Sumber dan Solusi Ketimpangan Sosial
https://kabar22.blogspot.com/2015/12/sumber-dan-solusi-ketimpangan-sosial.html
BLOKBERITA -- Bank Dunia pada 8 Desember lalu melansir laporan berjudul Indonesia's Rising Divide
yang memaparkan ketimpangan kesejahteraan di Indonesia semakin melebar
dan bergerak cepat. Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6 persen
per tahun setelah pulih dari krisis ekonomi 1998 dan turunnya angka
kemiskinan tak juga mendekatkan jarak antara si kaya dan si miskin.
Dalam 15 tahun
terakhir, koefisien gini yang menggambarkan ketimpangan meningkat tajam
dari angka 30 pada tahun 2000 menjadi 41 di saat sekarang. Dalam skala
nol sampai 100, angka nol berarti setara sepenuhnya dan angka 100
berarti timpang sepenuhnya. Angka tersebut sama dengan 0,30 (2000) dan
0,41 (2014) dalam skala 0 sampai 1.
Ketimpangan akan lebih mudah dibayangkan melalui perbandingan konsumsi dan kekayaan. Dari segi konsumsi, di tahun 2002, konsumsi 10 persen orang terkaya di Indonesia setara dengan total konsumsi 42 persen penduduk termiskin. Ketimpangan meningkat pada 2014 di mana konsumsi 10 persen orang terkaya menjadi setara dengan total konsumsi 54 persen penduduk termiskin.
Dari segi kekayaan, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77 persen kekayaan di negeri ini. Lebih kontras lagi, 1 persen orang terkaya tersebut menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. Sisa kekayaan yang 50 persen lagi diperebutkan oleh 99 persen penduduk alias 247,5 juta jiwa.
Konsentrasi kekayaan yang besar pada segelintir orang ini menempatkan Indonesia bersama Thailand pada urutan kedua tertinggi dari 38 negara yang diteliti. Urutan pertama ditempati oleh Rusia di mana 1 persen orang terkaya di sana menguasai 66,2 persen kekayaan di negara tersebut.
Konsentrasi kekayaan yang timpang ini menunjukkan pendapatan dari aset fisik dan finansial yang dimiliki oleh segelintir orang memberikan lebih banyak benefit dibandingkan pendapatan hanya dari upah yang dimiliki oleh banyak orang. Segelintir orang tersebut tentu saja hidupnya tidak lagi mengandalkan upah/gaji bulanan.
Dalam ilmu ekonomi, rumah tangga menerima pendapatan tidak semata dari upah lewat bekerja, tetapi juga dari aset fisik (properti) dan finansial (surat berharga) yang dikelolanya. Di masa sekarang, porsi pendapatan dari upah cenderung turun. Sementara porsi pendapatan dari kapital atau aset finansial dan properti terus meningkat. Hal ini terjadi di seluruh belahan dunia, bukan hanya di Indonesia. Perbedaan kepemilikan kapital dan upah ini ikut mendorong ketimpangan yang semakin melebar.
Ketimpangan itu pun disumbang oleh meningkatnya populasi kelas menengah, yang di Indonesia rata-rata bertambah 10 persen per tahun sejak 2002. Saat ini (2014), terdapat 45 juta orang yang merupakan kelas menengah Indonesia yang secara ekonomi sangat mapan dan menikmati hidup yang lebih berkualitas. Jumlah tersebut setara dengan 18 persen orang terkaya Indonesia dari total penduduk. Padahal, pada tahun 2002 jumlahnya baru sekitar 7 persen. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ditengarai telah menciptakan kelas ekonomi yang semakin kuat dibandingkan sebelumnya.
Penyebab Ketimpangan
Sebetulnya
apa yang membuat ketimpangan kesejahteraan semakin melebar? Pertanyaan
ini yang sering dijadikan dasar analisis untuk memahami kepentingan.
Penjelasannya pun beragam. Namun, jika dilihat dalam kerangka yang
sempit dengan materi sebagai ukuran, ketimpangan ekonomi/kesejahteraan
dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu aset, pendapatan, konsumsi, dan
investasi.
Keempat variabel ini saling berhubungan. Suatu rumah tangga memiliki sumber-sumber yang berbeda untuk mendapatkan materi (penghasilan). Ada yang memperoleh materi dengan bekerja dan mendapatkan upah. Ada yang memperoleh pendapatan dari mengelola aset finansial dan fisik (properti) yang dimiliki.
Dengan pendapatan yang dimiliki lalu bagaimana menggunakannya untuk konsumsi. Hal ini juga menentukan, apakah pendapatan habis semua atau masih bisa ditabung dan diinvestasikan di berbagai sektor untuk mengakumulasi kekayaan.
Namun, keempat variabel ini sangat rentan dipengaruhi oleh kondisi krisis (shocks). Pendapatan baik dari upah/gaji atau pengembangan aset bisa berkurang, bahkan hilang. Konsumsi bisa membengkak karena kenaikan harga-harga sehingga pendapatan tidak mencukupi. Tabungan atau investasi juga bisa terhenti.
