BLOKBERITA -- Bank Dunia pada 8 Desember lalu melansir laporan berjudul Indonesia's Rising Divide
yang memaparkan ketimpangan kesejahteraan di Indonesia semakin melebar
dan bergerak cepat. Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6 persen
per tahun setelah pulih dari krisis ekonomi 1998 dan turunnya angka
kemiskinan tak juga mendekatkan jarak antara si kaya dan si miskin.
Permukiman
kumuh di bantaran saluran Sunter dengan latar belakang pembangunan
hunian vertikal, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu. Pertumbuhan hunian
mewah dan apartemen yang berimpitan dengan permukiman padat dapat memicu
kesenjangan sosial. (litbang kompas)
Dalam 15 tahun
terakhir, koefisien gini yang menggambarkan ketimpangan meningkat tajam
dari angka 30 pada tahun 2000 menjadi 41 di saat sekarang. Dalam skala
nol sampai 100, angka nol berarti setara sepenuhnya dan angka 100
berarti timpang sepenuhnya. Angka tersebut sama dengan 0,30 (2000) dan
0,41 (2014) dalam skala 0 sampai 1.
Ketimpangan akan lebih mudah
dibayangkan melalui perbandingan konsumsi dan kekayaan. Dari segi
konsumsi, di tahun 2002, konsumsi 10 persen orang terkaya di Indonesia
setara dengan total konsumsi 42 persen penduduk termiskin. Ketimpangan
meningkat pada 2014 di mana konsumsi 10 persen orang terkaya menjadi
setara dengan total konsumsi 54 persen penduduk termiskin.
Dari
segi kekayaan, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77
persen kekayaan di negeri ini. Lebih kontras lagi, 1 persen orang
terkaya tersebut menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. Sisa
kekayaan yang 50 persen lagi diperebutkan oleh 99 persen penduduk alias
247,5 juta jiwa.
Konsentrasi kekayaan yang besar pada segelintir
orang ini menempatkan Indonesia bersama Thailand pada urutan kedua
tertinggi dari 38 negara yang diteliti. Urutan pertama ditempati oleh
Rusia di mana 1 persen orang terkaya di sana menguasai 66,2 persen
kekayaan di negara tersebut.
Konsentrasi kekayaan yang timpang
ini menunjukkan pendapatan dari aset fisik dan finansial yang dimiliki
oleh segelintir orang memberikan lebih banyak benefit
dibandingkan pendapatan hanya dari upah yang dimiliki oleh banyak orang.
Segelintir orang tersebut tentu saja hidupnya tidak lagi mengandalkan
upah/gaji bulanan.
Dalam ilmu ekonomi, rumah tangga menerima
pendapatan tidak semata dari upah lewat bekerja, tetapi juga dari aset
fisik (properti) dan finansial (surat berharga) yang dikelolanya. Di
masa sekarang, porsi pendapatan dari upah cenderung turun. Sementara
porsi pendapatan dari kapital atau aset finansial dan properti terus
meningkat. Hal ini terjadi di seluruh belahan dunia, bukan hanya di
Indonesia. Perbedaan kepemilikan kapital dan upah ini ikut mendorong
ketimpangan yang semakin melebar.
Ketimpangan itu pun disumbang
oleh meningkatnya populasi kelas menengah, yang di Indonesia rata-rata
bertambah 10 persen per tahun sejak 2002. Saat ini (2014), terdapat 45
juta orang yang merupakan kelas menengah Indonesia yang secara ekonomi
sangat mapan dan menikmati hidup yang lebih berkualitas. Jumlah
tersebut setara dengan 18 persen orang terkaya Indonesia dari total
penduduk. Padahal, pada tahun 2002 jumlahnya baru sekitar 7 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ditengarai telah menciptakan kelas
ekonomi yang semakin kuat dibandingkan sebelumnya.
Penyebab Ketimpangan
Sebetulnya
apa yang membuat ketimpangan kesejahteraan semakin melebar? Pertanyaan
ini yang sering dijadikan dasar analisis untuk memahami kepentingan.
Penjelasannya pun beragam. Namun, jika dilihat dalam kerangka yang
sempit dengan materi sebagai ukuran, ketimpangan ekonomi/kesejahteraan
dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu aset, pendapatan, konsumsi, dan
investasi.
