Sekolah Kehidupan

https://kabar22.blogspot.com/2015/07/sekolah-kehidupan.html
BLOKBERITA -- Jelang pertengahan November 1998, di tengah hiruk-pikuk semboyan "Reformasi Total" di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, saya dipanggil Presiden Abdurrahman Wahid di suatu kediaman di Jalan Irian, Jakarta Pusat. Kami membahas lingkup dan materi kurikulum sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Karena kami yakin materi dan cara pengajaran cepat atau lambat harus diubah, Gus Dur-sapaan akrab Abdurrahman Wahid-mengingatkan agar reformasi pendidikan di telaah secara cermat karena perubahan sistem pendidikan perlu waktu. Minimal 1-2 tahun untuk menyusun konsep, 2-3 tahun memasyarakatkan, dan setelah lima tahun mulai dilaksanakan pada setiap jenjang pendidikan. Saya paham tentang hal ini meski merasakan betapa sulit memasyarakatkan reformasi yang didorong para tokoh politik yang mendesak agar reformasi dimulai "sekarang juga". Apalagi reformasi yang mendesak merombak kurikulum, mulai dari perubahan "Bahasa Orde Baru" ke arah "Bahasa Orde Reformasi".
Saya teringat pada pemeo "ganti menteri" dan "ganti kurikulum" pada tahun 1960-an dan 1970-an. Dari zaman Menteri Pendidikan dan Pengajaran Priyono sampai Mendikbud Nugroho Notosusanto, Saya pikir sekarang saya bakal kena batunya. Setelah belajar di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia Bagian Publisistik (sekarang Departemen Ilmu Komunikasi Massa FISIP), saya mulai berhadapan dengan orang pintar, para ahli dari berbagai institut keguruan dan ilmu pendidikan seluruh Indonesia yang ingin menyumbang pikiran tentang apa lingkup dan isi kurikulum yang "baik dan benar". Beruntung saya dibantu Dr Satryo Soemantri Brodjonegoro ( Direktur Pembinaan Sarana Akademik) dan Dr Anhar Gonggong (Direktur Nilai Sejarah dan Tradisional) di Depdikbud. Saya dikawal Letnan Jenderal Sofian Effendi, Sekjen Depdikbud yang kebetulan bos saya di Lemhannas 1996-1998. Saya pikir, karena saya dibantu teknolog asal Jawa (yang ayahnya, Prof Soemantri Brodjonegoro, pernah menjadi Rektor UI), oleh sejarawan Bugis-Makassar, dan oleh prajurit Kopassus asal Bireuen, Aceh.
Agak lengkaplah, saya dibantu orang yang melambangkan rakyat yang mewakili sebagian besar Indonesia barat dan timur. Gus Dur berseloroh, "Mas Ju jadi apanya ' Mafia Berkeley'?" Julukan Mafia Berkeley disandangkan kepada sebagian tokoh ekonomi dan administrasi publik yang langsung atau tidak langsung membantu Prof Widjojo Nitisastro selama 20 tahun lebih (1966-2000). "Saya hanya kroco bidang politik internasional, Gus, pernah belajar dengan beberapa teman dosen asal Aceh sampai ujung timur di Manado dan Kupang." "Wah, politik. Kalau begitu Mas Ju jadi tukang tembak (hit-man)," kata Gus Dur, mengingatkan saya pada film The Untouchables yang diperankan Kevin Costner, Sean Connery, dan Robert De Niro sebagai Al Capone, tokoh mafia Chicago tahun 1929-1930. "Begini," kata Dur, "Saya ini ditanyaintentang itu lho, sekolah ruko yang menjamur di mana- mana, termasuk di daerah saya di Ciganjur. Itu namanya sekolah- sekolahan, enggak jelas alamatnya, enggak jelas izinnya. Itu namanya sekolah enggak keruan." "Saya ingat kata-kata Satryo Soemantri Brodjonegoro, kira-kira ada 747 perguruan tinggi swasta di daerah Jabotabek," kata saya ke Gus Dur. Ia yang langsung berseloroh: "747? Angka dari mana tuh, kok mirip banget dengan pesawat Boeing 747?" "Tahu enggak Mas," sambung Gus Dur, "saya ini sudah lama mimpin UCLA, University Ciganjur Lenteng Agung, enggak kalah terkenal dengan sekolah UC Berkeley atau UC Los Angeles. Saya drop out dari Universitas Baghdad dan cuma mahasiswa pendengar di Al-Azhar, Kairo. Tetapi, saya mahasiswa Sekolah Kehidupan, saya melihat-lihat mengalami kehidupan nyata di lapangan." Saya mengangguk diam dan berkata dalam hati, Gus Dur memang sarjana yang sujana, simple dan rendah hati. Orang Jawa bilang dia itu tidak gumunan, tidak mudah kagetan, tidak mentang-mentang. Gelar apa pun, akademik, adat, gelar keagamaan, tidak ada artinya kalau dia tidak menghargai dirinya sendiri dengan berkaca pada pahit getirnya tantangan hidup sehari-hari.