Dalam kondisi krisis, kelompok yang ekonominya lebih mapan lebih bisa bertahan dan tetap mampu melihat peluang untuk mengakumulasi kekayaan. Sementara kelompok yang berada sedikit di atas garis kemiskinan bisa jatuh dan terperosok ke kelas yang lebih bawah.
Namun, ketimpangan dalam kerangka yang lebih luas tidak hanya berbicara dari segi materi. Bank Dunia setidaknya menyebutkan ada empat hal yang membuat ketimpangan semakin melebar di Indonesia. Pertama, ketidaksetaraan kesempatan dalam mendapatkan keterampilan dan pendidikan yang membuat seseorang bisa mendapatkan pekerjaan dengan upah/gaji yang baik.
Kedua, adanya kesenjangan upah antara pekerja terampil/profesional yang upah/gajinya terus meningkat dengan pekerja yang tidak dapat mengembangkan keterampilannya dan terperangkap dalam produktivitas rendah. Akibatnya, upah/gajinya selalu rendah.
Ketiga, tentu saja karena adanya segelintir orang yang diuntungkan dari penguasaan aset finansial yang besar yang biasanya terus berkembang sepanjang waktu. Jumlah ini pun kian membesar dan melahirkan generasi yang mapan sejak lahir sehingga kesenjangan tetap terjadi. Walaupun terkadang penguasaan dan akumulasi aset segelintir orang tersebut diduga didapat dan berkembang karena praktik korupsi.
Keempat, terjadinya krisis (shocks)
akan memperbesar ketimpangan karena memengaruhi kemampuan rumah tangga
dalam hal mempertahankan pendapatan, tabungan, dan berinvestasi terutama
untuk kesehatan dan pendidikan.
Upaya
untuk mengatasi ketimpangan kesejahteraan ini sudah banyak diwacanakan,
bahkan sejak dulu. Kunci utamanya adalah perbaikan kinerja pemerintah
baik pusat maupun daerah karena kesenjangan juga terjadi antardaerah.
Ada empat hal pula yang harus dilakukan untuk mengatasi ketimpangan. Pertama, akses terhadap pendidikan dan kesehatan harus diperbaiki dan diperluas karena ini faktor untuk memperbaiki kesejahteraan. Ia menjadi syarat untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak dan menuju kepemilikan aset yang lebih baik.
Kedua, menyediakan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan tenaga kerja agar tidak terjebak dalam produktivitas yang rendah. Hal ini bisa mengurangi kesenjangan upah/gaji.
Ketiga, menyediakan perlindungan atau pengamanan bagi masyarakat saat terjadinya krisis/guncangan. Bentuk bantuan langsung tunai (cash transfer) akan efektif asal penyalurannya tepat sasaran. Keempat, alokasi anggaran APBN yang fokus pada perbaikan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Untuk itu, perlu revolusi kinerja pemerintah agar masyarakat tidak terbelah antara yang berpunya (the haves) dengan yang tidak (the haves not), dan tidak terjadi konsentrasi kekayaan hanya pada 1 persen penduduk. Akan menjadi pemandangan yang ironis jika di saat sebagian anak-anak terlahir sehat dan memperoleh pendidikan yang bagus, tetapi sebagian lainnya (yang lebih besar) tidak.
[ bin / kmps ]
Ketimpangan akan lebih mudah dibayangkan melalui perbandingan konsumsi dan kekayaan. Dari segi konsumsi, di tahun 2002, konsumsi 10 persen orang terkaya di Indonesia setara dengan total konsumsi 42 persen penduduk termiskin. Ketimpangan meningkat pada 2014 di mana konsumsi 10 persen orang terkaya menjadi setara dengan total konsumsi 54 persen penduduk termiskin.
Dari segi kekayaan, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77 persen kekayaan di negeri ini. Lebih kontras lagi, 1 persen orang terkaya tersebut menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. Sisa kekayaan yang 50 persen lagi diperebutkan oleh 99 persen penduduk alias 247,5 juta jiwa.
Konsentrasi kekayaan yang besar pada segelintir orang ini menempatkan Indonesia bersama Thailand pada urutan kedua tertinggi dari 38 negara yang diteliti. Urutan pertama ditempati oleh Rusia di mana 1 persen orang terkaya di sana menguasai 66,2 persen kekayaan di negara tersebut.
Konsentrasi kekayaan yang timpang ini menunjukkan pendapatan dari aset fisik dan finansial yang dimiliki oleh segelintir orang memberikan lebih banyak benefit dibandingkan pendapatan hanya dari upah yang dimiliki oleh banyak orang. Segelintir orang tersebut tentu saja hidupnya tidak lagi mengandalkan upah/gaji bulanan.