Keempat variabel ini saling berhubungan. Suatu rumah
tangga memiliki sumber-sumber yang berbeda untuk mendapatkan materi
(penghasilan). Ada yang memperoleh materi dengan bekerja dan mendapatkan
upah. Ada yang memperoleh pendapatan dari mengelola aset finansial dan
fisik (properti) yang dimiliki.
Dengan pendapatan yang dimiliki
lalu bagaimana menggunakannya untuk konsumsi. Hal ini juga menentukan,
apakah pendapatan habis semua atau masih bisa ditabung dan
diinvestasikan di berbagai sektor untuk mengakumulasi kekayaan.
Namun, keempat variabel ini sangat rentan dipengaruhi oleh kondisi krisis (shocks).
Pendapatan baik dari upah/gaji atau pengembangan aset bisa berkurang,
bahkan hilang. Konsumsi bisa membengkak karena kenaikan harga-harga
sehingga pendapatan tidak mencukupi. Tabungan atau investasi juga bisa
terhenti.
Dalam kondisi krisis, kelompok yang ekonominya lebih
mapan lebih bisa bertahan dan tetap mampu melihat peluang untuk
mengakumulasi kekayaan. Sementara kelompok yang berada sedikit di atas
garis kemiskinan bisa jatuh dan terperosok ke kelas yang lebih bawah.
Namun,
ketimpangan dalam kerangka yang lebih luas tidak hanya berbicara dari
segi materi. Bank Dunia setidaknya menyebutkan ada empat hal yang
membuat ketimpangan semakin melebar di Indonesia. Pertama,
ketidaksetaraan kesempatan dalam mendapatkan keterampilan dan pendidikan
yang membuat seseorang bisa mendapatkan pekerjaan dengan upah/gaji yang
baik.
Kedua, adanya kesenjangan upah antara pekerja
terampil/profesional yang upah/gajinya terus meningkat dengan pekerja
yang tidak dapat mengembangkan keterampilannya dan terperangkap dalam
produktivitas rendah. Akibatnya, upah/gajinya selalu rendah.
Ketiga,
tentu saja karena adanya segelintir orang yang diuntungkan dari
penguasaan aset finansial yang besar yang biasanya terus berkembang
sepanjang waktu. Jumlah ini pun kian membesar dan melahirkan generasi
yang mapan sejak lahir sehingga kesenjangan tetap terjadi. Walaupun
terkadang penguasaan dan akumulasi aset segelintir orang tersebut diduga
didapat dan berkembang karena praktik korupsi.
Hunian warga beragam mulai yang berimpitan, rumah besar, hingga apartemen di Cawang, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu. (kompas/litbang)
Keempat, terjadinya krisis (shocks)
akan memperbesar ketimpangan karena memengaruhi kemampuan rumah tangga
dalam hal mempertahankan pendapatan, tabungan, dan berinvestasi terutama
untuk kesehatan dan pendidikan.
Mengatasi Ketimpangan
Upaya
untuk mengatasi ketimpangan kesejahteraan ini sudah banyak diwacanakan,
bahkan sejak dulu. Kunci utamanya adalah perbaikan kinerja pemerintah
baik pusat maupun daerah karena kesenjangan juga terjadi antardaerah.
Ada
empat hal pula yang harus dilakukan untuk mengatasi ketimpangan.
Pertama, akses terhadap pendidikan dan kesehatan harus diperbaiki dan
diperluas karena ini faktor untuk memperbaiki kesejahteraan. Ia menjadi
syarat untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak dan menuju
kepemilikan aset yang lebih baik.
Kedua, menyediakan pelatihan
untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan tenaga kerja agar tidak
terjebak dalam produktivitas yang rendah. Hal ini bisa mengurangi
kesenjangan upah/gaji.
Ketiga, menyediakan perlindungan atau
pengamanan bagi masyarakat saat terjadinya krisis/guncangan. Bentuk
bantuan langsung tunai (cash transfer) akan efektif asal
penyalurannya tepat sasaran. Keempat, alokasi anggaran APBN yang fokus
pada perbaikan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Untuk itu, perlu revolusi kinerja pemerintah agar masyarakat tidak terbelah antara yang berpunya (the haves) dengan yang tidak (the haves not),
dan tidak terjadi konsentrasi kekayaan hanya pada 1 persen penduduk.
Akan menjadi pemandangan yang ironis jika di saat sebagian anak-anak
terlahir sehat dan memperoleh pendidikan yang bagus, tetapi sebagian
lainnya (yang lebih besar) tidak.