Saya teringat ucapan Bung Karno pada awal 1960-an ketika membuka Hari Sarjana UI di Kampus Salemba 4, Jakarta Pusat. Mengutip pidato Bung Karno ketika memperkenalkan pemimpin Vietnam Ho Chi Minh, saya berkata dalam hati, "Paman Ho tak tamat sekolah tinggi, tetapi berhasil mengocar-ngacirkan pemerintah kolonial Perancis sehingga tahun 1954 Perancis takluk di Dien Bien Phu dan mundur dari Indo-China. Gus Dur adalah sosok genius yang tak perlu mengejar gelar akademik, apalagi dari sekolahan pojok jalan atau ruko murahan yang bertebaran di mana-mana.
Tetapi, Gur Dur seperti juga Ho Chi Minh yang pernah magang sebagai koki di hotel di Place Vendome, Paris, adalah orang yang percaya diri pada garis tangan. Siapa tahu yang mengelola ruko sekolah-sekolahan itu berhasil karena ada tangan Tuhan yang membantunya keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Siapa tahu ijazah palsu yang dipersoalkan itu kelak membantu orang menjadi otodidak, yang karena rasa percaya dirinya besar sehingga tak memerlukan gelar: sah atau tidak! Atau, seperti kata Gus Dur, "Enggak usah repot-repot nertibkan (sekolah di) ruko-ruko itu. Lama-lama capai juga mereka ngurusin ijazah dengan segala tetek bengek cap, laminating dan figura." Benar juga. Butuh tenaga dan biaya sangat banyak untuk menertibkan sekolah tak keruan itu. Biarkan sekolah tadi layu tak berkembang. Biarkan orang mencari rezeki atau rugi sendiri kalau tidak ada peminat yang memercayai iklan yang dipasang di mana-mana dengan biaya semurah atau semahal apa pun. Biarkan ijazah palsu diedarkan sampai orang kapok. Sekolah Kehidupan hanya perlu pelita hidup dalam hati kita masing-masing. Itulah ijazah yang sebenarnya kita selalu mencari, dari pengalaman hidup Ho Chi Minh, Gus Dur, dan ratusan tokoh tak bergelar akademik di seluruh pelosok Indonesia.
[ Prof. Juwono Sudarsono / Mantan Mendikbud era Gusdur ]
Saya teringat pada pemeo "ganti menteri" dan "ganti kurikulum" pada tahun 1960-an dan 1970-an. Dari zaman Menteri Pendidikan dan Pengajaran Priyono sampai Mendikbud Nugroho Notosusanto, Saya pikir sekarang saya bakal kena batunya. Setelah belajar di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia Bagian Publisistik (sekarang Departemen Ilmu Komunikasi Massa FISIP), saya mulai berhadapan dengan orang pintar, para ahli dari berbagai institut keguruan dan ilmu pendidikan seluruh Indonesia yang ingin menyumbang pikiran tentang apa lingkup dan isi kurikulum yang "baik dan benar". Beruntung saya dibantu Dr Satryo Soemantri Brodjonegoro ( Direktur Pembinaan Sarana Akademik) dan Dr Anhar Gonggong (Direktur Nilai Sejarah dan Tradisional) di Depdikbud. Saya dikawal Letnan Jenderal Sofian Effendi, Sekjen Depdikbud yang kebetulan bos saya di Lemhannas 1996-1998. Saya pikir, karena saya dibantu teknolog asal Jawa (yang ayahnya, Prof Soemantri Brodjonegoro, pernah menjadi Rektor UI), oleh sejarawan Bugis-Makassar, dan oleh prajurit Kopassus asal Bireuen, Aceh.
