Quo Vadis Pajak Bumi dan Bangunan ?
https://kabar22.blogspot.com/2017/07/quo-vadis-pajak-bumi-dan-bangunan.html
BLOKBERITA -- Bersamaan
dengan peringatan Hari Kelahiran Pancasila, ramai dibahas kepancasilaan
sikap dan perbuatan warga Indonesia pada umumnya, kebijakan pemerintah
pada khususnya. Ternyata yang benar-benar luput dari pembahasan tadi
adalah soal Pajak Bumi dan Bangunan. Ini sungguh mengherankan mengingat
Indonesia, yang berpretensi negeri Pancasilais memberlakukan PBB yang by
its very nature begitu liberal, anti-Pancasila. Sementara justru karena
itu negeri-negeri yang mengklaim dirinya liberal-non-Pancasilais enggan
menerapkannya. Untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang diemban
para penguasa negeri, baik di Timur maupun di Barat, perlu dana yang
dikutip dari rakyat. Maka ada ungkapan ”as sure as death and taxes”.
Walaupun begitu bukan berarti bahwa penentuan besar-kecilnya pajak
terutang boleh asal-asalan. Demi keadilan ia harus didasarkan pada asas
”kemampuan membayar” (the ability to pay) dari pembayar pajak di negeri
yang maunya demokratis, Pancasilais, serta perlu dibahas secara berkala
di parlemen (DPR, DPRD). Pembahasan yang diniscayakan ini tidak pernah
ada di Indonesia, padahal PBB merupakan satu sistem perpajakan yang
ultraliberal. Dengan kata lain, sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab) dan sila kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia)
dari Pancasila telah diabaikan begitu saja!
Penetapan Pajak
Semasa
jenis sumber penghasilan masih relatif terbatas, ada kebiasaan penguasa
negeri mewajibkan warganya, mulai usia tingkat tertentu, membayar pajak
pendapatan (income tax). Penetapan besaran pajak didasarkan pada
kapasitas produktif tanah (bumi) atau standar yang dianggap mencerminkan
kapasitas tersebut. Kapasitas ini pada gilirannya disimpulkan dari
tingkat kesuburan tanah; jarang sekali atas situasi dan letak tanah
(obyek pajak). Dahulu, di Eropa, rumah kediaman pernah juga menjadi
obyek pajak. Besarannya ditetapkan menurut keadaan yang ”menggelikan”,
yaitu ”jumlah jendela rumah”. Begitu rupa hingga tidak sedikit warga
yang alih-alih membuat jendela, membuat ”gambar jendela” di dinding
rumahnya; sungguh sinis! Kini PBB tidak lagi diterapkan di sana. Memang
ada sejenis pajak tanah (land tax), tetapi berfungsi lain: guna mencegah
penguasaan spekulatif tanah di sektor urban, ”absentee landlords”,
pembiaran tanah tidur (tidak difungsikan, menjadi semak belukar). Di
Indonesia, sebaliknya, PBB yang terang-terangan ultraliberal
kelihatannya semakin ”dipaksakan. Para camat dan kepala desa dari
Kabupaten Tasikmalaya ”dihukum berdiri” di depan banyak orang karena
belum melunasi PBB (Kompas, 8 Mei 2017). Sebagai ”pesakitan: mereka
dipaksa berdiri di depan dan ditonton oleh sekitar 400 kepala desa, para
koleganya, dari seluruh kabupaten. Dengan sengaja dan sadar mereka
dipermalukan. Apakah hukuman seperti itu Pancasilais?! Ini adalah
hukuman yang ”biasa” di zaman VOC (tanaman paksa, berodi pembuatan
jalan). Bahkan, di negeri-negeri yang beradab, yang terang-terangan
mengklaim dirinya liberal, tidak mau memberlakukan hukuman ”zaman
baheula” itu. PBB di Indonesia betul-betul berpembawaan destruktif. Ia
memaksa penghuni kota ”angkat kaki” dan pindah karena PBB besarannya
terus meningkat di bagian kota yang mereka huni. Mereka pindah karena
terpaksa berhubung rata-rata berupa orang pensiunan, bagai bunyi pepatah
”habis manis sepah dibuang”, termasuk keturunan mereka, para muda
belia, dan lain-lain. Jadi jelas bahwa PBB telah melanggar sekaligus dua
hal. Pertama, ketentuan prinsipiil dari pemungutan pajak, yaitu ”the
ability to pay”. Kedua, dua asas dari Pancasila, yaitu ”Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab” dan ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Kepergian mereka tidak membuat wilayah kota yang mereka tinggalkan
menjadi kosong dan lengang. Sebagai gantinya datang penghuni baru,
rata-rata orang berduit, yang mampu membayar PBB yang besarannya terus
meningkat dari tahun ke tahun. Kemampuan ini membuat mereka menjadi
”warga pilihan” yang dianggap pantas hidup di wilayah elite dari kota.
