Dari Fitri Natural ke Fitri Kultural


BLOKBERITA -- Suasana Idul Fitri semakin mereda dan meredup dari kehidupan kita. Beberapa kali kita mengalami dan menghayati kefitrian natural: bahwa kita sesungguhnya hanya "manusia"  lebih daripada bahwa kita ini satpam, direktur, pengusaha, lurah, camat, bupati, gubernur, menteri, presiden, atau "apapun" profesinya. Bahwa "menjadi" sesuatu, bahwa gelar, pangkat, status sosial, fungsi birokrasi dan seterusnya itu hanyalah apa, sedangkan siapa kita adalah manusia.

Bukankah sering kita lupa itu ?

Kita menyangka bahwa sebagai gubernur itu lebih penting dibanding sebagai manusia ? Sehingga di mana-mana pun kita adalah gubernur : di kantor, di rumah, di warung, atau di jalan raya ? Sehingga kapanpun kita salat juga harus disediakan shaf terdepan dan imam tak bisa memulai sebelum sang "apa" ini hadir ?  Adakah Allah menerima salat seorang gubernur di masjid ataukah hamba yang bersujud itu sekedar "manusia" atau hamba-Nya ?  Bukankah "sholat" seorang gubernur adalah dalam terjemahan tugas-tugas kenegaraannnya sehingga kalau di masjid ia bukan gubernur lagi ?

Bukankah kita seing merancukan dua kedudukan ini ? Sehingga terkadang hampir tak bisa lagi menghidupi dan mempersepsikan diri sendiri selain sebagai gubernur? Padahal gubernur itu sebuah apa yang bersifat relatif dan sangat sementara. Sedangkan sebagai manusia inilah jalanan yang lebih dekat ke keabadian ke kefitrian ke mata pandang Tuhan.

Kini kefitrian natural itu menjauh perlahan-lahan dan kita serentak memasuki kefitrian kultural. Sayang kefitrian kultural selalu di takar berdasarkan persepsi budaya. Dan di dalam budaya kita menyebut jatidiri, yang juga berarti, kefitrian kita adalah justru status sosial kita.

Kita menyangka bahwa yang namanya diri kita adalah yang disebut pejabat, manajer, seniman, tentara, sales atau apa saja. Padahal masya Allah:... tidak!!!...Bukan!!! .Itu bukan diri kita...!!! itu hanya profesi...!!!. Pakaian hidup, hanya fungsi sementara. Hanya posisi dan kedudukan yang besok pagi bisa sirna dari kita meskipun sudah setengah mati kita memberikan upeti kepada orang yang bisa memberi kita status-status itu.

Jadi kenapa engkau bisa bangga bahwa engkau cendekiawan ? bahwa engkau menteri, konglomerat, dosen, ulama, sastrawan, kiai, budayawan ? Sedangkan puncak pelajaran dan ujian hidup adalah bagaimana lulus menjadi manusia ? Bukankah seniman yang sukses, birokrat yang berhasil, pengusaha yang berjaya atau buruh yang lulus adalah yang dalam kariernya masing-masing sanggup menjadi manusia ? sebab hanya manusialah yang memiliki dan mengerti hati nurani untuk tidak rakus serakah untuk tidak menindas dan mengisap, untuk tidak korupsi dan mencurangi orang lain. Kalau budayawan, ulama, kyai, walikota, direktur, dan pengusaha masih mungkin melakukan watak-watak kehewanan semacam itu.

Sudah menjadi "Manusia" kah kita ?!

[ Emha Ainun Nadjib / Budayawan ]
View

Related

TOKOH 6253051228186200661

Posting Komentar

Follow us

Terkini

Facebook

Quotes



















.

ads

loading...

Connect Us

loading...
item