Dalam ilmu ekonomi, rumah tangga menerima pendapatan tidak semata dari upah lewat bekerja, tetapi juga dari aset fisik (properti) dan finansial (surat berharga) yang dikelolanya. Di masa sekarang, porsi pendapatan dari upah cenderung turun. Sementara porsi pendapatan dari kapital atau aset finansial dan properti terus meningkat. Hal ini terjadi di seluruh belahan dunia, bukan hanya di Indonesia. Perbedaan kepemilikan kapital dan upah ini ikut mendorong ketimpangan yang semakin melebar.
Ketimpangan itu pun disumbang oleh meningkatnya populasi kelas menengah, yang di Indonesia rata-rata bertambah 10 persen per tahun sejak 2002. Saat ini (2014), terdapat 45 juta orang yang merupakan kelas menengah Indonesia yang secara ekonomi sangat mapan dan menikmati hidup yang lebih berkualitas. Jumlah tersebut setara dengan 18 persen orang terkaya Indonesia dari total penduduk. Padahal, pada tahun 2002 jumlahnya baru sekitar 7 persen. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ditengarai telah menciptakan kelas ekonomi yang semakin kuat dibandingkan sebelumnya.
Penyebab Ketimpangan
Keempat variabel ini saling berhubungan. Suatu rumah tangga memiliki sumber-sumber yang berbeda untuk mendapatkan materi (penghasilan). Ada yang memperoleh materi dengan bekerja dan mendapatkan upah. Ada yang memperoleh pendapatan dari mengelola aset finansial dan fisik (properti) yang dimiliki.
Dengan pendapatan yang dimiliki lalu bagaimana menggunakannya untuk konsumsi. Hal ini juga menentukan, apakah pendapatan habis semua atau masih bisa ditabung dan diinvestasikan di berbagai sektor untuk mengakumulasi kekayaan.
Namun, keempat variabel ini sangat rentan dipengaruhi oleh kondisi krisis (shocks). Pendapatan baik dari upah/gaji atau pengembangan aset bisa berkurang, bahkan hilang. Konsumsi bisa membengkak karena kenaikan harga-harga sehingga pendapatan tidak mencukupi. Tabungan atau investasi juga bisa terhenti.
Dalam kondisi krisis, kelompok yang ekonominya lebih mapan lebih bisa bertahan dan tetap mampu melihat peluang untuk mengakumulasi kekayaan. Sementara kelompok yang berada sedikit di atas garis kemiskinan bisa jatuh dan terperosok ke kelas yang lebih bawah.
Namun, ketimpangan dalam kerangka yang lebih luas tidak hanya berbicara dari segi materi. Bank Dunia setidaknya menyebutkan ada empat hal yang membuat ketimpangan semakin melebar di Indonesia. Pertama, ketidaksetaraan kesempatan dalam mendapatkan keterampilan dan pendidikan yang membuat seseorang bisa mendapatkan pekerjaan dengan upah/gaji yang baik.
Kedua, adanya kesenjangan upah antara pekerja terampil/profesional yang upah/gajinya terus meningkat dengan pekerja yang tidak dapat mengembangkan keterampilannya dan terperangkap dalam produktivitas rendah. Akibatnya, upah/gajinya selalu rendah.
Ketiga, tentu saja karena adanya segelintir orang yang diuntungkan dari penguasaan aset finansial yang besar yang biasanya terus berkembang sepanjang waktu. Jumlah ini pun kian membesar dan melahirkan generasi yang mapan sejak lahir sehingga kesenjangan tetap terjadi. Walaupun terkadang penguasaan dan akumulasi aset segelintir orang tersebut diduga didapat dan berkembang karena praktik korupsi.
Mengatasi Ketimpangan
Ada empat hal pula yang harus dilakukan untuk mengatasi ketimpangan. Pertama, akses terhadap pendidikan dan kesehatan harus diperbaiki dan diperluas karena ini faktor untuk memperbaiki kesejahteraan. Ia menjadi syarat untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak dan menuju kepemilikan aset yang lebih baik.
Kedua, menyediakan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan tenaga kerja agar tidak terjebak dalam produktivitas yang rendah. Hal ini bisa mengurangi kesenjangan upah/gaji.
Ketiga, menyediakan perlindungan atau pengamanan bagi masyarakat saat terjadinya krisis/guncangan. Bentuk bantuan langsung tunai (cash transfer) akan efektif asal penyalurannya tepat sasaran. Keempat, alokasi anggaran APBN yang fokus pada perbaikan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Untuk itu, perlu revolusi kinerja pemerintah agar masyarakat tidak terbelah antara yang berpunya (the haves) dengan yang tidak (the haves not), dan tidak terjadi konsentrasi kekayaan hanya pada 1 persen penduduk. Akan menjadi pemandangan yang ironis jika di saat sebagian anak-anak terlahir sehat dan memperoleh pendidikan yang bagus, tetapi sebagian lainnya (yang lebih besar) tidak.
[ bin / kmps ]