Maka terciptalah suatu kondisi yang absurb. Kota-kota yang Pancasilais
diubah menjadi wilayah permukiman yang ultraliberal oleh PBB, yaitu satu
sistem perpajakan yang seharusnya dihapus, hanya karena pertimbangan
penerimaan yang efektif dari kas negara. Padahal, negara seharusnya
berfungsi selaku pengayom rakyat par exellence, sesuai amanat Pancasila
yang saat kelahirannya dengan sadar dan sengaja dijadikan hari libur
nasional demi menghormatinya.
Dampak PBB
PBB
di Indonesia, jika dibiarkan sebagai unsur dari sistem perpajakan
nasional, bisa melumpuhkan lembaga pendidikan, kalaupun tidak
mematikannya. Sekolah-sekolah yang berhalaman luas semakin dibebani PBB.
Dengan kata lain, halaman sekolah yang luas dan nyaman kena sanksi.
Padahal, halaman sekolah bukan suatu kemewahan. Itu merupakan bagian
integrasi dari gedung sekolah, unsur konstitutif dari proses pendidikan.
Murid-murid bersosialisasi dan berkomunikasi di situ. Di halaman ini
mereka belajar bergaul, bertoleransi dan sambil bersantai belajar
mengakui kelebihan pelajar lain. Pembentukan karakter yang terpuji,
patriotisme, terjadi di halaman sekolah. Kenangan yang tak terlupakan
seumur hidup biasanya lebih banyak mengenai apa-apa yang dialami dalam
pergaulan di halaman sekolah ketimbang yang dijumpai di dalam kelas.
”England win the war at the yard of Eton”, demikian bunyi ungkapan
filsuf Ortega Y yang pernah bergema di UNESCO, lembaga PBB yang khusus
menangani urusan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Perang
Dunia I dan II bukan dimulai oleh Inggris, melainkan bangsa ini selalu
menyelesaikannya dengan kemenangan. Namun, patriotisme, keperwiraan, dan
nasionalisme yang menjiwai dan memandu upaya kemenangan itu sudah
dipupuk sejak di sekolah rendah dan menengah nasional (Eton), bukan baru
dimulai di Akademi Militer (Sandhusrt). Karena PBB sekolah terpaksa
menyisihkan dana yang sedianya bisa dipakai untuk membiayai
kesejahteraan guru, melengkapi peralatan laboratorium dan buku
perpustakaan, peralatan musik, ataupun pelaksanaan lain-lain kegiatan
yang bersifat extra schooling. Di negeri-negeri yang sudah maju,
lembaga-lembaga pendidikannya sama sekali tidak dibebani pajak, apalagi
yang sejenis dengan PBB. Begitu rupa hingga subsidi dari pemerintah dan,
bahkan, dari orangtua murid serta donatur dapat sepenuhnya dimanfaatkan
untuk menaikkan mutu pemelajaran dan pendidikan.
Berikan Fasilitas
Di
Amerika ada kebijakan pendidikan pemerintah yang pantas ditiru. Kalau
ada pihak swasta membangun sekolah dan langsung berbatasan dengan
sebidang tanah kosong, sekolah tersebut diizinkan memanfaatkannya untuk
kegiatan-kegiatan pendidikan, biasanya untuk berolah raga. Ini bukti
nyata dari adanya kesadaran tentang signifikan fungsional dari halaman
bagi persekolahan. Bukan dipajak, tetapi malah diberi fasilitas. Wahai
pemerintah, penguasa negeri, hapuslah PBB sekarang juga, here and now,
sebelum terlambat, sebelum akibat destruktifnya tidak terelakkan. Jangan
tunggu sampai nasi menjadi bubur. Ada dua cara untuk membuat suatu
negara-bangsa menjadi semakin lama semakin lumpuh. Pertama, dengan
melibatkannya dalam peperangan dan/atau konflik berkepanjangan. Kedua,
bila pendidikan anak-anak bangsa diabaikan. Kedua aksi tersebut sedang
terjadi di lingkungan NKRI. Secara formal Indonesia memang tidak
berperang tetapi secara faktual ia sudah dikacaukan oleh aneka disguised
proxy wars, berupa radikalisme antaragama, aksi teror bersendikan
fanatisme kepercayaan dan kesukuan, perang hibrida, cyber terrorism,
peredaran narkoba, penisbian moral kebangsaan, serta pencemaran
nilai-nilai kepancasilaan dan ke-Bhineka-Tunggal-Ika-an. Secara formal,
proses pendidikan memang tetap berjalan, tetapi secara faktual ia bagai
kerokot tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. Padahal, pendidikan
ini yang sangat menentukan masa depan kolektif kita. Wahai pemerintah,
to govern is to foresse. Pemerintah bukan (bertugas) memerintah, tetapi
menjadi sekaligus pelayan (servant) dan pembimbing (tutor) bagi rakyat.
Hal ini jelas merupakan pesan yang dikandung Pancasila, bukan PBB. (kompas)
Penulis : Prof. Dr. Daoed
Joesoef / Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne