Inilah Dasar Pertimbangan MUI Mengapa BPJS Kesehatan Dinilai Tak Sesuai Syariah


JAKARTA, BLOKBERITA — Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan tinjauan mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam keputusan yang dihasilkan forum pertemuan atau ijtima Komisi Fatwa MUI di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, pada Juni 2015.

Dalam ijtima itu, Komisi Fatwa MUI menyebut bahwa iuran dalam transaksi yang dilakukan BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan ketentuan syariah. Lalu, apa yang menjadi dasar pertimbangannya ?

Ketua Bidang Fatwa MUI Ma'ruf Amin menjelaskan, yang menjadi persoalan bukanlah subsidi silang yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan, melainkan sistem pengelolaan dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Menurut Ma'ruf, masyarakat tidak tahu uangnya diinvestasikan kemana.

Dalam transaksi syariah, tidak boleh menimbulkan maisir dan gharar. Maisir adalah memperoleh keuntungan tanpa bekerja, yang biasanya disertai unsur pertaruhan atau spekulasi, sementara gharar secara terminologi adalah penipuan dan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.

" Kalau itu dibiarkan diinvestasi tanpa syariah, ada maisir-nya, seperti berjudi, karena uang itu bisa diinvestasikan ke mana saja," ujar Ma'ruf saat dijumpai di kantornya, Kamis (30/7/2015).

Karena itu, dari dua unsur itu, BPJS Kesehatan dianggap belum bisa memenuhi syariah. Seharusnya, pada saat akad, peserta BPJS diberikan pengetahuan lengkap sehingga uang yang disetorkannya benar-benar dimanfaatkan untuk hal-hal yang memenuhi syariat Islam.

Tak hanya itu, Ma'ruf melanjutkan, BPJS Kesehatan juga melakukan riba, yang dilarang oleh Islam. Riba didapat BPJS Kesehatan dengan menarik bunga sebagai denda atas keterlambatan pembayaran.

" Enggak boleh, kalau syariah enggak boleh begitu. Jadi, kalau syariah itu akadnya harus betul, status dana yang dikumpulkannya jelas. Bagaimana kalau dana itu surplus, bagaimana kalau kurang, siapa yang bertanggung jawab? Itu semua harus secara syariah," tutur Ma'ruf.

MUI menanggapi BPJS Kesehatan sebagai salah satu tinjauan terhadap perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, BPJS Kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. (Baca juga: MUI Benarkan Keluarkan Fatwa BPJS Tak Sesuai Syariah Islam)

Dalam tinjauannya, MUI menyambut baik diterbitkannya UU tentang BPJS. MUI bersyukur adanya upaya, program, dan kegiatan untuk meningkatkan kemudahan akses masyarakat pada fasilitas kesehatan. Namun, MUI mempermasalahan transaksi yang dilakukan BPJS Kesehatan, yang dianggap tidak sesuai dengan perspektif ekonomi Islam.

" Secara umum, program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar-para pihak," demikian bunyi Ijtima Ulama V Tahun 2015.

MUI pun kemudian mendorong pemerintah untuk menyempurnakan ketentuan dan sistem BPJS Kesehatan agar sesuai dengan prinsip syariah. Menanggapi ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan bahwa pemerintah akan berdiskusi dengan para ulama mengenai usulan MUI.

Alasan MUI Perlunya BPJS Syariah

 Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin mengatakan, fatwa tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai dengan syariah bukan untuk meresahkan masyarakat. Menurut Ma'ruf, fatwa tersebut harus direspons pemerintah dengan membentuk BPJS Kesehatan yang sesuai syariah. 

" Tidak perlu khawatir, pemerintah buat saja BPJS Syariah," kata Ma'ruf, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (29/7/2015) malam.

Ma'ruf mengatakan, fatwa ini mewajibkan pemerintah membentuk BPJS Kesehatan syariah. Menurut dia, hal ini diperlukan untuk mengakomodasi masyarakat yang ingin mendapatkan jaminan sosial dengan konsep dan aturan sesuai syariah Islam.