Agak lengkaplah, saya dibantu orang yang melambangkan rakyat yang mewakili sebagian besar Indonesia barat dan timur. Gus Dur berseloroh, "Mas Ju jadi apanya ' Mafia Berkeley'?" Julukan Mafia Berkeley disandangkan kepada sebagian tokoh ekonomi dan administrasi publik yang langsung atau tidak langsung membantu Prof Widjojo Nitisastro selama 20 tahun lebih (1966-2000). "Saya hanya kroco bidang politik internasional, Gus, pernah belajar dengan beberapa teman dosen asal Aceh sampai ujung timur di Manado dan Kupang." "Wah, politik. Kalau begitu Mas Ju jadi tukang tembak (hit-man)," kata Gus Dur, mengingatkan saya pada film The Untouchables yang diperankan Kevin Costner, Sean Connery, dan Robert De Niro sebagai Al Capone, tokoh mafia Chicago tahun 1929-1930. "Begini," kata Dur, "Saya ini ditanyaintentang itu lho, sekolah ruko yang menjamur di mana- mana, termasuk di daerah saya di Ciganjur. Itu namanya sekolah- sekolahan, enggak jelas alamatnya, enggak jelas izinnya. Itu namanya sekolah enggak keruan." "Saya ingat kata-kata Satryo Soemantri Brodjonegoro, kira-kira ada 747 perguruan tinggi swasta di daerah Jabotabek," kata saya ke Gus Dur. Ia yang langsung berseloroh: "747? Angka dari mana tuh, kok mirip banget dengan pesawat Boeing 747?" "Tahu enggak Mas," sambung Gus Dur, "saya ini sudah lama mimpin UCLA, University Ciganjur Lenteng Agung, enggak kalah terkenal dengan sekolah UC Berkeley atau UC Los Angeles. Saya drop out dari Universitas Baghdad dan cuma mahasiswa pendengar di Al-Azhar, Kairo. Tetapi, saya mahasiswa Sekolah Kehidupan, saya melihat-lihat mengalami kehidupan nyata di lapangan." Saya mengangguk diam dan berkata dalam hati, Gus Dur memang sarjana yang sujana, simple dan rendah hati. Orang Jawa bilang dia itu tidak gumunan, tidak mudah kagetan, tidak mentang-mentang. Gelar apa pun, akademik, adat, gelar keagamaan, tidak ada artinya kalau dia tidak menghargai dirinya sendiri dengan berkaca pada pahit getirnya tantangan hidup sehari-hari.
Saya teringat ucapan Bung Karno pada awal 1960-an ketika membuka Hari Sarjana UI di Kampus Salemba 4, Jakarta Pusat. Mengutip pidato Bung Karno ketika memperkenalkan pemimpin Vietnam Ho Chi Minh, saya berkata dalam hati, "Paman Ho tak tamat sekolah tinggi, tetapi berhasil mengocar-ngacirkan pemerintah kolonial Perancis sehingga tahun 1954 Perancis takluk di Dien Bien Phu dan mundur dari Indo-China. Gus Dur adalah sosok genius yang tak perlu mengejar gelar akademik, apalagi dari sekolahan pojok jalan atau ruko murahan yang bertebaran di mana-mana.
Tetapi, Gur Dur seperti juga Ho Chi Minh yang pernah magang sebagai koki di hotel di Place Vendome, Paris, adalah orang yang percaya diri pada garis tangan. Siapa tahu yang mengelola ruko sekolah-sekolahan itu berhasil karena ada tangan Tuhan yang membantunya keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Siapa tahu ijazah palsu yang dipersoalkan itu kelak membantu orang menjadi otodidak, yang karena rasa percaya dirinya besar sehingga tak memerlukan gelar: sah atau tidak! Atau, seperti kata Gus Dur, "Enggak usah repot-repot nertibkan (sekolah di) ruko-ruko itu. Lama-lama capai juga mereka ngurusin ijazah dengan segala tetek bengek cap, laminating dan figura." Benar juga. Butuh tenaga dan biaya sangat banyak untuk menertibkan sekolah tak keruan itu. Biarkan sekolah tadi layu tak berkembang. Biarkan orang mencari rezeki atau rugi sendiri kalau tidak ada peminat yang memercayai iklan yang dipasang di mana-mana dengan biaya semurah atau semahal apa pun. Biarkan ijazah palsu diedarkan sampai orang kapok. Sekolah Kehidupan hanya perlu pelita hidup dalam hati kita masing-masing. Itulah ijazah yang sebenarnya kita selalu mencari, dari pengalaman hidup Ho Chi Minh, Gus Dur, dan ratusan tokoh tak bergelar akademik di seluruh pelosok Indonesia.
[ Prof. Juwono Sudarsono / Mantan Mendikbud era Gusdur ]
Jelang pertengahan
November 1998, di tengah hiruk-pikuk semboyan "Reformasi Total" di
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, saya dipanggil Presiden
Abdurrahman Wahid di suatu kediaman di Jalan Irian, Jakarta Pusat.
Kami membahas lingkup dan materi kurikulum sekolah dasar sampai dengan
perguruan tinggi. Karena kami yakin materi dan cara pengajaran cepat
atau lambat harus diubah, Gus Dur-sapaan akrab Abdurrahman
Wahid-mengingatkan agar reformasi pendidikan di telaah secara cermat
karena perubahan sistem pendidikan perlu waktu. Minimal 1-2 tahun untuk
menyusun konsep, 2-3 tahun memasyarakatkan, dan setelah lima tahun
mulai dilaksanakan pada setiap jenjang pendidikan. Saya paham tentang
hal ini meski merasakan betapa sulit memasyarakatkan reformasi yang
didorong para tokoh politik yang mendesak agar reformasi dimulai
"sekarang juga".
Apalagi reformasi yang mendesak merombak kurikulum, mulai dari
perubahan "Bahasa Orde Baru" ke arah "Bahasa Orde Reformasi". Saya
teringat pada pemeo "ganti menteri" dan "ganti kurikulum" pada tahun
1960-an dan 1970-an. Dari zaman Menteri Pendidikan dan Pengajaran
Priyono sampai Mendikbud Nugroho Notosusanto,
Saya pikir sekarang saya bakal kena batunya. Setelah belajar di
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia Bagian
Publisistik (sekarang Departemen Ilmu Komunikasi Massa FISIP), saya
mulai berhadapan dengan orang pintar, para ahli dari berbagai institut
keguruan dan ilmu pendidikan seluruh Indonesia yang ingin menyumbang
pikiran tentang apa lingkup dan isi kurikulum yang "baik dan benar".
Beruntung saya dibantu Dr Satryo Soemantri Brodjonegoro ( Direktur
Pembinaan Sarana Akademik) dan Dr Anhar Gonggong (Direktur Nilai
Sejarah dan Tradisional) di Depdikbud. Saya dikawal Letnan Jenderal
Sofian Effendi, Sekjen Depdikbud yang kebetulan bos saya di Lemhannas
1996-1998. Saya pikir, karena saya dibantu teknolog asal Jawa (yang
ayahnya, Prof Soemantri Brodjonegoro, pernah menjadi Rektor UI), oleh
sejarawan Bugis-Makassar, dan oleh prajurit Kopassus asal Bireuen,
Aceh. Agak lengkaplah, saya dibantu orang yang melambangkan rakyat
yang mewakili sebagian besar Indonesia barat dan timur.
