pemberian tersebut.
Sri Hartini dijerat pasal suap dan gratifikasi sebagaimana pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Saat ini dia ditahan di Lapas Wanita Bulu Semarang. (bin/kmpscom/tribunews/tempo/dtc)

View

Related

REGIONAL 843386715620241001

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item