Ma'ruf menekankan, pelaksanaan BPJS harus menghindari unsur gharar, maisir, dan riba. Selain itu, dana yang dikelola BPJS juga harus diinvestasikan sesuai syariah Islam.

" Kalau tidak ada BPJS syariah, masyarakat yang ingin syariah tidak bisa menggunakan BPJS," ujarnya.

Fatwa yang menyatakan BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah Islam merupakan keputusan ijtima atau forum pertemuan Komisi Fatwa MUI di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, pada Juni 2015 lalu. Forum tersebut dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan dihadiri anggota Komisi Fatwa MUI dari seluruh Indonesia.

Ia menjelaskan, fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah muncul karena dinilai mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. Alasan lainnya, kepesertaan BPJS Kesehatan juga dianggap tidak adil karena masih membedakan latar belakang peserta.

"Ada bunga, ada akad yang tidak sesuai syariah, dan dana yang diinvestasikan itu diinvestasikan ke mana? Karena itu, keluar fatwa BPJS tidak sesuai syariah," kata Ma'ruf.

Forum pertemuan Komisi Fatwa MUI di Tegal itu membahas tiga topik, yaitu masalah strategis kebangsaan, masalah fiqih kontemporer, serta hukum dan perundang-undangan.

Untuk masalah strategis kebangsaan, Komisi Fatwa di antaranya membahas kepatuhan terhadap pemimpin yang tidak menaati janji kampanye, serta radikalisme dalam kehidupan berbangsa dan penanggulangannya.

Topik fiqih kontemporer di antaranya meliputi pembahasan tentang hukuman mati, status dana pensiun, dan hak pengasuhan anak bagi pasangan yang bercerai karena perbedaan agama.

Sementara pada topik hukum dan perundang-undangan, Komisi Fatwa akan mendiskusikan ekonomi syariah, pengelolaan BPJS sesuai dengan ketentuan syariah, revisi KUHP dan KUHAP, rancangan undang-undang tentang minuman beralkohol, serta pembangunan kebijakan wisata syariah.  


Tanggapan DPR

Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mempertanyakan langkah Majelis Ulama Indonesia yang mengeluarkan fatwa bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tidak sesuai syariat Islam. Dede menilai, MUI bukan lembaga yang bertugas untuk mengawasi BPJS.

" Komisi IX DPR justru untuk mengawasi BPJS, bukan MUI," kata Dede saat dihubungi, Kamis (30/8/2015).

Dede Yusuf menegaskan, tak ada bunga dalam BPJS, seperti yang disebut oleh MUI. Di BPJS, kata dia, yang ada adalah denda apabila peserta terlambat membayar iuran. "Nanti biar BPJS yang jelaskan soal ini ke masyarakat," ucap Dede.

Komisi IX, lanjut dia, belum akan bersikap terkait permasalahan ini. DPR menunggu terlebih dahulu sikap pemerintah, apakah akan menindaklanjuti rekomendasi MUI atau tidak.

" Ini kan baru rekomendasi. Nanti terserah pemerintah untuk menindaklanjuti. (kemudian) DPR akan meninjau," ucap politisi Partai Demokrat ini.

Ketua Bidang Fatwa MUI Ma'ruf Amin sebelumnya mengatakan, fatwa tentang BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan syariah. Menurut Ma'ruf, fatwa tersebut harus direspons pemerintah dengan membentuk BPJS Kesehatan yang sesuai syariah. (Baca: Ini Alasan MUI Minta Pemerintah Bentuk BPJS Syariah)

Ia menjelaskan, fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah muncul karena dinilai mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. Alasan lainnya, kepesertaan BPJS Kesehatan juga dianggap tidak adil karena masih membedakan latar belakang peserta.

" Ada bunga, ada akad yang tidak sesuai syariah, dan dana yang diinvestasikan itu diinvestasikan ke mana? Karena itu, keluar fatwa BPJS tidak sesuai syariah," kata Ma'ruf.

Komisi IX DPR membidangi tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan dan kesehatan. Adapun mitra kerja Komisi IX yakni, Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Badan Pengawas Obat dan Makanan, BNP2TKI, BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan.


[ bmw / kmps ]
View

Related

NASIONAL 6463419565708155501

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item