Gus Dur berseloroh, "Mas Ju jadi apanya ' Mafia Berkeley'?" Julukan
Mafia Berkeley disandangkan kepada sebagian tokoh ekonomi dan
administrasi publik yang langsung atau tidak langsung membantu Prof
Widjojo Nitisastro selama 20 tahun lebih (1966-2000).
"Saya hanya kroco bidang politik internasional, Gus, pernah belajar
dengan beberapa teman dosen asal Aceh sampai ujung timur di Manado dan
Kupang."
"Wah, politik. Kalau begitu Mas Ju jadi tukang tembak (hit-man)," kata
Gus Dur, mengingatkan saya pada film The Untouchables yang diperankan
Kevin Costner, Sean Connery, dan Robert De Niro sebagai Al Capone,
tokoh mafia Chicago tahun 1929-1930.
"Begini," kata Dur, "Saya ini ditanyaintentang itu lho, sekolah ruko
yang menjamur di mana- mana, termasuk di daerah saya di Ciganjur. Itu
namanya sekolah- sekolahan, enggak jelas alamatnya, enggak jelas
izinnya. Itu namanya sekolah enggak keruan."
"Saya ingat kata-kata Satryo Soemantri Brodjonegoro, kira-kira ada 747
perguruan tinggi swasta di daerah Jabotabek," kata saya ke Gus Dur. Ia
yang langsung berseloroh: "747? Angka dari mana tuh, kok mirip banget
dengan pesawat Boeing 747?"
"Tahu enggak Mas," sambung Gus Dur, "saya ini sudah lama mimpin UCLA,
University Ciganjur Lenteng Agung, enggak kalah terkenal dengan sekolah
UC Berkeley atau UC Los Angeles. Saya drop out dari Universitas Baghdad
dan cuma mahasiswa pendengar di Al-Azhar, Kairo. Tetapi, saya mahasiswa
Sekolah Kehidupan, saya melihat-lihat mengalami kehidupan nyata di
lapangan."
Saya mengangguk diam dan berkata dalam hati, Gus Dur memang sarjana yang
sujana, simple dan rendah hati. Orang Jawa bilang dia itu tidak
gumunan, tidak mudah kagetan, tidak mentang-mentang. Gelar apa pun,
akademik, adat, gelar keagamaan, tidak ada artinya kalau dia tidak
menghargai dirinya sendiri dengan berkaca pada pahit getirnya tantangan
hidup sehari-hari.
Saya teringat ucapan Bung Karno pada awal 1960-an ketika membuka Hari
Sarjana UI di Kampus Salemba 4, Jakarta Pusat.
Mengutip pidato Bung Karno ketika memperkenalkan pemimpin Vietnam Ho
Chi Minh, saya berkata dalam hati, "Paman Ho tak tamat sekolah tinggi,
tetapi berhasil mengocar-ngacirkan pemerintah kolonial Perancis sehingga
tahun 1954 Perancis takluk di Dien Bien Phu dan mundur dari
Indo-China.
Gus Dur adalah sosok genius yang tak perlu mengejar gelar akademik,
apalagi dari sekolahan pojok jalan atau ruko murahan y ang bertebaran di
mana-mana. Tetapi, Gur Dur seperti juga Ho Chi Minh yang pernah
magang sebagai koki di hotel di Place Vendome, Paris, adalah orang
yang percaya diri pada garis tangan. Siapa tahu yang mengelola ruko
sekolah-sekolahan itu berhasil karena ada tangan Tuhan yang membantunya
keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Siapa tahu ijazah palsu yang
dipersoalkan itu kelak membantu orang menjadi otodidak, yang karena rasa
percaya dirinya besar sehingga tak memerlukan gelar: sah atau tidak!
Atau, seperti kata Gus Dur, "Enggak usah repot-repot nertibkan (sekolah
di) ruko-ruko itu. Lama-lama capai juga mereka ngurusin ijazah dengan
segala tetek bengek cap, laminating dan figura."
Benar juga. Butuh tenaga dan biaya sangat banyak untuk menertibkan
sekolah tak keruan itu. Biarkan sekolah tadi layu tak berkembang.
Biarkan orang mencari rezeki atau rugi sendiri kalau tidak ada peminat
yang memercayai iklan yang dipasang di mana-mana dengan biaya semurah
atau semahal apa pun. Biarkan ijazah palsu diedarkan sampai orang kapok.
Sekolah Kehidupan hanya perlu pelita hidup dalam hati kita
masing-masing. Itulah ijazah yang sebenarnya kita selalu mencari, dari
pengalaman hidup Ho Chi Minh, Gus Dur, dan ratusan tokoh tak bergelar
akademik di seluruh pelosok Indonesia.
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Jelang pertengahan
November 1998, di tengah hiruk-pikuk semboyan "Reformasi Total" di
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, saya dipanggil Presiden
Abdurrahman Wahid di suatu kediaman di Jalan Irian, Jakarta Pusat.
Kami membahas lingkup dan materi kurikulum sekolah dasar sampai dengan
perguruan tinggi. Karena kami yakin materi dan cara pengajaran cepat
atau lambat harus diubah, Gus Dur-sapaan akrab Abdurrahman
Wahid-mengingatkan agar reformasi pendidikan di telaah secara cermat
karena perubahan sistem pendidikan perlu waktu. Minimal 1-2 tahun untuk
menyusun konsep, 2-3 tahun memasyarakatkan, dan setelah lima tahun
mulai dilaksanakan pada setiap jenjang pendidikan. Saya paham tentang
hal ini meski merasakan betapa sulit memasyarakatkan reformasi yang
didorong para tokoh politik yang mendesak agar reformasi dimulai
"sekarang juga".
Apalagi reformasi yang mendesak merombak kurikulum, mulai dari
perubahan "Bahasa Orde Baru" ke arah "Bahasa Orde Reformasi". Saya
teringat pada pemeo "ganti menteri" dan "ganti kurikulum" pada tahun
1960-an dan 1970-an. Dari zaman Menteri Pendidikan dan Pengajaran
Priyono sampai Mendikbud Nugroho Notosusanto,
Saya pikir sekarang saya bakal kena batunya. Setelah belajar di
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia Bagian
Publisistik (sekarang Departemen Ilmu Komunikasi Massa FISIP), saya
mulai berhadapan dengan orang pintar, para ahli dari berbagai institut
keguruan dan ilmu pendidikan seluruh Indonesia yang ingin menyumbang
pikiran tentang apa lingkup dan isi kurikulum yang "baik dan benar".
Beruntung saya dibantu Dr Satryo Soemantri Brodjonegoro ( Direktur
Pembinaan Sarana Akademik) dan Dr Anhar Gonggong (Direktur Nilai
Sejarah dan Tradisional) di Depdikbud. Saya dikawal Letnan Jenderal
Sofian Effendi, Sekjen Depdikbud yang kebetulan bos saya di Lemhannas
1996-1998. Saya pikir, karena saya dibantu teknolog asal Jawa (yang
ayahnya, Prof Soemantri Brodjonegoro, pernah menjadi Rektor UI), oleh
sejarawan Bugis-Makassar, dan oleh prajurit Kopassus asal Bireuen,
Aceh. Agak lengkaplah, saya dibantu orang yang melambangkan rakyat
yang mewakili sebagian besar Indonesia barat dan timur.
Gus Dur berseloroh, "Mas Ju jadi apanya ' Mafia Berkeley'?" Julukan
Mafia Berkeley disandangkan kepada sebagian tokoh ekonomi dan
administrasi publik yang langsung atau tidak langsung membantu Prof
Widjojo Nitisastro selama 20 tahun lebih (1966-2000).
"Saya hanya kroco bidang politik internasional, Gus, pernah belajar
dengan beberapa teman dosen asal Aceh sampai ujung timur di Manado dan
Kupang."
"Wah, politik. Kalau begitu Mas Ju jadi tukang tembak (hit-man)," kata
Gus Dur, mengingatkan saya pada film The Untouchables yang diperankan
Kevin Costner, Sean Connery, dan Robert De Niro sebagai Al Capone,
tokoh mafia Chicago tahun 1929-1930.
"Begini," kata Dur, "Saya ini ditanyaintentang itu lho, sekolah ruko
yang menjamur di mana- mana, termasuk di daerah saya di Ciganjur. Itu
namanya sekolah- sekolahan, enggak jelas alamatnya, enggak jelas
izinnya. Itu namanya sekolah enggak keruan."
"Saya ingat kata-kata Satryo Soemantri Brodjonegoro, kira-kira ada 747
perguruan tinggi swasta di daerah Jabotabek," kata saya ke Gus Dur. Ia
yang langsung berseloroh: "747? Angka dari mana tuh, kok mirip banget
dengan pesawat Boeing 747?"
"Tahu enggak Mas," sambung Gus Dur, "saya ini sudah lama mimpin UCLA,
University Ciganjur Lenteng Agung, enggak kalah terkenal dengan sekolah
UC Berkeley atau UC Los Angeles. Saya drop out dari Universitas Baghdad
dan cuma mahasiswa pendengar di Al-Azhar, Kairo. Tetapi, saya mahasiswa
Sekolah Kehidupan, saya melihat-lihat mengalami kehidupan nyata di
lapangan."
Saya mengangguk diam dan berkata dalam hati, Gus Dur memang sarjana yang
sujana, simple dan rendah hati. Orang Jawa bilang dia itu tidak
gumunan, tidak mudah kagetan, tidak mentang-mentang. Gelar apa pun,
akademik, adat, gelar keagamaan, tidak ada artinya kalau dia tidak
menghargai dirinya sendiri dengan berkaca pada pahit getirnya tantangan
hidup sehari-hari.
Saya teringat ucapan Bung Karno pada awal 1960-an ketika membuka Hari
Sarjana UI di Kampus Salemba 4, Jakarta Pusat.
Mengutip pidato Bung Karno ketika memperkenalkan pemimpin Vietnam Ho
Chi Minh, saya berkata dalam hati, "Paman Ho tak tamat sekolah tinggi,
tetapi berhasil mengocar-ngacirkan pemerintah kolonial Perancis sehingga
tahun 1954 Perancis takluk di Dien Bien Phu dan mundur dari
Indo-China.
Gus Dur adalah sosok genius yang tak perlu mengejar gelar akademik,
apalagi dari sekolahan pojok jalan atau ruko murahan y ang bertebaran di
mana-mana. Tetapi, Gur Dur seperti juga Ho Chi Minh yang pernah
magang sebagai koki di hotel di Place Vendome, Paris, adalah orang
yang percaya diri pada garis tangan. Siapa tahu yang mengelola ruko
sekolah-sekolahan itu berhasil karena ada tangan Tuhan yang membantunya
keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Siapa tahu ijazah palsu yang
dipersoalkan itu kelak membantu orang menjadi otodidak, yang karena rasa
percaya dirinya besar sehingga tak memerlukan gelar: sah atau tidak!
Atau, seperti kata Gus Dur, "Enggak usah repot-repot nertibkan (sekolah
di) ruko-ruko itu. Lama-lama capai juga mereka ngurusin ijazah dengan
segala tetek bengek cap, laminating dan figura."
Benar juga. Butuh tenaga dan biaya sangat banyak untuk menertibkan
sekolah tak keruan itu. Biarkan sekolah tadi layu tak berkembang.
Biarkan orang mencari rezeki atau rugi sendiri kalau tidak ada peminat
yang memercayai iklan yang dipasang di mana-mana dengan biaya semurah
atau semahal apa pun. Biarkan ijazah palsu diedarkan sampai orang kapok.
Sekolah Kehidupan hanya perlu pelita hidup dalam hati kita
masing-masing. Itulah ijazah yang sebenarnya kita selalu mencari, dari
pengalaman hidup Ho Chi Minh, Gus Dur, dan ratusan tokoh tak bergelar
akademik di seluruh pelosok Indonesia.
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